Alhamdulillah bahan-bahan untuk membuat biji ketapang ternyata ada di dapur hingga tak perlu lagi belanja. Mulailah kubuat adonan biji ketapang ditemani si bungsu.
Entah mengapa hati ini terasa haru melihat si bungsu yang terus membantu mencetak biji ketapang. Walau hanya kue biji ketapang ada garis bahagia di wajahnya karena keinginannya telah dikabulkan olehku.
"Ya... Allah, alhamdulillah atas karunia-Mu yang memberikan anak shaleh padaku." Bisikku dalam hati.
Selama masa sulit ini si bungsu tak pernah banyak permintaan, walau baru kelas tiga SD sepertinya dia sudah mengerti kesulitan orang tuanya.
Namun ada rasa bersalah menyebar dalam hati ini hingga terasa sesak dan kutahan derai itu jatuh. Apalagi ketika kusuruh si bungsu untuk istirahat dan pergi tidur, dia malah berkata "Kasihan mama ah... Biarin bantu sampai selesai aja."
Terenyuh sangat mendengarnya, entah mengapa hati ini begitu sensitif sekali di saat pandemi ini. Betapa sayangnya dia padaku, hingga kami selesai mencetak biji ketapang, dan masih banyak lagi perkataannya dalam percakapan kami yang membuatku teriris perih.
Aku masih belum bisa membahagiakan anak-anakku seperti dulu ibuku yang berjuang begitu keras demi kebahagiaan kedua anaknya walau hanya single parent. "Maafkan mama!" Bisikku dalam hati.
Sungguh ada sesuatu yang menyadarkanku di sini tentang perjalanan hidup. Sesulit apa pun tentu akan selalu ada jalan. Bersama keluarga tercinta itu adalah sebuah kebahagiaan.Â
Momen membuat kue biji ketapang bersama anakku dengan bercurah kasih sayang adalah cerita indah di hari ini.Â
Di rumah saja bersama keluarga tercinta.
Tetap semangat jalani hidup ini di tengah pandemi.