Mohon tunggu...
Ina Widyaningsih
Ina Widyaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Staf TU SMPN 3 Pasawahan

Penyair Pinggiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Senja di Danau Bambu

8 April 2021   11:27 Diperbarui: 8 April 2021   11:42 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin berhembus dan berlari menuju tepian danau, air pun bergerak menari kian kemari. Hilda asyik saja duduk manja di ayunan kayu yang bergantung pada sebuah pohon. Tatapannya lurus memperhatikan riak air danau yang sedari tadi membuatnya tertegun.

Sejak siang tadi Hilda berada di tepi Danau Bambu, sebuah danau yang berada jauh dari tempat tinggalnya. Hilda sedang ingin sendiri menikmati alam dengan segala pesonanya. Setelah beberapa kejadian yang selalu datang di kehidupannya dengan kelebihan yang dimilikinya, ada rasa lelah menyambangi jiwanya. 

Ketika suatu bayangan hadir di pelupuk matanya, Hilda tak dapat menghindari semua itu untuk terus berlari mencari dimana kejadian itu akan terjadi untuk sebisa mungkin ia bantu agar tidak terlalu parah menimpa korban.

Semilir angin meninabobokan Hilda yang asyik berayun manja di bawah pohon. Sesaat kemudian matanya terpejam hingga lelap mendekap. Seperti biasa tak lama kemudian Hilda terbangun dengan terkejut. Jelas sekali ia melihat bayangan sebuah rakit terbalik di tengah danau.

Hilda pun bangkit dan memutar pandangannya mencari apakah di sekitar danau itu ada sebuah rakit. Ketika ia lihat di tepi danau sebelah timur ada seorang kakek tua hendak menaiki rakit dengan membawa jaring untuk menangkap ikan. Dengan cepat Hilda menghampiri kakek tua itu dan berusaha mencegahnya untuk pergi.

Dengan berbagai cara Hilda membujuk kakek tua. Namun karena alasan demi keluarganya yang menanti bawaan hasil memancingnya, kakek tua tetap bersikeras menuju tengah danau. 

"Aku harus mendapatkan ikan untuk makan keluargaku." Ujar si kakek tegas sambil meninggalkan Hilda.

Hilda hanya menatapnya dengan nanar dan menunggu di tepi danau. Hilda tak bisa berenang hingga ia tak berani untuk menemani kakek tua itu memancing ikan di tengah danau.

"Sayang aku tak bisa berenang, andaikan saja...aku bisa, tentu aku akan menemani kakek itu agar tidak terjadi apapun padanya." Hilda bergumam.

Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, Hilda berteriak memanggil si kakek agar segera menepi. Hilda terus saja berteriak dari sebuah gazebo tempatnya berteduh. Terlihat kakek tua itu pun segera menarik jaringnya dan menjalankan rakit untuk menepi. Sejenak Hilda merasa lega dengan tingkah si kakek yang menandakan ia akan segera pulang.

"Bum... Duar!" Suara geludug itu sangat keras disertai dengan petir bercahaya membelah hujan.

Hilda melihat si kakek memegangi dadanya, lalu rubuh di atas rakit yang oleng karena guncangan tubuh kakek tua. Di tengah hujan yang deras rakit pun kian bergoyang dan "Blup!" Rakit itu pun hampir terbalik hingga tubuh si kakek yang pingsan tak dapat tertahan lagi jatuh ke dalam air.

Hilda kembali berteriak tanpa bisa melakukan apapun untuk membantu si kakek. Hingga hujan reda Hilda pun mencari bantuan untuk menolongnya. Beruntung ada penduduk sekitar yang lewat ke danau itu. Akhirnya si kakek ditemukan namun nyawanya tak dapat diselamatkan karena memang terkena serangan jantung saat ada suara geludug yang keras tadi.

"Ya... Tuhan, aku tak dapat mencegah takdirmu, aku tak mampu menyelamatkan kakek itu, maafkanlah aku... " Hilda terisak merasa menyesal.

Hilda kembali menyendiri di gazebo tempatnya berteduh tadi. Ia hanya tertunduk lemas mengingat kejadian tadi, dalam hatinya sangat menyesal sekali. Ia merasa bersalah karena tak dapat menolong si kakek.

Sejak matanya bisa melihat apa yang akan terjadi di sekitarnya, Hilda akan berusaha menolong agar sesuatu tidak terjadi dan membuat korban di depan matanya. Ia selalu teringat pesan ibunya untuk selalu berbuat kebaikan dengan kelebihan yang dimilikinya. Hilda akan berusaha terus menjalankan amanat almarhum ibunya.

Ya, kini Hilda telah menjadi seorang perempuan dewasa dan yatim piatu karena hampir dua tahun orang tuanya telah meninggal dunia. Hilda hidup sebatang kara di tengah kota yang hiruk pikuk penuh keramaian. Ia tidak memiliki pekerjaan tetap, yang kini ditekuninya hanya menjadi seorang penulis untuk sebuah majalah.

Karena banyak perjalanan hidup yang dilaluinya penuh dengan cerita, ia tak bisa menceritakan semua yang dialaminya pada siapapun. Untuk itu Hilda selalu menuliskan apapun yang terjadi ke dalam buku hariannya yang kian lama kian penuh lembar demi lembar terisikan oleh kisah perjalanannya.

Ada sebuah keinginan dalam hatinya untuk membukukan tulisannya tersebut. Hingga suatu hari Hilda bertemu seseorang yang memberinya motivasi untuk menulis dan membuat sebuah karya. Namanya Mahesa, seorang lelaki yang kini sedang dekat dengannya.

Mahesa seorang pemabuk yang diselamatkannya ketika akan tertabrak kereta. Kejadian yang sungguh membuat Hilda tak dapat melupakannya. Saat itu Mahesa yang tengah berjalan sempoyongan akan menyebrangi jalan kereta terjatuh tepat lima belas meter kereta ekspres itu akan melintas. Hilda yang seperti biasa sedang berlari mencari tempat yang akan terjadi kecelakaan, dengan sigap Hilda membawa Mahesa ke pinggir jalan kereta. Dan akhirnya Mahesa pun dapat diselamatkan.

Sejak saat itulah Hilda mengetahui alasan Mahesa mengapa menjadi seorang pemabuk, dan alasannya dapat diterima Hilda. Mereka pun mulai merasa dekat karena kesamaan yang ternyata memiliki kelebihan. Mahesa pun sama bisa melihat sesuatu akan terjadi di hadapannya, hanya saja Mahesa lebih ke arah perjalanan hidup seseorang yang bisa dilihatnya.

Suatu saat Mahesa melihat diri Hilda yang akan segera menemukan pasangan hidupnya, namun dalam penglihatan Mahesa masih belum jelas siapa yang akan menjadi jodoh Hilda. Saat itulah Hilda menjadi gelisah akan dirinya, ia sangat menyayangi Mahesa dan berkeinginan untuk hidup bersama hingga sisa usia mereka.

Kegelisahan Hilda membuat kehilangan fokus dirinya menjadi berkurang. Ada beberapa kejadian tak dapat dibantunya, hingga korban pun tertimpa parah dengan kecelakaan yang terjadi hingga meninggal dunia. Hilda merasa bersalah karena tak dapat menolong orang tersebut. Belum lagi hatinya yang resah karena takut kehilangan Mahesa.

Hilda pun berniat ingin menenangkan dirinya untuk menghilangkan kegelisahannya. Hilda pergi ke danau ini sendirian tanpa memberitahukan Mahesa. Ia hanya ingin sendiri saja untuk melepas lelah dan gelisah.

Namun apa yang terjadi setelah Hilda beberapa lama menikmati sendirinya. Di hadapannya muncul Mahesa yang sedang tersenyum ke arahnya. Wajahnya tampak lega karena melihat Hilda baik-baik saja. Tepat kehadiran Mahesa di danau itu, lembayung merona jingga hingga mentari tenggelam di ujung danau.

Suasana menambah romansa keduanya, Hilda hanya merebahkan kepalanya di pundak Mahesa. Hilda tak ingin berkata-kata karena ia tahu Mahesa bisa melihat keadaan dirinya. 

Mereka pun hanya menikmati senja tanpa berbicara satu sama lain. Dalam hati saja mereka bicara jika cinta dalam hati keduanya tak ingin terpisahkan. Ada janji setia pada keduanya. 

"Semoga bahagia akan menjemput kami berdua." Gumam keduanya.

Senja pun tenggelam di haribaan malam lalu mereka pun pulang membawa perasaan masing-masing yang berjanji untuk saling setia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun