Seandainya ada pertanyaan, “Apakah yang selalu terjadi dan tak pernah berhenti pada diri kita hingga ajal tiba?” Apa jawaban kita? Nafas, detak jantung, perubahan, atau apa lagi? Mungkin jawaban satu ini termasuk di dalamnya, yaitu ujian. Dalam suatu hadits Rasulullah bersabda,
”(Orang yang paling keras ujiannya adalah) para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang semisalnya, diuji seseorang sesuai dengan kadar agamanya, kalau kuat agamanya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka senantiasa seorang hamba diuji oleh Allah sehingga dia dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa” (HR. At-Tirmidzy, Ibnu Majah, berkata Syeikh Al-Albany: Hasan Shahih)
Bagi manusia apapun keadaan atau kejadian yang menimpanya sebenarnya adalah ujian. Kefakiran adalah ujian. Harta yang berlimpah juga ujian. Kebodohan adalah ujian. Kepandaian juga ujian. Waktu yang sempit maupun lapang juga ujian. Sudah atau belum diberi keturunan juga ujian. Tergantung kita menyikapinya. Demikianlah Allah Swt selalu memberikan ujian kepada kita.
Jika memang demikian maka persoalan sebenarnya bukan terletak pada jenis ujian (karena ia akan selalu menghampiri) atau besar dan kecil ujian tersebut (karena ujian akan selalu sesuai dengan kadar keimanan). Tetapi bekal yang harus dimiliki untuk menghadapi ujian. Bukankah jika bekal tersebut dimiliki apapun ujiannya –insyaAllah– kita akan mampu mengatasinya? Dan perlu diketahui bahwa meski ujian akan selalu sesuai dengan kadar keimanan, tidak semua manusia mampu lulus menghadapinya. Di sinilah bekal sangat penting adanya.
* * *
Mari kita simak sebuah kisah yang terjadi pada jaman Rasul tentang pertemuan sekelompok kaum yang hendak berpisah dengan Rasulullah dan meminta bekal agar mampu mengarungi kehidupan mereka, yang tentu akan selalu diwarnai berbagai ujian. Berikut dialog yang terjadi.
”Rombongan utusan Abdul Qais datang menemui Rasulullah saw. lalu berkata: Wahai Rasulullah, kami berasal dari dusun Rabiah. Antara kami dan engkau, terhalang oleh orang kafir Bani Mudhar. Karena itu, kami tidak dapat datang kepadamu kecuali pada bulan-bulan Haram (yaitu Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab). Karena itu, perintahkanlah kami dengan sesuatu yang dapat kami kerjakan dan kami serukan kepada orang-orang di belakang kami. Rasulullah saw. bersabda: Aku memerintahkan kepada kalian empat hal dan melarang kalian dari empat hal. (Perintah itu ialah) beriman kepada Allah kemudian beliau menerangkannya. Beliau bersabda: Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, membayar zakat dan memberikan seperlima harta rampasan perang kalian. Dan aku melarang kalian dari arak dubba’ (arak yang disimpan dalam batok), arak hantam (arak yang disimpan dalam kendi yang terbuat dari tanah, rambut dan darah), arak naqier (arak yang disimpan dalam kendi terbuat dari batang pohon) dan arak muqayyar (arak yang disimpan dalam potongan tanduk). (Shahih Muslim No.23)
Pada hadits yang lain, “Dari Sufyan bin Abdullah ra, berkata :Saya bertanya, “Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam akan suatu perkataan, tidaklah aku bertanya tentangnya kepada seorangpun selain engkau,” Nabi menjawab: Katakanlah olehmu aku beriman kepada Allah kemudian istiqomah (lurus dalam amalan)” (Hadits riwayat Muslim)
Tahulah kita dari kedua hadits ini bahwa sebaik-baik bekal adalah keimanan. Dengan keimanan yang kuat apapun ujiannya insyaAllah kita akan mampu menghadapinya.
* * *
Baiklah, marilah kita mengambil salah satu kasus dari kehidupan kita bagaimana peran iman menghadapi ujian. Ambillah permasalahan korupsi, yang konon sebagai persoalan yang mewabah di Indonesia.
Kalau dipikir mengapa korupsi bisa terjadi? Ketamakan atau keterdesakan kebutuhan bisa menjadi penyebab. Memang kedua jenis penyebab korupsi yang disebut di atas berbeda level. Untuk ketamakan, meski sudah kaya raya tapi tetap saja korupsi. Karena sudah mendarah daging dan terbiasa. Setiap ada kesempatan selalu dilakukan. Sedang untuk keterdesakan kebutuhan, bisa jadi korupsi menjadi keterpaksaan. Beban hidup yang menghimpit bisa jadi memicu niat korupsi. Apa saja, biaya anak sekolah, isteri mau melahirkan, biaya berobat orang tua, atau membayar utang yang sudah jatuh tempo. Jika sudah terdesak dan kebetulan ada kesempatan, bisa jadi korupsi terjadi.
Ya, korupsi tidak harus dilakukan oleh pejabat eselon, misalnya. Semua level di semua jenis pekerjaan berpotensi terjadi korupsi. Dari manipulasi mark-up proyek hingga ”sekadar” manipulasi nota pembelian kertas kantor yang hanya satu kardus kecil.
Lalu apakah yang bisa membendung niatan jahat ini. Sedang korupsi cenderung selalu tertutup, dan tidak diketahui banyak orang. Hanya urusan diri sendiri dengan Tuhan. Di sinilah peran iman bermain untuk menyapu bersih niat tersebut.
Suatu waktu Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa menjauhkan diri dari apa yang tidak halal, maka Allah memberinya kecukupan, dan barangsiapa bersabar maka Allah menambahkan kesabaran. Tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Shahih Muslim)
Keimanan yang kokoh akan melahirkan pemahaman bahwa di Tangan Allah-lah segala rezeki diatur, Dia-lah Pihak yang paling berwenang melapangkan atau menyempitkan rezeki seorang hamba, Dia-lah Mahapencipta dan Pengatur seluruh alam raya di dunia ini.
Sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezki itu). (TQS ArRuum 37)
Kamilah yang memberi rezki kepadamu. (TQS Thaahaa 132)
Apakah lagi yang lebih baik dan berharga dibanding pemberian Allah, sedang Allah adalah Mahamengetahui kebutuhan umatNya dan Mahapengatur rezeki hamba-hambaNya. Bisnis dan perniagaan mana yang lebih bagus dibanding urusan kita dengan Allah yang telah dijamin olehNya akan diberi kecukupan segala kebutuhan kita.
“Obat” apa di dunia ini yang mampu membuat kita puas secara bathin, lega, dan gembira selain kesabaran. Sedang kesabaran sendiri diberikan Allah kepada hambaNya yang mampu menghindarkan rezeki yang tidak halal. Dan bukankah kekayaan itu terletak di hati bukan di kumpulan benda yang terbatas dan fana. Sedang kesabaran letaknya di hati.
Semua keyakinan bahwa rezeki yang dicukupkan Allah, jaminan semua kebutuhan akan dipenuhi Allah tanpa tertinggal satupun, dan kesabaran yang melegakan tidak datang sendirinya melainkan berangkat dari keimanan yang kokoh. Total kepasrahan yang luar biasa dan tidak semua orang mampu melakukannya. Itulah yang disebut di awal tulisan ini sebagai keimanan, suatu keyakinan kepada Allah dari seorang hamba.
Kita tidak sedang berbicara tentang rasa yang hanya di hati, seperti rasa puas karena menghindari dosa. Tetapi juga tentang fakta riil yang sering terjadi secara fisik. Kita tak akan pernah merasakan, katakanlah, sebuah “keajaiban” yang terjadi dari sikap yang dipengaruhi keyakinan seperti ini selama tidak pernah melakukannya. Sering kita mendengar cerita, sekonyong-konyong ada saja rezeki yang datang tak dinyana di saat kita sedang memerlukan. Sangat mungkin dia adalah “buah” perbuatan kita tempo waktu yang pernah mengembalikan sebuah tas kepada yang punya karena tertinggal misalnya yang tidak lain harta yang bukan haq kita.
* * *
Marilah kita sibuk menguatkan bekal kita yang terpenting ini. Biarlah ujian dengan berbagai jenis dan levelnya mendera kita, karena memang sudah menjadi ketentuan Allah tak ada satupun keturunan Adam yang bebas tanpa ujian.
Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (TQS Ath Thalaaq 4)
Wallahu ‘alam bishshowab… [] PN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H