Oleh: Syarif Ahmad
Pemilihan Umum adalah produk langsung dari sistem politik demokratis. Sistem politik Demokrasi tanpa Pemilu bukanlah khakikat dari sistem demokrasi. Pemilu menjadi ukuran utama & terpenting dari sebuah negara, apakah negara tersebut menganut sistem politik demokrasi atau bukan.
Pemilihan umum di Indonesia secara jelas tertuang dalam UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 yang dijabarkan secara aturan dan mekanisme tekhnis Pemilu pada UU Pilkada no 10 tahun 2016, tentang persyaratan pencalonan Kepala Daerah yang juga dituangkan dalam PKPU no 3 tahun 2017 serta UU no.7 tahun 2017.
Pemilihan umum teridiri dari Pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden & Wakil Presiden, dan pemilihan Kepala Daerah (Gubenru, Bupati dan Walikota) yang tertuang di dalam uu nomor 7 tahun 2017 memiliki prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, proporsional, profesional, akuntabel, efisien dan efektif.
Pemilu Kepala Daerah serentak yang akan diselenggarakan di Indonesia pada tanggal 27 Juni 2018, dapat lihat sebagai momentum pertumbuhan demokrasi di Indonesia, khusunya di daerah Provinsi NTB.
Politik Identitas
Pemilukada NTB, menjadi unik ditinjau dari prespektif politik identitas. Konsolidasi dan mobilisasi politik pasangan calon bersumber dari ikatan-ikatan primordial, menjadi tantangan bagi pertumbuhan demokrasi. Prinsip equality atau persamaan hak pilih dan hak memilih sebagai prinsip politik demokrasi diuji didaerah ini (NTB).
NTB secara geopolitik adalah penggabungan dua kepulauan besar (Lombok dan Sumbawa) dengan sebaran entitas, menjadi uji kesahidan, sebuah hipotesa, bahwa politik identitas sebagai ancaman bagi perkembangan demokrasi ataukah politik identitas menjadi keniscayaan dalam sistem demokrasi.
Untuk menjawa kedua pertanyaan tersebut, penulis akan mengurai jejak rekam konsolidasi demokrasi di NTB, sejak Pemilihan Umum kepala daerah yang diselenggarakan secara langsung di NTB.
Pemilihan kepala daerah secara langsung sebagai konskuensi UU no.32 tahun 2004 di Indonesia, menetapkan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat sejak tahun 2005. Artinya pemilihan umum secara langsung sudah berlangsung selama 18 tahun. Itu berarti NTB telah memilih gubernur & wakil gubernur sejak tahun 2008 & 2013, maka Pemilihan umum kepala daerah 2018 adalah pemilihan gubernur & wakil gunernur yang ke 3 (tiga) diselenggarakan secara langsung.
Pemilukada 2008 & 2014, politik identitas masih menjadi narasi politik utama di NTB, kombinasi politik Pulau Lombok- Pulau Sumbawa menjadi model konsolidasi politik identitas. Kombinasi politik semacam ini masih digunakan pada pemilukada 2018.
Basis pemilih terbesar ada di pulau Lombok, menjadi alasan strategis utama parpol dalam mengusung pasangan calon gubernur & wakil gubernur, kecuali pada pasangan Zulkiflimansyah-Rohmi yang tidak menjadikan basis etnik pemilih terbesar sebagai calon gubenur. Adapun pasangan Ali BD-Sakti, melalui jalur independen tanpa menggunakan strategi kombinasi Pulau Lombok-Pulau Sumbawa. Sementara pasangan Suhaili- Amin & Ahyar-Mori, menggunakan pendekatan strategi dan taktik politik berbasis kombinasi etnis Sasak (Pulau Lombok-etnis Bima (Pulau Sumbawa).
Potret asal etnik dan pulau calon kepala daerah NTB sebagaimana yang digambarkan di atas, siapa pun pemenangnya, tetapi memberikan harapan tentang perkembangan demokrasi di NTB mengalami tahapan kemajuan berdasarkan variabel pasangan calon yang ikut berkompetisi pada Pemilukada 27 Juni 2018 ini, setidaknya pertimbangan basis pemilih berdasarkan entitas etnik dan kepulauan bukan lagi menjadi pilihan utama dalam menentukan pasangan calon kepala daerah di NTB.
Dalam perspektif demokrasi bahwa politik identitas dianggap sebagai hambatan dalam perkembangan demokrasi dan pada Pilkada ini mencair pada kapasitas calon. Pasangan calon bukan semata-mata pada pendekatan identias, yaitu asal usul calon dengan berbasis pada identitas pulau dan etnik. Keberadaan calon independen Ali -Sakti (Lombok-Lombok), termasuk kehadiran calon Gubernur dari Pulau Sumbawa Zulkiflimansyah dengan basis pemilih yang lebih kecil dibandingkan basis pemilih di pulau Lombok asal calon wakil gubernur Rohmi, menunjukan sebuah lompatan perkembangan demokrasi yang cukup menggembirakan di NTB.
Untuk membangun argumentasi bahwa politik identitas sebagai ancaman serius bagi perkembangan demokrasi khususnya di NTB, penulis menguraikan tentang bahaya dari ikatan-ikatan primordial sebagai basis konsolidasi politik identitas. Politik identitas akan berimplikasi pada tidak saja terjadinya disparitas politik, tetapi akan menjangkau disharmonisasi antar etnik di NTB, sebagai akibat dari pendekatan strategi politik identitas. Politik identitas dalam meraih kekuasaan, berakibat fatal pada perkembangan demokrasi dan pembangunan politik di NTB secara keseluruhan. Prinsip equality-persamaan dalam sistem politik demokrasi akan terancam oleh pendekatan politik identitas. Hal ini terjadi sebagai akibat dari pengentalan identitas-identias berbasis etnik dan kewilayahan. Politik identitas ini telah diuraikan oleh Michael Man sebagai pembersihan etnik oleh etnik mayoritas pada minoritas. Meskipun pandangan Mann, tak bisa dijadikan rujukan dalam politik pemilihan umum kepala daerah, tetapi setidaknya memberikan gambaran tentang sebuah bahaya dari pendekatan politik identitas bagi perkembangan demokrasi.
Politik identitas yang muncul juga bagian dari ruang kebebasan yang diberikan oleh sistem politik demokrasi dan dalam konteks ini menjadi sisi gelap dari demokrasi. Demokrasi memberi ruang pada kebebasan -liberty, sehingga membuka ruang lahirnya dominasi etnik mayoritas sebagai identitas politik dan ini menjadi cacat bawaan dari sistem politik demokratis.
Hipotesa Michael Man dalam The Dark Side Demokracy tidak seluruhnya benar. Faktanya di NTB kombinasi pasangan calon kepala daerah di NTB yang akan mengikuti kontestasi politik pada tanggal 27 Juni 2018 ini adalah potret pertumbuhan dan perkembangan demokrasi yang menggebirakan dengan melewati melewati titik-titik krusial demokrasi, yang dikhawatirkan Mann dengan terjadinya pelepasan ikatan-ikatan politik identias melalui kesadaran politik bagi peserta kontestasi Pemilu Kepala Daerah di NTB. Meskipun belumlah secara total menjadi pilihan politik rasional para elit-elit politik di daerah ini, tetapi fenomena politik Pemilu Kepala Daerah di NTB cukup menggebirakan bagi perkembangan proses demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H