PENGALAMAN mendapat diskriminasi dan perbudakan saat menjadi buruh migran di Hongkong selama tujuh bulan pada 2002, menggugah jiwa Lili Purwani peduli terhadap nasib buruh migran dengan membentuk Paguyuban Peduli Buruh Migran dan Perempuan "Seruni" bersama mantan buruh migran di Banyumas.
[caption id="attachment_365096" align="alignnone" width="500" caption="Seruni/dok Lili Purwani"][/caption]
Pembentukan ini dilatari oleh rasa keprihatinan akan berbagai masalah yang menimpa buruh migran dan keluarganya serta perempuan yang seolah tiada henti. Apalagi permasalahan ini tidak hanya dialami oleh dirinya saja, melainkan banyak buruh migran lain yang pernah bekerja di beberapa negara seperti, Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Macau, Arab Saudi dan Brunai Darussalam.
Parahnya lagi, pada waktu itu di Banyumas belum ada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bertindak secara fokus mengenai persoalan ini. Padahal, Banyumas termasuk daerah yang banyak mengirimkan tenaga kerja. Sehingga, ketika muncul kasus mengenai buruh migran Lili harus melapor ke Jakarta.
"Kalaupun ada LSM, mereka cenderung berorientasi pada profit. Padahal, kami tidak memiliki biaya besar untuk membayarnya," katanya mengisahkan.
Kasus-kasus yang biasa dialami para buruh migran diantaranya, kekerasan fisik, pemotongan gaji secara sepihak, tidak mendapat jatah libur hingga sampai kasus meninggalnya buruh migran. Persoalan-persoalan tersebut seolah tiada henti hingga saat ini.
Lily mengatakan Paguyuban Seruni ini menjadi wadah buruh migran untuk saling sharing pengalaman dan persoalan yang pernah dialaminya serta untuk mengembangkan kemampuan buruh migran agar bisa berkarya di daerahnya sendiri setelah pulang merantau.
Dari awal dibentuk pada 2008 hingga awal 2014, Paguyuban Peduli Buruh Migran dan Perempuan Banyumas telah menangani 60 kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI). "Kami melibatkan Dinsosnakertrans, LSM dan orang-orang yang berpengaruh dalam menangani kasus TKI," kata warga Desa Datar Kecamatan Sumbang ini.
Berkeliling Desa
Untuk menangani persoalan ini, ia bersama pengurus lain di Paguyuban Seruni rela keliling dari satu desa ke desa lain di Banyumas yang banyak buruh migran. Mereka juga sharing pengalaman tentang cara aman berimigrasi agar tidak merugikan buruh migran itu sendiri.
[caption id="attachment_365097" align="alignnone" width="500" caption="latihan komputer/dok Lili Purwani"]
Kantong buruh migran di Banyumas, meliputi wilayah Kecamatan Gumelar, Kedungbanteng, Sokaraja, Kalibagor, Tambak, Sumpiuh dan Kemranjen. Pada Tahun 2010, jumlah buruh migran di Banyumas tercatat sebanyak 1.061 orang.
Paguyuban ini tidak hanya fokus pada advokasi, namun berkembang untuk memberikan pelatihan kemampuan sumber daya manusia (SDM). Pelatihan berwirausaha dengan menggali potensi yang ada di daerahnya ini sangat penting, karena salah satu persoalan yang dialami buruh migran adalah mereka tidak dapat mengelola uang yang dihasilkan dari jerih payahnya bekerja di luar negeri.
Akibatnya, uang yang diperoleh lebih banyak untuk konsumsi. Tak heran ketika uang yang dikumpulkan habis, sebagian buruh migran akan berangkat lagi mengadu nasib ke luar negeri. "Buruh migran yang membawa uang banyak belum bisa dikatakan sukses. Buruh migran sukses adalah mereka yang dapat memanfaatkan penghasilannya untuk modal produktif," kata Lili Purwani.
Sejauh ini, mantan buruh migran yang mengalokasikan uangnya untuk modal produktif masih sedikit, sehingga mereka perlu mendapatkan pelatihan ketrampilan agar bisa kemampuan dan bewirausaha secara mandiri. Dengan pelatihan ketrampilan ini, mantan buruh migran dapat lebih kreatif memanajemen penghasilannya.
"Atas dasar itu, kami memberikan pelatihan berwirausaha kepada mereka agar bisa lebih kreatif memanajemen penghasilannya," kata Lili.
Pelatihan kewirausahaan yang diberikan meliputi, pelatihan ternak kambing, budidaya ikan air tawar, keset dari kain perca dan pelatihan budidaya itik. Selain itu Paguyuban Seruni memberikan pelatihan komputer dan internet. Pelatihan tersebut difasilitasi oleh pemeritah daerah, provinsi maupun pusat.
"Kami mendapat bantuan dari pemerintah dalam menyelenggarakan pelatihan ini," katanya.
Peran akademisi Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unsoed Purwokerto juga dinilai memberikan kontribusi cukup besar dalam pemberdayaan perempuan. Para mantan buruh migran dibekali ketrampilan agar bisa berkarya dan menciptakan peluang usaha sendiri tanpa harus merantau ke luar negeri.
Implementasi dari pelatihan itu sudah bisa membuahkan hasil karena dapat membentuk kelompok usaha baru, seperti kelompok peternak itik, kelompok tata boga, kelompok budidaya ikan air tawar dan kelompok ternak kambing.
Usaha bidang peternakan dan makanan olahan tersebut dikelola perempuan-perempuan baik berlatar bekalang mantan buruh migran maupun ibu rumah tangga yang belum memiliki penghasilan. Jumlah anggota Paguyuban Seruni Desa Datar kini sudah mencapai ratusan orang lebih.
"Berwirausaha seperti ini memang butuh kerja keras dan ketekunan, tidak seperti di luar negeri. Tapi berwirausaha lebih baik dibanding harus berangkat lagi menjadi buruh migran di negeri orang," kata Lili.
[caption id="attachment_365098" align="alignnone" width="394" caption="membuat kain perca/dok Puji Purwani"]
Sementara itu, para buruh migran yang telah mendapat pelatihan kewirausahaan mulai menekuninya sebagai usaha sampingan. Rata-rata mereka yang sudah terampil mampu membuat 2-3 keset kain perca dalam sehari. Apabila dijumlahkan setiap bulan ia memproduksi sekitar 90 keset.
Keset yang diproduksi oleh mantan buruh migran dijual ke Paguyuban Peduli Buruh Migran dan Perempuan Seruni di Desa Datar Kecamatan Sumbang. Harga satu keset bervariasi ditentukan dari motifnya, yakni berkisar antara Rp 5000 sampai Rp 6000.
Supini (27), mantan buruh migran Desa Datar mengaku penghasilan yang diperoleh bila dibandingkan saat dirinya menjadi buruh migran di Singapura memang terpaut jauh. Namun, manfaat yang diperoleh berwirausaha sendiri ini adalah dekat dengan keluarga, lingkungan dan tidak tertekan oleh orang lain karena pekerjaan ini dikelola sendiri."Saya juga dapat berperan sepenuhnya sebagai ibu rumah tangga untuk melayani keluarga," tuturnya sat ditemui di rumahnya beberapa waktu lalu.
Dengan kondisi sekarang ini, ia mengaku lebih nyaman berdikari di rumah dari pada harus pergi ke luar negeri. "Saya belum ada rencana menjadi buruh migran lagi. Saya mending di rumah saja menjadi perajin keset kain perca," terangnya.
Kemandirian Supini untuk berwirausaha tentu tidak lepas dari peran Paguyuban Peduli Buruh Migran dan Perempuan Seruni Desa Datar. Paguyuban itu membina ratusan mantan buruh migran yang tersebar di Banyumas, wilayah Kecamatan Gumelar, Sumbang, Kedungbanteng dan Kemranjen.
Dari jumlah itu, mantan buruh migran yang memproduksi keset kain perca sekitar 70 orang. Rata-rata produksi per minggu mencapai 1.750 keset. Keset-keset tersebut dijual ke toko ritel dan grosir di Purwokerto dengan harga kisaran antara Rp 5000 - 25.000 per pieces. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H