Masih ingat film Le Grand Voyage? Les Hommes Libres adalah film karya Ismaël Ferroukhi berikutnya (dirilis di Amerika sekitar Maret 2012). Namun, tidak seperti Le Grand yang menyorot hubungan antara ayah dan anak yang serba canggung dan kikuk, dalam Les Hommes, yang berdasar kisah nyata ini, Ferroukhi menggunakan lensanya untuk mengisahkan hubungan manusia dalam konteks yang lebih luas; hubungan antara dua kelompok ras yang saat ini bermusuhan dengan sengit, Arab dan Yahudi. Meski demikian, Ferroukhi tetap menggunakan pendekatan yang intim.
Berlatar kacaunya suasana Perang Dunia II, dan terutama Prancis yang diduduki Jerman, Ferroukhi memaparkan kisah seorang pemuda imigran dari Aljazair yang hidup di Paris, Younes. Younes berprofesi sebagai pedagang asongan yang menjajakan dagangannya pada para imigran Aljazair. Menurut ukuran kita saat ini, aktivitas Younes tidaklah membahayakan, namun pada masa pendudukan Jerman di Prancis, aktivitas seperti itu dianggap ilegal dan berpotensi membahayakan dirinya apalagi dengan statusnya sebagai seorang imigran. Bahaya ini bahkan semakin bertambah karena saudara sepupunya, Ali, terlibat dalam gerakan perlawanan. Suatu hari, polisi yang mencari Ali menggerebek tempat tinggal Younes sehingga terkuaklah aktivitas perdagangan gelap yang selama ini dilakukan Younes. Younes dibawa ke kantor polisi dengan dua tuduhan: melakukan perdagangan gelap dan menyembunyikan tokoh gerakan perlawanan. Nasib mujur, atau sebenarnya malang, diterima Younes ketika inspektur menawarinya menjadi agen untuk mematai-matai masjid yang dicurigai mengeluarkan dokumen identitas palsu untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi.
Dan, petualangan Younes bermula di sini. Aktivitas pengintaiannya di masjid membawanya berkenalan dengan banyak hal mulai dari Kaddour Bengebrit, sang direktur masjid, kelompok perlawanan bawah tanah, hingga seorang penyanyi Aljazair berdarah Yahudi, Salim. Mungkin karena sama-sama muda atau barangkali sama-sama sebagai imigran, Salim dan Younes pun menjadi sepasang sahabat yang melalui petualangan menyenangkan hingga suatu hari pemerintah pendudukan mengeluarkan kebijakan yang lebih ketat terhadap orang-orang Yahudi. Salim pun terkena imbas dari kebijakan ini. Iba terhadap nasib sahabatnya, dan mendapatkan kesadaran akibat sering bergaul dengan kelompok perlawanan, Younes pun berubah dari seorang agen pemerintah pendudukan Jerman menjadi simpatisan gerakan perlawanan. Bersama-sama dengan yang lain, dan difasilitasi oleh direktur Masjid Paris, Younes terlibat lebih jauh dalam aktivitas gerakan perlawanan yang tengah merancang penyelamatan terhadap orang-orang Yahudi, termasuk sahabatnya, Salim.
Harus dikatakan bahwa film ini tidak seimpresif Le Grand Voyage yang mengantarkan Ferroukhi sebagai salah satu sutradara terkemuka Prancis. Barangkali, ini disebabkan karena keasyikannya atau keinginan besarnya untuk menunjukkan bahwa pada masa lalu, di masa yang penuh kesulitan, orang Arab dan Yahudi pernah berhubungan secara harmonis, bahkan tanpa ragu-ragu orang Arab rela membahayakan diri untuk menyelamatkan saudaranya Yahudi yang terancam. Akibat keinginan besar ini, banyak aspek yang kurang tergali dari film yang sesungguhnya luar biasa ini. Namun bagaimanapun, sebagai sebuah film yang bertema masa Perang Dunia II, film ini berhasil mengangkat sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih menarik, dibanding film-film bertema sejenis. Apalagi, dalam film ini tidak ada dramatisasi yang berlebihan atau hal-hal hiperbolis lainnya, yang kita tahu, kerap dimunculkan demi hal-hal tertentu dalam film-film bertema seperti ini. Ferroukhi bercerita dengan lebih tulus.
[caption id="attachment_327608" align="alignnone" width="150" caption="les hommes libres"][/caption]
[caption id="attachment_327609" align="alignnone" width="150" caption="les hommes libres"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H