Sejak semalam hujan tak jua reda, gerimis seakan mengundang tangis. Melihat berita di setiap stasiun televisi nusantara hanya barisan aksara berjudul bencana. Lara ini sungguh tiada jeda, nusantaraku tengah berduka.
Belum juga duka itu terlupa, kabar sedih tragedi sriwijaya di Kepulauan Seribu. Berapa nyawa yang hilang terbang untuk berpulang ke haribaan Sang Maha Kuasa. Sanak saudara kehilangan keluarga mereka. Kini duka kembali tiba.
Tanah itu luruh mengubur asa dan bahagia, longsor terjadi di Sumedang. Berapa banyak materi yang tak bisa terganti, nyawa pun hilang terkubur tanah yang mengamuk seperti tak mau lagi diatur. Di manakah persahabatan kita dengan alam? Tiada lagi keramahan alam bagi kita yang terus saja menekannya dengan banyak beban.
Terguncang lagi tanahku dengan gempa betapa mereka yang di Sulawesi merasa nestapa. Gempa yang berkekuatan magnitudo 5,2 terjadi ketika pagi menyapa hari. Kalang kabut luluh lantak hancurlah seketika penghuni di atas tanah ini, tinggal puing-puing berserakan bersama isak kesedihan. Kita bisa apa, hanya pasrah dan tawakkal pada Tuhan Yang Maha Pencipta.Â
Indonesiaku sungguh berduka.
Air pun tak lagi bersahabat dengan bumiku, ia meluap meluluhlantakkan Kalimantan yang dahulu rimbun dengan hutan-hutan. Entah salah siapakah ini semua, ketika bencana banjir menggulung harapan insan di belahan Kalimantan. Apa yang telah kita lakukan dengan alam ini? Jawabannya ada pada hati kita.
Sesal sungguh tiada guna, bijaklah duhai manusia. Alam ini punya kita sebagai karunia Tuhan yang semestinya lestari karena dijaga. Tak baik juga jika saling menyalahkan, mulailah dari sekarang untuk memperbaiki kesalahan. Bersama kita bergandengan tangan menjaga alam dari kerusakan. Janganlah keserakahan didahulukan demi kepuasan pribadi semata, tolonglah dipikirkan nasib sesama yang tak tahu apa-apa.
Banjir itupun seakan masih belum puas mengurai tangis di Kalimantan. Tiba-tiba Cisarua Bogor tergerus banjir bandang yang berteriak dengan kencang seperti protes kepada kita manusia. Alam semakin lelah dengan segala beban yang menindihnya. Tumpukan sampah itupun menjadi sumpah serapah meneriaki jejak-jejak kaki yang kian mencaci bumi dengan kesombongan insan tak tahu diri. Marilah kita introspeksi diri.
Air terus saja mengalir deras melibas apapun yang dilaluinya menghabiskan semuanya dengan isak tangis yang tersisa. Bukan saja di Bogor, entah di mana lagi yang mungkin tidak tersiar secara viral. Oh... sungguh bersedih nusantaraku ini.
Alamku masih belum berhenti berteriak. Ia seakan ingin memberitahu pada kita agar berhenti terus menggali isi bumi yang kian hari mulai habis terkikis. Cobalah untuk mengerti duhai insan.
Alam selalu memberi tanda pada kita.