Mohon tunggu...
Puji Utomo
Puji Utomo Mohon Tunggu... Insinyur - Sahabat Air, Pejuang Literasi

sosok sederhana yang menekuni dunia penelitian keairan, rekayasa teknik keairan, religi, literasi, dan sosial kemasyarakatan. Email: mr.pujiutomo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature

Jakartaku Sahabat Air, Mewujudkan Mimpi sebagai Kota Ramah Air

12 September 2019   22:38 Diperbarui: 14 September 2019   15:12 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Garuda, Master Plan dari Jakarta Coastal Development Strategy (sumber : www.grontmij.com )

Banjir DKI 27 April 2019: 2 orang meninggal dan 2.370 jiwa mengungsi (CNBC Indonesia News)

Warga DKI kesulitan air bersih: Sebagian warga Kelurahan Jatipulo, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat mengeluhkan buruknya kualitas air tanah. Air tidak jarang mengeluarkan bau tak sedap dan keruh (medcom.id)

Ini hanya segelintir potret kecil kejamnya hidup di Ibukota negeri ini. DKI Jakarta memang hingga saat ini masih berkutat dengan masalah terkait air, dimana Ibu kota kita saat ini belum juga lepas dari masalah kebanjiran saat musim penghujan dan kelangkaan air bersih di musim kemarau. Permasalahan ini rutin terjadi setiap tahunnya dan menyebabkan banyak kerugian terutama dalam hal ekonomi. 

Air yang seharusnya sebagai "public good" adalah milik kita bersama yang dibutuhkan dan dimanfaatkan oleh semua warga DKI Jakarta. Namun, fakta di lapangan berbicara lain dimana masih terjadi privatisasi air bersih yang justru hanya bisa dinikmati oleh sebagian orang saja. Lantas, bagaimana nasib warga miskin DKI Jakarta? Mereka tentu akan sangat jauh dari kata cukup untuk mendapatkan air bersih. Kenyataannya, lagi-lagi mereka yang akan menanggung beban lebih, dalam menghadapi kejamnya hidup di Ibukota negeri ini karena permasalahan terkait air.

Masalah banjir di DKI Jakarta sangatlah kompleks karena disebabkan oleh banyak hal. Kondisi ini memaksa banjir Jakarta tidak bisa diselesaikan dengan hanya satu solusi saja. Akan tetapi, diperlukan solusi yang saling terintegrasi satu sama lain. 

Dalam rangka untuk melakukan perlindungan terhadap banjir di DKI Jakarta secara berkelanjutan, perlu untuk merunut akar masalah yang menyebabkan bencana ini rutin terjadi. Banjir DKI Jakarta tidak hanya dari sisi hilir saja, tetapi kontribusi banjir juga diakibatkan oleh pengaruh dari sisi hulu DKI Jakarta. Hal ini karena air hujan dari sisi hulu DKI Jakarta langsung dibuang sebagai air limpasan ke sungai dan tidak diresapkan ke dalam tanah akibat alih fungsi lahan di daerah hulu DKI Jakarta. Secara umum, air limpasan banjir di DKI Jakarta disebabkan karena 3 hal, yaitu:

Pertama, limpasan air hujan yang berasal dari perkotaan Jakarta itu sendiri yang besar karena air hujan tidak dapat meresap ke dalam tanah dengan baik, yang berdampak pada terbentuknya genangan atau banjir. Kondisi ini disebabkan karena sebagian besar wilayah perkotaan sudah terjadi ahli fungsi akibat peningkatan ruang terbangun. Banyak ruang terbuka yang menjadi kawasan resapan air berubah peruntukannya. Air dibiarkan mengalir sia-sia dan menjadi aliran permukaan. Walaupun mengandalkan saluran drainase untuk mengalirkan air limpasan secepat mungkin ke sungai, tetapi fakta di lapangan saluran tidak cukup mampu menampung karena banyak saluran drainase yang tersumbat oleh sampah, bangunan liar, maupun saluran terputus. Luas hutan kota sebagai lahan peresapan juga hanya 182,54 Ha. Padahal, total luas daerah DKI Jakarta mencapai 662,33 km2 yang terdiri dari 44 kecamatan dan 267 kelurahan. Artinya, DKI Jakarta hanya memiliki hutan kota 0,275% saja dari total wilayahnya.

Kedua, limpasan air hujan yang berasal dari kawasan hulu yang semakin meningkat karena perubahan tata guna lahan di daerah hulu. Kawasan hulu yang seharusnya menjadi kawasan resapan air berubah peruntukannya akibat peningkatan kuantitas ruang terbangun. DKI Jakarta sebenarnya merupakan wilayah dengan jumlah waduk/situ yang relatif banyak dan sungai atau kanal yang melewati wilayah DKI Jakarta sebanyak 17 sungai. Namun, sungai-sungai di DKI Jakarta tidak memiliki cukup kapasitas untuk mampu menampung dan mengalirkan air ke laut, karena limpasan air hujan dari hulu sangat besar, sementara daya resap sangat rendah akibat perubahan tata guna lahan. Hal ini semakin diperparah karena banyak sungai yang mengalami sedimentasi dan penyempitan akibat sampah dan bangunan liar (ilegal) yang berada di bantaran sungai.

Ketiga, limpasan banjir yang berasal dari pasang laut atau seringkali disebut dengan banjir rob terutama banjir yang sering terjadi di wilayah pantai utara DKI jakarta. Wilayah DKI Jakarta memang merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata + 7 meter di atas permukaan laut. Namun sebagian besar wilayahnya mengalami masalah penurunan permukaan (land subsidence) tanah di hingga bahkan mencapai 5 -- 10 cm/tahun, akibatnya 40% wilayah dari Jakarta berada di bawah permukaan laut. Sementara, sebaliknya permukaan air laut mengalami kenaikan akibat fenomena pemanasan global. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi beberapa puluh tahun ke depan, ketika banjir rob akibat air laut pasang bisa saja menenggelamkan wilayah pantai utara DKI Jakarta?

Sejalan dengan masalah banjir, krisis air bersih juga melanda DKI Jakarta dan menjadi masalah serius. Fenomena pertambahan penduduk di DKI Jakarta yang sangat pesat berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan air. Kondisi ini disebabkan karena DKI Jakarta menjadi destinasi unggulan bagi pelaku urbanisasi karena sebagai pusat ekonomi, bisnis, dan pemerintahan. Jumlah  penduduk  DKI  Jakarta pada tahun 2018 sudah mencapai 10.467,63 ribu  jiwa  dengan  laju pertumbuhan  penduduk  per  tahun sebesar 1,07 persen. Kepadatan  penduduk  DKI  Jakarta tahun 2018  juga sudah sangat kritis karena mencapai 15.804 jiwa/km2. Pertambahan penduduk akhirnya juga berpengaruh terhadap peningkatan kuantitas ruang terbangun. Banyak ruang terbuka berubah peruntukannya, sehingga mengakibatkan air hujan lebih banyak menjadi aliran permukaan, yang menjadikan penurunan cadangan air tanah di DKI Jakarta. Yang terjadi pada musim kemarau adalah krisis air, karena kebutuhan air bertambah tetapi ketersediaan semakin berkurang.

Sampai sejauh ini cakupan layanan air PAM baru mencapai 60% dari seluruh masyarakat DKI Jakarta atau baru sebesar 863.165 pelanggan, dimana air yang disalurkan baru mencapai 352,013 juta m3 dan kapasitas produksi air PAM mencapai 622,912 juta m3. 

Alhasil, sisanya terutama para kalangan menengah ke bawah masih memiliki ketergantungan terhadap pemanfaatan air tanah untuk memenuhi kebutuhan. 

Akibat eksploitasi airtanah, DKI mengalami penurunan muka airtanah secara drastis, lebih lanjut berimplikasi terhadap masalah penurunan permukaan (land subsidence) tanah akibat penyedotan air tanah yang berlebihan yang kemudian mendapatkan beban terlalu besar dari bangunan infrastruktur di atasnya. 

Kondisi ini semakin diperparah dengan kualitas air yang tidak sesuai dengan baku mutu, akibat limbah yang dihasilkan oleh berbagai ragam aktivitas manusia. Bahkan sebagian besar sumur di wilayah utara, barat, dan timur DKI Jakarta mengandung garam (NaCl) akibat dari intrusi air laut.

Jakarta sebagai Kota Ramah Air, Mungkinkah?

Bermimpilah! Karena  tak  ada  salahnya  untuk  bermimpi. Tuhan  akan  memeluk mimpi-mimpi  kita. Hampir di setiap debat calon gubernur DKI Jakarta, selalu ditanyakan bagaimana mewujudkan mimpi DKI Jakarta aman dari resiko bencana banjir? Bagaimana mengatasis krisis air bersih yang sudah darurat di DKI Jakarta? Walaupun sudah silih berganti tonggak kepemimpinan di DKI Jakarta, banjir dan krisis air bersih di DKI Jakarta semakin membabi buta. Pertanyaannya, mungkinkah DKI Jakarta mampu menjadi Kota Ramah Air? Yaitu sebuah kota di masa yang akan datang, di mana tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan air bagi warganya, tetapi bagaimana sumberdaya air mampu memberi manfaat untuk meningkatkan kenyamanan tinggal bagi warganya. Sebuah kota yang memiliki daya tahan terhadap air. Sebuah kota yang ramah air adalah sebuah kota yg tidak kebanjiran di musim penghujan dan tidak mengalami kekeringan di musim kemarau. Bukan seperti yang terjadi di DKI Jakarta hingga saat ini.

Masihkah  kita  akan  optimis  mewujudkan  mimpi  Jakarta sebagai Kota Ramah Air? Jangan  sampai  mimpi itu hanya angan-angan. Lebih ekstrimnya, hanya omong kosong belaka. Kita tak perlu mengutuk keadaan. Lantas kita hanya beramai-ramai menyalahkan pemerintah? Lagi-lagi, kita  harus  berintropeksi  diri  dan  mengevaluasinya  secara optimal. Ingat! air sebagai "public good" adalah milik kita bersama yang dibutuhkan dan dimanfaatkan oleh kita  semua. Oleh karena itu pengelolaan air di DKI Jakarta adalah tanggung jawab kita semua pemangku kepentingan dari seluruh lapisan masyarakat DKI Jakarta dari mulai akademisi, bisnis, pemerintah, komunitas masyarakat, bahkan media massa. Mari mewujudkan bersama-sama mimpi DKI Jakarta. Masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya. Penulis tentu dengan bangga menyatakan bahwa harapan itu masih ada. Berikut  adalah  gambaran  solusi  yang  ditawarkan  penulis  untuk mewujudkan impian tersebut.

Merealisasikan Tanggul Raksasa "Giant Sea Wall" di Pantai Utara Jakarta

Berdasarkan posisi geografisnya, DKI Jakarta memiliki bentang pantai dari Barat sampai ke Timur sepanjang + 35 km yang berbatasan dengan Laut Jawa. Permasalahan utama yang terjadi di pantai utara DKI Jakarta adalah banjir rob akibat pasang air laut dan masalah intrusi air laut. Perlindungan yang bisa dilakukan adalah bagaimana menahan pasang air laut agar tidak membanjiri wilayah pantai utara DKI Jakarta. Pemerintah DKI  Jakarta  sebenarnya  sudah  mulai  mengambil  tindakan melalui rencana induk pembangunan DKI Jakarta, dengan mengatur ulang Teluk Jakarta yang  selama  ini  disinyalir sebagai  daerah  yang paling  rentan  terhadap banjir.  Rencana  induk  pemerintah  DKI  Jakarta  itu,  diejawantahkan  melalui reklamasi  pantai  utara  dan  membangun  tanggul  laut  "Giant Sea Wall"  untuk melindungi DKI  Jakarta dari  banjir,  serta  akan  difungsikan  sebagai  kawasan komersial  baru  untuk  mengurangi  kepadatan  penduduk  DKI  Jakarta. Daerah reklamasi  nantinya  direncanakan berbentuk "Garuda" yang identik sebagai ikon nasional.

"Giant Sea Wall" merupakan daerah reklamasi baru di Teluk Jakarta yang total luasnya sekitar  10.000  ha,  dengan  panjang  60 km  dan lebarnya  8  km  keluar dari  Pantai Utara  Jakarta  seperti  terlihat  pada Gambar 1. Menurut penulis, tindakan ini merupakan langkah yang tepat untuk direalisasikan. Melalui tanggul raksasa, diharapkan akan mampu melindungi DKI  Jakarta  dari  banjir rob dan intrusi air laut di  bagian sisi  pantai utara  Jakarta. Namun, proyek reklamasi ini diharapkan menggunakan pendekatan lingkungan sehingga tidak menghilangkan habitat makhluk hidup di pantai utara DKI Jakarta. Proyek ini juga diharapkan dapat berorientasi terhadap kesejahteraan sosial masyarakat terutama di wilayah pantai utara DKI Jakarta dan bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.

Penerapan Green Belt Solution di Daerah Hulu DKI Jakarta

Pembangunan "Giant Sea Wall" diprediksikan  hanya  akan  melindungi DKI  Jakarta  dari  banjir  di  bagian sisi  pantai utara  Jakarta  saja. Padahal,  kontribusi  banjir  lebih banyak diakibatkan  oleh  pengaruh  dari  sisi  hulu  DKI Jakarta. 

Perlindungan  harus diikuti  dengan  skenario  untuk  mengurangi  volume  limpasan  langsung  dengan meresapkan  air  hujan  ke  dalam  tanah serta pembangunan kolam-kolam peresapan untuk menahan air banjir dari hulu menuju ke hilir. 

Ide  konservasi  air ini  dilakukan  dengan menyediakan daerah terbuka hijau di daerah hulu DKI Jakarta. Penulis mengusulkan penerapan daerah Green Belt yang akan difungsikan sebagai daerah  yang mempertahankan air limpasan  hujan  dari  hulu DKI Jakarta. 

Air diarahkan  ke  daerah  ini  dan  disimpan melalui kolam-kolam peresapan seperti situ atau embung agar  dapat  meresap  ke dalam tanah, sehingga dapat menurunkan  debit sungai selama puncak intensitas curah hujan .

Green Belt atau sabuk hijau adalah kebijakan terhadap penggunaan lahan yang digunakan untuk mempertahankan wilayah tersebut dari perubahan tata guna lahan. 

Pada  intinya, green belt adalah garis  tak  kasat mata yang menunjukkan perbatasan  di  sekitar  area  tertentu,  mencegah  pengembangan  wilayah  dan memungkinkan satwa alami untuk kembali dibentuk.  

Pada Gambar  2.  menunjukkan  daerah  yang  direncanakan  sebagai kawasan Green  Belt nanti.  Kebijakan  pemerintah  untuk membatasi  pembangunan  di  daerah  kawasan ini  harus  diberlakukan, sehingga  proyek  ini  berjalan  sesuai  dengan  master  plan dan  tidak  melanggar hukum.

Gambar 2. Rencana Daerah Kawasan Green Belt
Gambar 2. Rencana Daerah Kawasan Green Belt
Program Kampungku Sahabat Air: Merentas Mimpi dari Kampung

Kompleksitas hubungan antara perkembangan perkotaan DKI Jakarta, peningkatan konsentrasi aktivitas penduduk, ketersediaan airtanah, potensi air permukaan, dan dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatan airtanah perlu dipahami lebih dalam. Diperlukan langkah pengelolaan air yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian air. Upaya pengelolaan air, yang di dalamnya mencakup upaya perencanaan, pendayagunaan sumberdaya air, pengendalian daya rusak air, dan konservasi air diharapkan menjadi satu rangkaian langkah terpadu dan berkelanjutan bagi konservasi air di DKI Jakarta. Upaya pengelolaan air dapat dimulai dari lingkup kampung. Ya, intinya kampung-kampung di DKI Jakarta harus dikelola agar dapat bersahabat dengan air. Konsep ini didasarkan  pada  filosofi  dasar  bahwa "Jika kita dapat bersahabat terhadap air maka pada akhirnya kita dapat hidup selaras dengan air". Program ini diharapkan efektif untuk mengatasi masalah genangan banjir dan krisis air tanah di wilayah DKI Jakarta sendiri melalui partisipasi masyarakat kampung.

Perwujudan kampung yang bersahabat air dapat mengacu pada GREENSHIP yang dikeluarkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI), sebagai penilaian dalam menentukan kawasan yang berkelanjutan. Salah satu indikator yang dapat digunakan, bahwa kampung direncanakan untuk memiliki sistem manajemen dan konservasi air di lingkungan masing -- masing. Manajemen dan konservasi air yang dapat dilakukan, meliputi: setiap kampung harus memiliki diagram skematik neraca air kawasan, mendukung penggunaan air alternatif secara mandiri selain dari air tanah dan air PDAM, mengurangi beban drainase lingkungan dengan sistem manajemen air hujan secara terpadu, menjaga pelestarian badan air tanah dan lahan basah dari dampak pembangunan kawasan, dan adanya sistem manajemen pengelolaan air limbah secara komunal.

Melalui program ini diharapkan kampung -- kampung di DKI Jakarta dapat menunjukkan eksistensinya, mereka berlomba-lomba dalam melakukan manajemen dan konservasi air di lingkungannya masing -- masing, sebagai solusi mengatasi banjir di DKI Jakarta pada musim penghujan, krisis air bersih di musim kemarau, dan ketergantungan masyarakat DKI Jakarta terhadap  pemanfaatan air tanah. Masing-masing kampung diharapkan dapat saling menginspirasi karena masyarakat kita biasanya memang paling senang meniru keberhasilan pihak lain setelah terinspirasi. Secara positif, kesuksesan satu wilayah dalam mengelola air diharapkan menularkan spirit mengelola air lebih baik di wilayahnya.

Mimpi DKI Jakarta sebagai Kota Ramah Air bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan. Namun, juga tidak semudah dibayangkan. Kita tak perlu lagi beramai-ramai menyalahkan pemerintah. Lantas, kita urung tangan untuk ikut andil membenahi DKI Jakarta. Air adalah barang publik yang menjadi milik kita bersama yang setiap waktu dibutuhkan dan dimanfaatkan oleh kita semua. Pengelolaan air adalah tanggung jawab kita semua dari beragam pemangku kepentingan, dari mulai akademisi, bisnis, pemerintah, masyarakat, bahkan media massa. Tanpa ada sinergi dari berbagai pihak, permasalahan banjir dan krisis air bersih ini mungkin semakin membabi buta. Solusi yang ditawarkan juga tidak akan berjalan secara berkelanjutan. Jakartaku Sahabat Air, Jakartaku Kota Ramah Air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun