Sebagaimana sebagian keluarga Jawa lainnya, keluarga besar kami punya istilah sendiri untuk menyebut hari Natal, yakni Lebaran Kristen. Kok lebaran Kristen ? Ya iyalah, kalau Islam punya lebaran, masak Kristen nggak punya ? Â Kalau setahun sekali kami yang muslim merayakan hari lebaran dengan baju baru, menu istimewa dan kue-kue yang serba lezat, maka anggota keluarga Kristenpun punya hak yang sama. Berlebaran setahun sekali, setiap tanggal 25 desember, dengan baju baru, menu istimewa, dan kue-kue yang enak. Nah, ini baru adil. Yah, setidaknya adil menurut Eyang putri.
Kalau pas liburan lebaran Iedul Fitri atau liburan Natal  dan kami berkumpul di rumah nenek, maka menu yang disajikan sama saja, tak ada bedanya antara menu lebaran Islam sama menu lebaran Kristen. Selalu : ketupat, opor ayam, sambal goreng kentang ati ampela, rendang, acar mentimun wortel, dan kerupuk udang. Kue-kuenya : bolu marmer, kaastengels, nastar, kacang bawang, kue putri salju, lidah kucing, tape ketan berwarna hijau, manisan kolang-kaling, kue kering Khong Guan, dan minumannya es sirup ABC rasa jeruk. Selalu itu-itu saja selama bertahun-tahun tak pernah berubah, dari saya masih TK sampai SMP hingga akhirnya Eyang meninggal dunia. Pendeknya di keluarga besar kami, apapun agamanya menu lebarannya sama saja.
Toleransi tanpa basa-basi
Kini masa kecil dengan keriuhan di keluarga besar sudah lama berlalu. Kami yang dulu masih bocah dan selalu mengacaukan acara keluarga itu, sudah tumbuh dewasa dan sudah berumah tangga pula. Semakin jarang saja kami berkumpul, karena kami sudah tinggal di tempat yang berjauhan. Sebagian dari kami bahkan tinggal di luar negeri, yang membuat semakin sulit untuk bisa bertemu.
Kenangan masa kecil yang indah, takkan mungkin terlupakan. Hidup berdampingan dengan famili yang berbeda agama dalam sebuah keluarga besar, dengan Eyang Putri sebagai pusat keluarga. Eyang putri yang anggun, sangat cantik berwajah indo Belanda, lembut, namun sangat tegas dan disegani.  Eyang seorang muslimah yang sangat taat dengan ajaran agamanya, namun mencontohkan bagaimana menghormati keyakinan yang berbeda, dengan ajarannya yang sederhana namun masuk akal. Kata Eyang, keyakinan adalah soal hati. Tak boleh kita mengusik orang lain hanya karena perbedaan agama. Pantang menghina ajaran agama orang lain, jika kita tak suka agama kita dihina. Ajaran Eyang sederhana saja, namun menurut saya tetap aktual hingga hari ini. Ajaran Eyang tentang Lebaran Kristen bagi saya adalah cerminan kearifan lokal Jawa yang tiada duanya. Sebuah contoh pemikiran khas Jawa yang gandrung akan keserasian kosmik.
Dari semua pelajaran hidup yang saya pahami, ada satu hal yang saya inginkan dalam hidup saya : anak-anakku bertumbuh menjadi pribadi yang taat menjalankan ajaran agama, mencintai Allah, namun pandai menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang berbeda agama. Nah teman-teman, semoga bermanfaat dan mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan.
Salam sayang,
Anni
Sumber gambar :
fotomodelindo.blogspot.com
dovechristian.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H