Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling buruk, tetapi paling baik di antara semua bentuk pemerintahan yang pernah dicoba dari masa-ke masa."
WINSTON CHURCHILL, Pidato di hadapan Majelis Perwakilan Rendah Inggris ( 11 November 1947)
Konsepsi politik negara demokrasi adalah kedaulatan ada di tangan rakyat. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) pada pasal 1 ayat 2: Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Prinsip kedaulatan ada di tangan rakyat, secara politik tercermin dari penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden-Wakil Presiden (Pilpres), Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pemilu diselenggarakan secara periodik dilaksanakan lima tahun sekali sebagai bentuk kedaulatan rakyat.
Berpedoman pada UUD NRI 45, bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Secara konstitusional, rakyat memiliki kedaulatan dalam menentukan kepemimpinan, baik eksekutif eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati/Wali Kota) maupun legislatif (DPR RI, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan DPD RI). Kedaulatan rakyat diterjemahkan ke dalam bentuk Pemilu.
Pelaksanaan Pemilu tertuang pada UUD NRI 1945 pasal 22E ayat 1: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Dan penyelenggara Pemilu diatur pada ayat 5: Pemiihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Pelaksanaan Pemilu secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 dengan berpedoman pada asas Pemilu pasal 2: Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dan prinsip pemilu pada pasal 3: bahwa prinsip Pemilu yang mandiri, jujur, adil, bekepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien. Berdasarkan asas dan prinsip Pemilu tersebut, menjadi ukuran kualitas pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Asas dan prinsip Pemilu, kemandirian penyelenggaraan Pemilu adalah sifat pelaksanaan Pemilu yang tidak berpihak kepada peserta Pemilu. Kemandirian sebagai perwujudan asas dan prinsip pelaksaanan sistem Pemilu yang demokratis, berdasarkan UU Nomor. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, pada pasal 1 ayat 7 bahwa; penyelenggara Pemilu terdiri dari terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Penyelenggara Pemilu bersifat nasional, tetap dan mandiri menjadi syarat utama Pemilu.
Legitimasi Pemilu
Mencermati dinamika politik pada tahapan pelaksanaan Pemilu tahun 2019, secara umum mencerminkan proses politik yang demokratis. Meskipun tidak bisa dihindari, munculnya berbagai kecurigaan serta tuduhan dari pihak di luar kekuasaan (oposisi) atas penyelenggaraan Pemilu.
Kecurigaan dan tuduhan atas pelanggaran asas, prinsip dan penyelenggaraan Pemilu, dapat dicermati dari setiap tahapan Pemilu yang dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu (KPU/Bawaslu/DKPP) yang dicurigai sebagai pesanan pemerintah Jokowi dan menguntungkan pasangan Capres-Cawapres petahana Jokowi-Maruf Amin beserta partai politik pendukungnya.
Kecurigaan tersebut disebabkan adanya kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu yang dipersoalkan oleh pendukung Prabowo-Sandiaga Uno beserta partai politik pendukungnya sebagai pelanggaran atas asas dan prinsip Pemilu, berkaitan dengan, yaitu: Pertama, kebijakan KPU dalam hal penambahan DPT orang sakit jiwa (gila).
Kebijakan penambahan DPT, dicurigai menguntungkan kubu petahana Jokowi. Bagi pendukung Prabowo-Sandi. Rakyat (pemilih) yang mengalami gangguan jiwa, bukan dimasukan dalam daftar DPT, tetapi dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Kedua, penghapusan penyampaian visi-misi dan program kerja oleh KPU terhadap pasangan Calon Presiden dan pemberian kisi-kisi daftar pertanyaan debat kepada pasangan Capres-Cawapres menghilangkan subtansi debat sebagai tempat adu dan uji gagasan Capres-Cawapres, bukan Tim.
Kebijakan tersebut dianggap oleh pendukung Prabowo-Sandi sebagai kebijakan penyelenggara Pemilu untuk "melindung" kubu petahana Jokowi-Maruf Amin. Karena debat dipahami sebagai adu dan uji gagasan antar pasangan calon agar pemilih dapat menentukan pilihannya secara tegas. Ketidakmampuan KPU memberikan penjelasan tentang kebijakan tersebut, meperkuat dugaan bahwa kebijakan tersebut demi kepentingan pasangan calon tertentu.
Ketiga, penanganan dugaan pelanggaran Pemilu yang ditangani oleh Bawaslu seperti memproses dugaan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh Anies Baswedan Gubernur DKI, tetapi terlihat membiarkan beberapa kepala daerah seperti Gubernur Jawa Barat, Sulwesi Barat dan sebagainya melakukan dugaan pelenggaran Pemilu.
Netralitas Bawaslu diragukan oleh kubu oposisi. Keempat, perbedaan perlakuan atau respon aparat penegak hukum (Polri) menindaklanjuti laporan dugaan tindak pidana antara kubu Prabowo-Sandi dengan kubu petahana Jokowi-Maaruf Amin. Laporan Kubu Jokowi-Maruf Amin dengan cepat diproses oleh aparat penegak hukum sementara laporan kubu Prabowo-Sandi direspon secara lambat dan bahkan dalam beberapa kasus diabaikan aparat penegak hukum.
Persoalan-peroalan yang dikemukakan di atas akan mempengaruhi harapan tentang pemilu yang legitimatif. Pelaksanaan asas dan prinsip Pemilu oleh penyelenggara menjadi elemen penting terbentuknya legitimasi Pemilu. Legitimasi atau keabsahan Pemilu adalah persoalan fundamental politik dan merupakan bangunan yang membentuk stabilitas politik suatu negara.
Legitimasi berkaitan dengan kewajiban bagi warga negara dan mengapa warga negara memiliki kewajiban?. Delegitimasi Pemilu adalah akibat langsung dari proses penyelenggaraan dan prilaku penyelenggara Pemilu yang tidak taat asas dan prinsip Pemilu. Legitimasi atau pun tidak suatu Pemilu, dipengaruhi oleh proses penyelenggaraan Pemilu.
Pandangan Max Weber tentang kategorisasi legitimasi, dapat digunakan untuk menjelaskan sifat kekuasaan politik yang sangat kompleks tersebut. Ada tiga jenis kategorisasi ideal tentang otoritas yang disebutkan Weber tersebut, yaitu; (1) tradisional, (2) kharismatik dan (3) legal-rasioanal. Tipe pertama, Otoritas Tradisional didasarkan pada adat istiadat yang telah lama dan mapan.
Otoritas ini dianggap absah karena terus eksis sejak jaman dahulu dan dikeramatkan oleh sejarah, karena dari generasi ke generasi menerimanya, sebagai jimat yang dipercayai secara turun-temurun dan dilaksanakan secara khas, berjalan sesuai dengan aturan konkret; aturan adat yang telah mapan dan tak terbantahkan, tidak membutuhkan pembenaran rasional karena mereka mencerminkan cara hidup dari keyakinan masyarakat sendiri.
Tipe kedua, otoritas kharismatik didasarkan pada kekuatan kepribadian dari seorang pemimpin, tanpa mengandalkan status, posisi sosial atau jabatan, otoritas kharismatik berjalan sepenuhnya melalui kapasitas sang pemimpin untuk membuat daya tarik yang bersifat langsung dan pribadi kepada para pengikutnya sebagaimana seorang pahlawan.
Meskipun para pemimpin politik modern, memperbesar otoritas mereka melalui kapasitas personal untuk menumbuhkan loyalitas dikalangan pendukungnya. Ini tidak sama dengan legitimasi karismatik, karena otoritas mereka pada dasarnya bertumpu kepada kekuasaan formal dari jabatan yang mereka pegang.
Tipe ketiga, otoritas legal rasional adalah menghubungkan otoritas dengan sebuah rangkaian aturan yang jelas dan didefinisikan secara hukum. Otoritas legal rasional dalam pandangan Weber adalah bentuk otoritas` yang berlaku pada kebanyakan negara-negara modern. Kekuasaan dari seorang Presiden, pejabat pemerintah, anggota legislatif dan sebagainya ditentukan oleh aturan-aturan formal-konstitusional.
Otoritas legal rasional jika dibandingkan dengan otoritas tradisonal dan otoritas karismatik, maka otoritas legal rasional didasari oleh jabatan yang melekat daripada personal, sehingga kecil kemungkinan untuk disalahgunakan atau menimbulkan ketidakadilan.
Ketiga tipe legitimasi dalam penjelasan Weber di atas, tipe legal rasional dapat digunakan untuk menggambarkan fenomena kekuasaan politik melalui penyelenggaraan Pemilu dan implikasinya terhadap legitimasi Pemilu. Meskipun pandangan Weber tersebut, memiliki keterbatasan-keterbatasan, sebagai akibat dari kondisi sosial yang tidak sama antara teori Weber disusun dengan kondisi sosial politik saat ini.
Salah satu keterbatasan tersebut, Weber tidak menjelaskan secara lengkap tentang legitimasi dari sebuah rezim politik atau sistem kekuasaan. Weber hanya sedikit menjabarkan keadaan-keadaan di mana otoritas politik ditantang atau dilawan sebagai akibat dari kebijakan yang tidak populer.
Kebijakan penyelenggaraan Pemilu, dicurigai dan bahkan dituduh oleh peserta Pemilu sebagai pelanggaran terhadap penerapan asas dan prinsip penyelenggaraan Pemilu yang bersifat mandiri dikritisi dan ditantang atau dilawan oleh kubu oposisi.
Kategorisasi legitimasi Weber tersebut dengan apik dijelaskan oleh Beetham (1991), untuk melihat legitimasi atau keabsahan sebuah kekuasaan politik demokratis. Kekuasaan politik demokratis, dipengaruhi oleh tiga kondisi utama penyelenggaraan Pemilu, yaitu; Pertama, Pemilu diselenggarakan menurut aturan-aturan yang telah baku, berdasarkan undang-undang hukum formal ataupun konvensi-konvensi yang bersifat informal.
Kedua, aturan-aturan tersebut dapat dibenarkan dalam sudut pandang keyakinan-keyakinan bersama dari yang memerintah dan yang diperintah. Ketiga, legitimasi harus dibuktikan oleh adanya ekspresi persetujuan (rakyat) bersama, baik yang memerintah maupun yang diperintah, bukan semata-mata untuk memenuhi kepentingan yang memerintah.
Ketiga pandangan Beetham di atas, dapat digunakan sebagai panduan selanjutnya tentang persoalan legitimasi Pemilu dan stabilitas politik. Legitimasi Pemilu, akan dipengaruhi proses pelaksanaan Pemilu yang dilaksanakan secara konstitusional. Dengan demikian, maka legitimasi Pemilu, setidaknya memenuhi beberapa syarat dalam penyelenggaraan Pemilu, yaitu; Pertama, Pemilu diselenggarakan oleh komisi/lembaga yang mandiri. Sifat kemandirian komisi/lembaga penyelenggara Pemilu menjadi keharusan untuk mendapatkan legitimasi Pemilu.
Kedua, Aparatur Sipil Negara (ASN), Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD) yang netral, atau pihak-pihak yang secara UU dilarang untuk berpolitik praktis, terbebas dari subordinasi kekuasaan politik untuk berpihak pada satu kelompok dan merugikan kelompok yang lain;
Ketiga, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (POLRI) yang profesional yaitu tidak terlibat dalam politik dukung-mendukung pasangan calon, baik secara institusi maupun secara individual maupun secara sembunyi-sembunyi;
Keempat, Peserta Pemilu: Partai Politik untuk pemilihan anggota legislatif, perseorangan untuk calon anggota DPD dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk Pilpres, secara etik tunduk pada semua regulasi dan aturan main Pemilu yang telah ditetapkan. Kelima, penegakan hukum dilakukan secara berkeadilan, tanpa dilihat latar belakang politik.
Pemenuhan syarat-syarat penyelenggaraan Pemilu di atas menjadi elemen utama untuk mewujudkan harapan legitimasi Pemilu. Pemilu yang legitimasi akan menciptakan stabilitas politik, demokrasi diselamatkan secara kualitatif. Isu delegitimasi Pemilu yang disampaikan penguasa adalah isu usang untuk pemenuhan kepentingan politik kubu petahana yang tidak dapat membangun argumentasi rasional atas kritik kubu oposisi terhadap penyelenggaraan Pemilu yang cenderung tidak taat asas, prinsip dan kemandirian penyelenggara Pemilu.
Delegitimasi adalah akibat dari pelaksanaan Pemilu yang tidak taat asas dan prinsip Pemilu sebagaiamana ditetapkan melalui UUD NRI tahun 1945 dan UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, beserta seluruh aturan yang berkaitan dengan Pemilu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H