Contoh kasusnya cukup 2 saja dulu disampaikan, karena kala disampaikan semua akan terlalu panjang. Dan, contoh-contoh kasus diatas kelak akan tambah lagi bermunculan, seiring dengan semakin berkembangnya  PUJK-PUJK baru,  berikut kerjasama-kerjasama bisnis antara Pelapor dengan Grup/Kelompok atau pihak terafiliasinya.
***
Selain saran dan masukan yang bersumber dari contoh-contoh kasus tersebut di atas, bersama ini kami ingin menyampaikan juga saran dan masukan lainnya sebagai berikut:
1. Karena permasalahan SLIK ini bisa merupakan hal yang sangat rumit bagi Nasabah  maka ada baiknya  Perwakilan Debitur juga bisa diakomodir dalam POJK ini dengan alasan:
- Supaya sejalan dengan POJK Nomor 18/POJK.07/2018 Tentang Layanan Pengaduan Konsumen Di Sektor Jasa Keuangan.
- Untuk mengurus permasalahan SLIK ini butuh waktu  yang cukup longgar. Sementara itu  tidak semua Debitur, apalagi  yang konon  jadi "korban" punya waktu yang cukup longgar untuk mengurusnya,  karena masalah terikat jam kerja. Misalnya karena sebagai Pegawai, Karyawan atau Buruh.
- Hampir sama dengan permasalahan waktu, pengetahuan tentang SLIK dengan segala lika-likunya  juga belum tentu semua Debitur atau Calon debitur  mengerti, jadi kadang membutuhkan perwakilan yang bisa membantu menjembatani. Belum lagi permasalahan mengenai Surat menyurat, terutama yang menyangkut surat elektronik.
- Masih hal yang hampir sama dengan hal di atas. Tidak semua orang Percaya diri berhadapan dengan pihak Bank apalagi OJK. Seperti misalnya orang-orang kampung, Â yang pendidikannya minim, atau yang statusnya kurang beruntung lainnya.Â
2.  Selain Debitur, Warga Masyarakat juga supaya turut dicantumkan. Karena ada kalanya seseorang bukan Debitur tapi masuk dalam SLIK. Entah karena kesalahan Sistem, atau namanya disalahgunakan oleh pihak lain. Permasalahan NIK di Dukcapil juga bisa jadi menyumbang permasalahan. Jadi tidak sesuai juga kalau warga masyarakat  dengan kategori tersebut sebagai Debitur. Karena malah jadi korban Sistem SLIK. Kalau tidak ada kategori warga dimasukkan, bisa menimbulkan kebingungan ketika warga masyarakat tersebut melakukan complain/Pengaduan.
3. Â Prinsip kehati-hatian supaya perlu juga ditekankan pada POJK ini. Karena SLIK ini bisa mencederai nama baik seseorang. Apalagi dalam jangka waktu yang relatif lama. Tidak semua warga masyarakat mampu menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan permasalahan ini dan akhirnya pasrah saja menerima nasib. Kalau itu yang terjadi, POJK ini punya kontribusi menjadi "Pembunuh berdarah dingin"
Sebagai pegiat Advokasi Nasabah, kami punya banyak bukti, warga masyarakat yang menjadi korban Sistem Informasi Debitur ini, yang akhirnya pasrah saja, karena sudah capek ngurus-ngurusnya, sementara untuk menempuh jalur hukum biaya tidak punya.
Dengan adanya penekanan prinsip kehati-hatian ini, niscaya Pelapor akan lebih hati-hati dan waspada dalam melakukan tindakannya. Karena sekali lagi, bisa menyangkut nasib seseorang.
4. Mungkin ada baiknya pihak OJK menyediakan semacam Corporate Social Responsibility (CSR), supaya ada alokasi biaya untuk "korban-korban" POJK ini, karena biar bagaimanapun OJK harus mempunyai tanggung jawab moral sebagai penyedia Sistem. Dalam kasus-kasus tertentu, Pelapor  membayar denda ke OJK, tapi yang "Korban" langsung  tidak mendapatkan apa-apa. Malah dibiarkan menderita sendiri.
Demikian kami sampaikan, mudah-mudahan dapat dipertimbangkan sebagai masukan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,