Sejenak aku tertegun. Aku pikir Oom itu bukan sedang menyapaku. Setelah celingak-celinguk kiri-kanan dan tak kulihat ada sesiapapun disana selain aku, barulah aku sadar kalau Oom senang itu sedang mengajakku bicara.
Mendadak kepalaku berdenyut dan pandanganku nanar. Emosiku naik sampai ke ubun-ubun. Â Bukan emosi lantaran melihat giginya yang kuning dan senyumnya yang mirip seringai kuda poni, tapi lebih pada tersadar, bahwa ternyata aku dikira penghuni Saritem yang sedang mangkal di halte bus, diajak kencan sama Oom jelek, dan ditawar seharga 50 ribu ! hadeeeww....
" ihh dasar geloo.. ! ", (dasar gila ! ) tanpa dapat kutahan lagi, terlompatlah makian dari mulutku, saking kesalnya. Sambil mengumpat si Oom senang, jari telunjukku aku tempelkan ke jidatku membentuk garis miring. Nggak kebayang bagaimana ekspresi wajahku saat itu, mungkin pucat saking kaget dan marah, mungkin cemberut, atau mungkin terbelalak, entahlah, aku sudah lupa. Yang aku ingat, aku hanya mendadak pengen muntah. Itu saja.
Tanpa ba bi bu lagi, aku segera berlalu dari tempat itu, meninggalkan si Oom mupeng yang terbengong melihatku berlalu, tak mempedulikan dirinya yang dia pikir keren. Amat-amit dah, nggak mau sekali-kali lagi aku dapat pengalaman menyebalkan seperti itu. Cukup sekali itu saja. Sejak saat itu, aku selalu menunggu bis di tempat yang agak jauh dari Saritem. Melanggar dikit tak apalah, yang penting nggak ditawar orang.
Diabsen sebagai penghuni Saritem Ada satu lagi pengalamanku yang tak terlupakan berkaitan dengan letak sekolahku yang sangat dekat dengan Saritem. Jadi dulu itu, saya dan beberapa teman selalu bersama-sama pergi ke sekolah  dengan bus kota. Untuk mencapai sekolah, kami harus turun di halte yang letaknya dekat dengan Saritem itu.
Saat bus kota sudah mendekati halte Saritem, Pak Kondektur akan mengingatkan penumpang yang akan turun di sekitar situ, untuk bersiap-siap. Masalahnya Pak Kondektur yang baik hati itu, selalu meneriakkan kata-kata yang sebetulnya sudah benar, tapi mau-tidak mau membuat merah telinga kami karena malu. Begini teriakan Pak Kondektur : " Saritem, Sariteemm !! Siap-siap yang mau ke Saritem ! ". Nah, beberapa penumpang termasuk kami yang kebetulan akan turun di daerah sekitar situ, terpaksa berdiri dengan enggan. Masalahnya, kami divonis mauke Saritem. Padahal belum tentu kan ? Kami ini contohnya. Kami kan mau ke jalan Gardujati, sementara penumpang lain mungkin saja akan menuju ke stasiun, atau mau ke jalan kebonjati, atau mau kemana kek, alih-alih ke Saritem. Tapi apa boleh buat, kami memang terpaksa turun di Saritem kok, jadi kami terpaksa pasrah saja menerima nasib, turun di Saritem dan dikira akan menuju Saritem . hmm …
Yang paling sial, kalau ada kondektur yang terlampau kreatif. Tak hanya sekedar meneriakkan Saritem-Saritem !, namun juga sekaligus mengabsen nama kami para murid SMAN 4 yang akan turun di halte Saritem. Teriakannya asli bikin bete . Dengerin deh, " Yang mau turun di Saritem siap-siap ! Ayok,  Puji Nurani, Dewi Astuti, Sri Lestari, Jusuf Hendrawan , Muhammad Fajar,  siap-siaapp ...!! ". Ahh sebel banget deh !. Tengsin kan nama kita disandingkan dengan Saritem !. Kami yang anak perempuan jadi serasa penghuni Saritem, sementara anak laki-laki dikira mau jajan, hehee …Dasar Pak Kondekturnya iseng banget. Tapi ngomong-ngomong, darimana Pak Kondektur bus kota bisa mengetahui nama-nama kami ya ?oh tentu saja dari nametag yang tertera di pakaian sergam kami. Ah kacau banget deh …
Demikianlah teman-teman, pengalaman jadulku yang tak terlupakan. Bikin kesal tapi lucu juga kalau sekarang diingat-ingat. Lama sudah saya meninggalkan Bandung kampung halamanku. Kudengar lokalisasi Saritem sekarang sudah tinggal kenangan, karena Pemkot Bandung memerintahan penutupannya pada 2007 lalu. Tak ada lagi lokalisasi tempat orang menjual dan membeli cinta palsu dan seks artifisial. Karena lapaknya telah ditutup, maka para perempuan PSK sekarang mencari nafkah dengan cara menyebar ke seluruh penjuru kota Bandung. Miris. Nah teman-teman, selamat malam dan selamat berlibur bagi anda yang sedang berlibur.
Salam sayang,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H