Mohon tunggu...
Ina Widyaningsih
Ina Widyaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Staf TU SMPN 3 Pasawahan

Penyair Pinggiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Penghujung Desember

31 Desember 2024   06:35 Diperbarui: 31 Desember 2024   06:35 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesona senja di Istora

Surya tenggelam mengajak senja untuk selesa di batas malam. Ada semburat lara menebar gulana pada jiwa Juwita. Hari telah sampai di penghujung tahun 2024. Telah banyak cerita tercipta di setiap lembar perjalanan. Entah kisah sedih atau kisah bahagia yang mengundang tawa.

Juwita berjalan di antara desakan senja yang beranjak gelap. Hatinya terasa sesak. Ada rasa tertahan hingga menekan dalam jiwanya. Juwita harus menelan kepahitan dengan segala kepasrahan. Tak pernah ada yang salah dengan takdir Tuhan. Juwita berusaha untuk tetap tegar berdiri dan berjalan menjalani kehidupan.

Telah dua bulan dia harus menjalani pengobatan rutin. Vonis dokter dan hasil pemeriksaan laboratorium telah membawanya pada kehidupan yang dirasanya begitu berat. Juwita harus merelakan semuanya, ikhlas menjalani kehidupannya yang harus berdampingan dengan kesakitan.

Kian hari rambutnya semakin rontok, dalam hatinya hanya bertanya "Apakah esok aku masih ada?"

Sejak vonis itu kerontokan rambutnya dirasa semakin menjadi. Keadaannya terasa cepat lelah, tubuhnya tak sekuat dulu ketika dia masih muda. Memang usianya beranjak senja, hampir mendekati kepala lima. Juwita hanya bisa menjalani semuanya penuh kerelaan dan kepasrahan.

Penyakit yang bersemayam dalam tubuhnya telah merubah segalanya. Dulu setiap perjalanan dapat dinikmatinya dengan penuh canda tawa. Sekarang Juwita hanya bisa tersenyum nanar untuk menyembunyikan keresahannya.

Dia tetap menjalani rutinitas dengan segala keyakinan jika keadaan akan menjadi lebih baik. Itupun jika dirinya kuat menjalankan setiap langkah yang harus dilaluinya. Namun dia selalu berpikir bahwa dia harus kuat.

Orang hanya bisa melihatnya tersenyum bahagia, itu sudah cukup baginya. Biarkan resah itu hanya berada di kedalaman hatinya. Walau pertanyaan itu selalu ada. "Akankah esok aku bisa sembuh?"

Entah pemeriksaan yang keberapa sore itu hasil USG masih menjelaskan jika penyakit itu masih saja bersemayam di tubuhnya. Juwita harus meninggalkan semuanya, meninggalkan segala kesukaannya. Sungguh menyedihkan, begitu dia berpikir. 

Dalam hatinya kembali resah. Mengapa semua ini harus menimpaku, keresahan itu kian menekan perasaan. Rasanya dia ingin berteriak, namun apakah dia pantas untuk menghakimi Tuhan. Juwita hanya menunduk pasrah.

Juwita merebahkan tubuhnya di pembaringan sunyi. Tak ada yang ingin dia lakukan selain memejamkan mata dan melupakan semuanya. Dicarinya kekuatan untuk membawanya hidup penuh dengan keyakinan. Dia tahu semuanya akan sulit dijalani.

Desember kelabu seperti sebuah lagu. Di akhir tahun ini cerita tidak sepenuhnya indah. Juwita terus memejamkan mata hingga ingatannya kembali ke masa-masa itu. Di mana dirinya bisa tertawa dengan permainan kata, berkarya dengan kata-kata bermakna. Rasanya begitu bahagia.

Namanya banyak dikenal orang dengan sebutan yang sudah tak asing lagi. Sungguh semuanya membuat bahagia dan cerita indah selalu tercipta di sana. Kini dia hanya menikmati luahan kata di dalam jiwanya saja dan menyimpannya dalam-dalam.

Bertumpuk kisah dituliskannya pada lembaran-lembaran yang sekarang menjadi usang. Tumpukan bisu itu hanya menjadi penunggu sudut ruangan penuh dengan debu. Tak ada lagi sentuhan manja yang membuka lembaran bisu itu. Seperti juga cerita hidup yang kian pilu.

Mereka adalah saksi hidup jika dirinya pernah memiliki sebuah dedikasi. Literasi yang dicintainya telah membawa namanya harum di pelataran kampung halaman. Kini Juwita hanya bisa menahan derai dalam kepasrahan, tak ada lagi kekuatan itu membawanya bergerak. Juwita hanya bisa diam dengan mata terpejam. 

Dia seakan enggan membuka matanya karena kenyataan hari ini telah berbeda. Cerita tidak selalu indah layaknya roda berputar, semua ada masanya. Namun di dalam hatinya Juwita tetap yakin untuk hidup lebih lama. Masih ingin rasanya membuat tumpukan bisu itu indah dipandang mata walau sedikit berdebu.

Juwita pun bangkit dan menarik nafas panjang. Bismillah semoga lelah akan menjadi lillah dan berkah. Bibirnya sedikit tersenyum dan bergumam "Aku harus kembali berjalan!"

Biarkan lembaran-lembaran itu bisu di sana, namun kata-kata harus tetap berkobar di buana. Menjerat setiap jiwa-jiwa merdeka yang ingin bercinta. Kata-kata itu akan tetap berkeliaran di setiap penjuru keresahan. Menghiasi hari dengan sedikit motivasi "Aku harus tetap bertahan!"

Dengan perlahan Juwita melangkah, menyusun roncean kata di beranda maya. Merekam jejak dengan suara paraunya, menyimpan kenangan dengan gambar berjalan, menuliskan namanya abadi di setiap hati pencintanya.

Juwita akan terus melangkah walau dengan perlahan. Menyibak segala sesak dengan berjalan tegak. Biarkan angin di penghujung Desember membawanya berlari kecil menuju ke seberang.

"Kucoba tuk bertahan!" Juwita bergumam di hatinya. Biarkan kata-kata tetap mengudara membawa nama abadi di setiap jiwa. 

Hai, akulah Juwita...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun