Pemilukada atau Pilkada adalah memilih pemimpin yaitu pemimpin dari jenis manusia, bukan memilih kotak/kolom kosong untuk menjadi kepala daerah. Tetapi itulah faktanya, sistem politik demokrasi yang dianut di negeri ini dan dalam konteks Pemilukada/Pilkada tak "mengharamkannya" untuk memilih selain pasangan calon dari jenis manusia, tetapi memilih benda mati berupa kotak/kolom kosong untuk bersaing mendapatkan suara pemilih dari manusia.
Memilih kotak/kolom kosong, merupakan salah satu cacat bawaan dari siatem politik demokrasi-Pemilukada/Pilkada, karena memilih kotak/kolom kosong pun disebut sebagai pemilihan kepala daerah yang demokratis secara prosedural.
Kekosongan Partai Politik
Partai politik kosong atau tak memiliki calon kepala daerah, jadi siapa yang dirugikan? Bukankah setiap kursi/suara partai Politik telah diuangkan oleh negara melalui Anggaran Pembelanjaan Daerah (APBD). Berangkat dari pemahaman tersebut, maka pihak paling dirugikan adalah rakyat didaerah itu sendiri, untuk apa partai politik ada atau setidaknya sebanyak ini? Jika tugas dan fungsi partai politik tak dijalankan atau hanya akan mengusung satu pasangan calon dan melawan kotak/kolam kosong?
Secara teoritik bahwa salah satu tugas pokok partai politik pada negara-negara demokrasi adalah rekruitmen kepemimpinan. Demokrasi akan tumbuh dengan "lambung yang sehat" seiring dengan hadirnya beberapa pilihan-pilihan calon pemimpin daerah yang dihidangkan oleh partai politik.
Partai politik adalah "dapur kepemimpinan" yang memiliki kelihaian meracik kader-kader partai politik untk menjadi pemimpin yang siap dilagakan pada arena Pemilukada/Pilkada, dan rakyat pemilih yang akan menentukan mana yang sesuai dan cocok untuk dijadikan pemimpin.
Tugas meracik kepemimpinan adalah tugas mulia partai politik dalam melakukan proses-proses politik berkuawalitas, seperti pendidikan-perkaderan politik guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan rakyat. Partai politik menjadi tempat dimana kepentingan rakyat digodok dan diperjuangkan, bukan kepentingan segelintir para elit oligarki partai politik.
Kekosongan partai politik dalam mengusung Calon Kepala Daerah dalam Pilkada, yang disebabkan oleh adanya syarat-syarat pencalonan dari sisi regulasi pencalonan kepala daerah, telah membuka ruang terjadinya praktek-praktek penguatan politik-oligarki dengan mengatasnamakan demokrasi. Praktek semacam ini lumrah dilakukan oleh partai politik dengan cara meninggalkan para anggota partai serta konsituen yang memilihnya pada saat pemilihan umum legislatif.
Ketiadaan calon yang diusung oleh partai politik dalam Pilkada dan hanya ada satu pasangan calon adalah proses pemisahan elit-elit partai politik dan konstituen.
Fenomena Kotak/Kolom kosong dalam pilkada adalah bukti nyata sebagai akibat dari persekongkolan elit-elit oligarki. Semestinya persekongkolan ini harus menjadi keprihatianan bersama, tentang bahaya laten oligarki partai politik dan tentu akan mematikan proses penguatan kelembagaan partai politik sebagai salah satu tiang penyanggah berdirinya sebuah sistem politik demokrasi.
Calon-calon yang punya kapasitas, kapabilitas dan integritas, terhambat oleh mekanisme pencalonan dan penguasaan atas partai politik oleh oligarki. Meskipun UU membuka jalur lain dalam pencalonan kepala daerah yaitu jalur independen. Tetapi jalur ini, justru menjadi rawan untuk "digergaji" melalui mesin politik-hukum, dan inilah yang terjadi pada Pemilukada Kota Makassar Sulawesi Selatan pada 27 Juni 2018.