Mohon tunggu...
Ina Widyaningsih
Ina Widyaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Staf TU SMPN 3 Pasawahan

Penyair Pinggiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Kembali Hilang

8 Mei 2020   20:38 Diperbarui: 8 Mei 2020   21:43 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Babak baru sedang dijalani Nira dalam kehidupannya sekarang. Jauh dari sanak saudara, jauh dari semua yang disayanginya, jauh dari kampung halamannya. Namun Nira tak lantas patah semangat, karena di sini telah banyak teman baru yang dijumpainya. Apakah Nira bahagia?
Nira masih berjuang untuk mencapai bahagia menurutnya. Di tanah melayu kini ia bekerja sebagai penjaga toko. Sebuah pekerjaan yang bisa memberikan kesempatan padanya untuk tetap menulis. Dan itu sudah membuatnya bahagia untuk sementara, tentang lukanya terkadang ia sangat ingin untuk melupakannya.

Hari ini Nira sedang sibuk dengan pekerjaannya, banyak barang datang yang harus ia periksa satu persatu. Dengan telaten ia mengerjakannya dan sepertinya sangat dinikmatinya.

"Bekerjalah dengan hati, agar kau bisa menikmati semuanya." Selalu itu yang diingat Nira dalam benaknya.

Hampir enam bulan ini Nira memang menikmati pekerjaannya di Malaysia. Ia yang hanya lulusan SMA harus bersyukur atas pekerjaan yang didapatkannya. Kontrak kerja telah ditandatanganinya selama  dua tahun. Dengan tekad yang kuat Nira selalu berusaha untuk bekerja dengan sebaik-baiknya agar majikannya senang.
Ketika Nira asyik dengan pekerjaannya, datanglah seorang konsumen yang akan berbelanja. Nira pun menyapanya dengan ramah.

"Can I help you?"
Seorang laki-laki itu tersenyum ramah kepada Nira, dan menjawab sapaan.

"Tak apa saya sama orang Indo, saya hanya ingin mencari sebuah buku."

"Oh... Maaf, saya pikir anda warga sini yang biasa berbicara dengan bahasa inggris dan melayu." Nira menjawabnya dengan tersenyum pula.

Percakapan antara Nira dan konsumen ini pun menjadi akrab hingga selesai transaksi. Dan Nira pun diberikan salam perkenalan sebelum mereka berpisah.

"Nama saya Andika. Saya akan kembali belanja ke sini suatu hari nanti." Begitu tukas pemuda tadi.

Ada yang berkesan dari perjumpaan itu, tapi entah mengapa Nira hanya berharap akan berjumpa lagi dengannya.
Waktu pun berlalu setelah perjumpaan itu. Nira pun telah lupa dengan perjumpaannya bersama Andika.

Seperti malam ini, tak ada lagi yang bisa membuatnya bahagia, sebelum tidur Nira masih asyik dengan tulisannya.

"Malamku Bersama Sunyi"

Hanya ada lekukan langit di hadapanku kini
Jauh mata memandang hanya berujung sunyi
Gemintang berkedip mesra padaku sesekali
Sungguh indah malamku ini

Rembulan pun setia menemani
Membelaiku dengan bait-bait puisi
Sinarnya seakan memberiku inspirasi
Walau pun gelap,  ia tetap menemui

Jauh aku dari semua yang kusayangi
Tiada kasih pun yang tertambat di hati
Bersama malam aku hanya seorang diri
Berpeluk hangat bersama sunyi

Teras Rumah Atas
Puisiku malam ini, Nira.

Dan seperti biasanya ketika tulisannya selesai ia pun terlelap bersama mimpi hingga larut kan berganti esok pagi.

Pagi ini Nira kembali membuka tokonya, dan ia dikagetkan dengan sebuah buket bunga tergeletak di lantai depan. Masih segar bunganya tentu baru diantar tak lama sebelum toko buka. Nira pun mengambilnya dan nampak kartu ucapan terselip di sana, "Selamat pagi, Nira. Semoga kau suka dengan bunga ini. Andika."

"Wow!" Nira berkata merasa lucu sendiri.

"Oh...ada apa gerangan?" Nira bergumam.
Dan tiba-tiba di hadapannya telah berdiri si pengirim bunga tadi.

"Andika?" Sapa Nira sedikit malu.

"Ya, sungguh aku telah jatuh hati sejak pertama berkunjung ke toko ini." Sahut Andika sangat jelas.

Nira semakin memerah wajahnya. Entah mengapa ada debar-debar aneh dalam hatinya.

Andika dengan tergesa meminta nomor telpon kepada Nira, dan anehnya langsung diberikan oleh Nira dengan menulisnya di secarik kertas. Andika pun pamit, "Saya harus kerja, sampai jumpa lagi Nira!"

Nira masih tertegun di depan tokonya sambil memandang lelaki yang berlalu darinya barusan dan hilang di belokan jalan sana.

Sejak saat itu, hari-hari Nira sungguh dirasa indah karena Andika tak pernah luput selalu menghubunginya melalui telpon. Lama semakin lama mereka berdua kian akrab saja hingga suatu malam Andika benar-benar menyatakan isi hatinya kepada Nira. Dan tahukah apa yang terjadi selanjutnya?

Ya, mereka menjalin hubungan yang serius di tengah kesibukan masing-masing. Andika yang bekerja sebagai mandor proyek di sebuah perusahaan, selalu berpindah-pindah tempat kerja di Malaysia. Namun Andika tidak pernah sedikit pun untuk selalu menyapa Nira di telpon. Jika waktunya libur kerja, Andika pun berkunjung ke toko Nira dengan membawa oleh-oleh atau apa saja yang disukai kekasihnya. Sungguh indah hari-hari keduanya dilalui berdua walau terkadang jauh terpisah.

Mereka telah berjanji jika suatu hari nanti pulang kampung ke Indonesia, mereka akan menikah. Nira pun sangat menginginkan waktu cepat berlalu agar mereka bisa membangun bahtera rumah tangga berdua.

Dan setiap malam kini hanyalah rangkaian kata nan indah yang selalu Nira tuliskan di buku catatannya.

"Semoga Bahagia"

Duhai malam, kau adalah teman nan setia
Jelang lelapku mengajak terlena
Bersyair indah tentang cinta kita
Senandung nan syahdu jua mesra

Aku di sini dan kau di sana
Biarlah jarak mengikat erat pada jiwa
Tetap menanti hingga waktu kan tiba
Datanglah kasih jemput bahagia

Bintang yang menjadi saksi tentang kita
Rembulan pun menyinari cinta yang setia
Berharap nanti kita kan bersua
Pada mahligai indah semoga bahagia

Aamiin...
For love
Nira & Dika

Sungguh sebuah asa yang kuat tuk gapai bahagia, semoga.

Hari ini adalah hari libur. Nira berkesempatan untuk rehat dari pekerjaannya, walau hanya satu hari saja sudah cukup baginya senang dan bahagia. Tentu saja Nira bahagia hari ini karena semalam Andika menelponnya jika mereka libur kerja bersamaan. Dan mereka telah merencanakan liburan sehari untuk bertamasya berdua. Dalam benaknya Nira pun membayangkan kebahagiaan mereka berdua.
Bel asrama berbunyi mengejutkan Nira yang sedang bersiap-siap. Dibukanya pintu depan dan nampaklah sosok pria berwajah teduh di hadapannya.

"Assalamualaikum..." Sapa Andika dengan hangat.
"Waalaikumsalam..." Nira menjawabnya dengan tersenyum manis.
"Sudah siapkah?" Andika bertanya.
"Yuk, kita berangkat!" Ajak Nira penuh semangat.

Maka berangkatlah mereka berdua berjalan kaki menuju halte bis kota. Andika menggenggam tangan Nira dengan erat seperti ingin membuat hati kekasihnya itu merasa nyaman dan aman bersamanya. Sesekali Nira menoleh ke wajah Andika dan menatapnya dengan penuh haru dan bahagia. Entah mengapa baru kali ini Nira merasakan damai di hatinya. Tak sedikit pun ada keraguan pada Andika kekasihnya. Nira begitu yakin jika nanti mereka akan menikah sepulangnya ke Indonesia.

Saat mereka duduk berdampingan di dalam bis kota, tangan keduanya tetap bergenggaman erat seakan tak ingin terpisahkan. Percakapan hangat dan manis terdengar dari mulut keduanya. Setibanya di tempat yang dituju mereka pun asyik menikmati liburannya, hingga waktu pun terasa cepat melaju, mereka tersadar hari hampir sore. Dan mereka pun kemudian pulang.

Selama perjalanan pulang Nira nampak lelah dan melabuhkan kepalanya di atas pundak Andika. Sebuah pemandangan manis dan romantis pun terlihat ketika Andika membiarkan kekasihnya tertidur di pundaknya dengan tangannya tetap menggenggam erat Nira.

Mereka pun tiba di halte dekat asrama, dan kemudian turun dari bis. Tiba-tiba...

"Duduklah dulu sebentar di sini, Nira. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu." Tukas Andika kepada Nira.

Halte itu tidak terlalu ramai dengan orang, hanya ada beberapa orang saja yang sedang menunggu bis. Nira pun duduk di tempat yang kosong, sedangkan Andika berlutut di depan Nira. Sontak saja Nira terkejut.

"Mengapa kau berlutut seperti itu, Dika?" Tanya Nira agak malu karena orang lain memperhatikan mereka berdua.

Andika merogoh saku celananya dan mengeluarkan kotak berbentuk hati berwarna merah hati. Nira tambah kebingungan ketika Andika membuka kotak tersebut yang ternyata di dalamnya berisikan sebuah cincin.

"Saya ingin melamarmu untuk menjadi istriku, Nira. Bersediakah kau menerimanya?" Kata Andika kepada Nira.

Wajah Nira pun memerah, karena orang-orang yang memperhatikan mereka tersenyum dan mengangguk ke arahnya seakan ingin membantu Nira untuk menjawab Andika.

"Andika, jika kau bersungguh-sungguh mencintai dan menyayangiku, tak ada alasan untuk menolak permintaanmu. Saya bersedia." Jawaban Nira pun melegakan hati Andika.

Dan tepuk tangan pun terdengar indah dari orang-orang yang sedari tadi memperhatikan mereka. Ucapan selamat dan jabat tangan pun diberikan kepada keduanya. Sungguh momen yang takkan terlupakan bagi keduanya.

Setelah adegan romantis itu selesai, keduanya pun pulang. Kebahagiaan Nira sungguh nyata hari ini. Wajahnya berseri-seri selalu sejak hari itu walau seperti biasanya hanya bertemu di udara karena sama-sama sibuk bekerja.

Hari berganti hari tanpa terasa dua tahun sudah kontrak kerja Nira telah habis. Itu artinya Nira harus pulang kampung ke Indonesia, namun sayangnya waktu kepulangannya tidak bisa bersamaan dengan Andika. Karena kontrak kerja Nira lebih dulu satu bulan dari pada Andika. Ada sedikit kecewa di hati Nira, tapi ia merasa yakin jika nanti Andika akan menyusul ke rumahnya di Indonesia.

Tiba waktunya Nira untuk pulang ke Indonesia, Andika pun mengantarkannya hingga ke bandara. Ada pandangan sedih di wajah keduanya karena tak bisa pulang bersama berdua. Namun Andika meyakinkan Nira jika ia akan menyusulnya nanti.

"Tunggulah di Indo, jangan takut karena saya akan datang padamu, Nira." Andika berkata.

Mereka pun berjabat tangan erat saling menatap tajam seakan tak ingin dipisahkan, namun sayang semuanya harus diakhiri saat ini karena pesawat akan segera take off dan Nira harus pulang.

Tinggalah Andika sendiri menatap Nira yang lalu menghilang dari tatapannya. Andika pun beralih menatap ke jendela bandara dan melihat pesawat itu telah terbang membawa kekasihnya yang pulang.

"Ya, Tuhan... Semoga kami dipertemukan kembali pada mahligai nanti." Bisik Andika lirih.
Lalu mengapa tiba-tiba ada ragu di dalam hati Andika, sungguh ia tak mengerti. Padahal hanya menunggu satu bulan saja ia akan menyusul Nira untuk pulang.

Sementara Nira yang berada di dalam pesawat hanya menatap awan biru di balik kaca jendela. Mengapa awan biru itu dilihatnya seperti kabut yang menyelimuti pesawat yang ditumpanginya, ada bayangan menakutkan tiba-tiba menghampirinya.

"Semoga mahligai bahagia kita kan menjadi nyata, aamiin." Terucaplah doa di bibir Nira yang manis.

Hampir satu bulan Nira sudah berada di Indonesia. Kembali bercengkrama dengan keluarganya yang hanya tinggal ibu dan adik laki-lakinya. Nira sudah menceritakan semua tentang rencana pernikahannya dengan Andika kepada keluarganya. Alhamdulillah restu pun sudah didapatkannya, hanya tinggal menunggu waktunya saja.

Hari ini adalah rencana kepulangan Andika ke Indonesia. Semua rencana sudah disusun olehnya bersama Nira. Karena Andika hanya sebatang kara, jadi rencananya ia akan langsung menuju ke rumah Nira. Rencana mereka nampak sudah matang sekali, dan percaya akan baik-baik saja tanpa ada sesuatu apa. Dari bandara Sukarno-Hatta, dengan menyewa sebuah minibus Andika pun langsung melanjutkan perjalanannya ke Purwakarta.

Andika nampak lelah hingga tertidur di dalam mobil. Tanpa ia sadari pengemudi mobilnya tengah panik karena rem blong tiba-tiba. Sementara lalu lintas pada saat itu begitu ramai di jalan tol. Dan suara teriakan si pengemudi pun akhirnya membangunkannya.

"Astagfirullah! Ya, Tuhan... Selamatkanlah kami!" Teriak si pengemudi.

"Astagfirullah! Ada apa, pak? Lho... Kenapa mobilnya oleng begini? Haa!!! Remnya blong, pak! Hati-hati,pak!" Andika nampak panik juga.

Tiba-tiba dari arah belakang ada bus yang menyalip mobil mereka, namun bus itu langsung mengambil kanan dan berhenti di pinggir jalan tol. Sontak saja mobil yang ditumpangi Andika yang sedang oleng pun menabraknya dengan keras.

"Jegger! Bum! Prak!" Tak dapat dielakkan lagi kecelakaan tragis pun terjadi. Hancurlah bagian depan mobil yang ditumpangi Andika.
Semua menjadi gelap seketika, samar-samar Andika mendengar suara teriakan orang-orang.

"Woy... Supirnya meninggal! Ini penumpangnya kayanya masih bernafas, ayo tolongin!"
Dan setelah itu tak ada lagi yang didengarnya apalagi yang dilihatnya.
Sementara itu Nira yang sudah tidak sabar menunggu kedatangan Andika, ia hanya wara-wiri saja dari depan rumah terus masuk lalu keluar lagi. Seperti induk ayam yang akan bertelur ia tidak bisa diam. Akhirnya ia pun memutuskan untuk menelpon kepada Andika karena menurut prediksinya Andika sudah terlambat dua jam dari perkiraan tiba di rumahnya.

"Mengapa telponnya tidak diangkat ya?" Nira keheranan.

"Apakah yang terjadi, Dika? Jangan membuatku khawatir seperti ini. Mengapa sejak tadi kau tidak menghubungiku?" Nira berkata sendiri penuh kekhawatiran.
Tiba-tiba telpon Nira berdering, ternyata Andika menghubunginya juga.

"Hallo, selamat malam. Apakah betul ini dengan Mbak Nira? Yang dari tadi menelpon ke nomor pemilik telpon ini." Sahut suara dari sebrang yqng tidak dikenalinya.

"Ya, hallo... Betul saya sendiri, Nira. Anda siapa? Mengapa telpon tunangan saya ada pada anda?" Nira balik bertanya dengan heran.

"Maaf, Mbak Nira. Saya perawat di RSUD Karawang mau memberi kabar jika Mas yang punya telpon ini mengalami kecelakaan mobil di jalan tol. Dia sedang koma saat ini, silahkan anda bisa datang ke rumah sakit untuk memastikannya dan... " Sahut suara tadi.
Semuanya sudah tak jelas lagi didengar oleh Nira karena ia pingsan setelah mendengar kabar tentang kecelakaan. Sambungan telpon pun dilanjutkan oleh adiknya untuk memastikan informasi yang sebenarnya.

Ketika Nira sadar, ia telah berada di dalam mobil sambil didekap oleh ibu dan adiknya. Airmatanya tak berhenti berderai, isak tangisnya pun kian parau menahan kesedihannya. Ia tak mampu lagi tuk berpikir tentang pernikahannya. Kabar tadi telah merenggut alam pikirnya.

Setibanya di rumah sakit, Nira langsung lari menghampiri ruang ICU tempat Andika dirawat. Sungguh pemandangan yang memilukan begitu Nira melihat keadaan Andika. Dan seperti yang sedang menunggu kedatangan Nira, tiba-tiba Andika sadar dari komanya, namun keadaannya lemah sekali tak sedikit pun suaranya terdengar oleh Nira. Andika nampak mengangkat tangannya untuk mengelus rambut Nira yang berada dekat tempat tidurnya, namun tangan itu kemudian terjatuh kembali diiringi suara alat di sebelahnya yang berbunyi panjang dengan gambar garis lurus panjang. Dokter pun memeriksanya lalu tak lama kemudian berkata,

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Maaf, Mbak. Pasien sudah tidak dapat tertolong lagi. Allah telah mengambilnya, yang tabah ya, mbak." Detik-detik inilah yang sungguh sangat menyakitkan bagi Nira, hingga ia tak dapat menahannya lagi kemudian pingsan.

Malang nian nasib Nira, ketika bahagia akan menjemputnya namun pedih pun merenggutnya lebih dahulu. Karam sudah kapal yang ia impikan tuk berlayar bersama dengan Andika. Tinggallah di depannya batu nisan bertuliskan sebuah nama yang telah membuatnya bahagia dalam waktu dua tahun kemarin. Kini telah sirna bahagianya seakan terbawa oleh jasad kekasihnya di pusara itu.

Nira berjalan gontai sendiri menyusuri jalan setapak keluar dari area pemakaman umum.
Sudah hampir setengah tahun, Nira dengan setia terus menziarahi pusara kekasihnya. Ia hanya meluahkan airmatanya setelah berdoa untuk arwah kekasihnya. Wajah cerianya kini telah tiada, hanya pandangannya yang kosong nampak menyedihkan sekali.

Semangat hidupnya pun telah hilang, ia hanya menghabiskan waktunya setiap hari untuk berada di dalam kamar sambil mendekap baju kebaya yang rencanya akan dipakai saat pernikahannya dengan Andika. Dan di tempat tidurnya tergeletak sebuah kotak yang berisikan sepasang cincin perkawinannya.

Ibunya hanya menatap Nira dari balik tirai pintu kamarnya. Dalam diamnya sang ibu selalu berdoa semoga Nira akan kembali seperti semula keadaannya. Entah kapan wajah Nira akan kembali ceria.

Kini tiada lagi tulisan-tulisan indah Nira di buku catatannya. Buku itu hanya diam dan bisu di atas meja kecil di sebelah tempat tidurnya, tak ada lagi sentuhan tangan Nira untuk buku itu.

Hingga suatu hari, Nira membukanya kembali lalu menuliskan sesuatu:

"Mengapa aku tak bisa bahagia? Apa salahku?"

Itulah tulisannya yang sangat pilu rasanya.
Sejak saat itu, Nira hanya menuliskan tentang kesedihan dan luka pada buku catatannya.

Seperti sebait puisinya ini:

Aku hanya tahu jika angin masih berhembus
Aku hanya tahu jika mentari kembali tersenyum  pada pagi
Aku hanya tahu jika malam hanya indah jika ditemani sang rembulan
Aku hanya tahu jika hati ini masih selalu merindukannya

Tentu saja Nira masih belum bisa melupakan semuanya, namun berangsur-angsur hatinya mulai bisa menerima kenyataan jika hidupnya masih harus terus berjalan. Esok masih ada harapan tuk kembali mencari bahagia.
Nira pun menutup buku catatannya, kemudian larut bersama pekatnya malam dan terlelap dalam mimpi yang mulai kembali dibangunnya.
Semoga akan ada bahagia yang lain.

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun