Saya dibesarkan di tengah keluarga muslim yang taat. Namun keluarga besar kami tak hanya terdiri atas satu agama saja. Saya punya beberapa saudara yang berbeda agama dengan keluarga saya ( Ayah, Ibu, saya, dan kakak-adik saya ), baik dari pihak Ibu maupun dari pihak Ayah. Entah sejak kapan ada perbedaan agama di dalam keluarga besar kami yang mayoritas beragama Islam ini. Â Mungkin sejak dua atau tiga generasi , atau barangkali sudah sejak seratus tahun yang lalu, entahlah. Yang jelas menurut ibu saya, nenek moyangnya adalah orang-orang yang sudah pergi haji, sementara beberapa saudara dekat kakek-neneknya tersebut ada juga yang berprofesi sebagai seorang pendakwah agama Kristen di kampung halamannya.
Sebetulnya famili kami itu (Bude, Sepupu, dll, )Â bukan beragama Kristen, tapi Katholik. Karena di Indonesia Kristen identik dengan Protestan (cmiiw). Namun karena awamnya keluarga besar kami, semua orang yang pergi sembahyangnya ke gereja kami panggil Kristen saja, tak peduli mereka itu beragama Katholik atau Protestan.
Tak hanya beragama Kristen, yang tak punya agamapun ada di keluarga besar kami. Anggota keluarga besar kami itu, terutama yang sudah sepuh-sepuh, tak jelas beragama apa. Kata Ibu, mereka memang tak beragama tapi percaya pada Tuhan, alias penganut aliran kepercayaan. Karena kami berasal dari suku Jawa, maka aliran kepercayaan mereka adalah Kejawen. Sebuah ajaran kuno yang mengandung filsafat tinggi,perpaduan antara Hindu, Islam, dan kepercayaan animisme asli Jawa (cmiiw lagi).
Meski berbeda agama, namun kehidupan kami berjalan normal saja. Tak pernah sekalipun ada benturan keyakinan. Kami hidup rukun, guyub, dalam suasana penuh persaudaraan. Jika kebetulan kami berkumpul di rumah joglo milik Eyang Putri, suasananya selalu heboh penuh canda dan keceriaan. Tak pernah kami berdebat agama sampai ngotot. Kami hanya berdiskusi soal agama dengan saudara-saudara yang satu keyakinan saja. Kalaupun ada yang berbeda agama turut serta dalam perbincangan, itu pasti atas kemauannya sendiri.
Interaksi campur sari
Toleransi bagi kami adalah sebuah keniscayaan. Tak pernah diajarkan secara khusus, namun sangat dicontohkan. Itupun tak berlebihan, secara alamiah saja dalam keseharian. Kalau diingat-ingat, lucu juga mengenang cara kami yang berbeda keyakinan ini saling berinteraksi. Bukan hal yang aneh, saudara kami yang beragama Katholik mengucapkan kata  alhamdulillah, insyaallah, astaghfirullah,dll, dalam percakapan sehari-hari, seolah itu adalah kata-kata umum biasa saja, bukan istilah yang dalam agama Islam mengandung doa. Tapi yang paling saya ingat adalah interaksi saya dengan Joshua (nama samaran), kakak sepupu saya yang tinggal di Jakarta. Saat itu dia masih seorang calon pendeta.  Jika bertemu dengan saya, begini kurang lebih percakapan kami :
" Hi Anni, assalamualaikum ! ".
" idih Pendeta kok assalamualaikum ", jawabku meledek.
“ Abis kalau pakai bahasa Indonesia, semoga keselamatan terlimpah atas dirimu, kan kepanjangan. Ya udah pakai assalamualaikum aja !. Lagian kamu bawel banget, tinggal jawab aja apa susahnya sih ?! "
" Hehehee ... Iya deh, waalaikumsalam ".
" Apa kabar Mas ? ", tanyaku.
" Alhamdulillah, sehat !", jawabnya sambil nyengir lebar.
" idih, tadi bilang assalamualaikum, sekarang alhamdulillah ! kreatif dong, ciptain sendiri kek ...", kataku meledek lagi.
" Lhahh ? alhamdulillah kan artinya puji Tuhan Allah ! ya sudah, apa bedanya ? Kristen juga menyembah Allah kok !
" hi hi hi hiii  .... "
He he he hee ...
Ah kangen juga sama kakak sepupuku itu. Semenjak menjadi pendeta belasan tahun lalu, dan saya sudah menikah, tak pernah lagi kami saling berkomunikasi. Sibuk dengan dunianya masing-masing.
Orang Islam santri buduk, orang Kristen nyembah patung
Hampir semua anggota keluarga besar kami memiliki banyak anak. Setiap anggota keluarga rata-rata memiliki 6 sampai 7 anak. Ibu saya sendiri punya 8 anak. Kalau kebetulan ada acara kumpulan, yang bikin heboh ya acara kumpul bocah itu. Namanya juga anak-anak, bandel-bandel pasti. Dulu waktu saya masih kecil, Â kami suka juga ejek-ejekan dan berantem sama sepupu-sepupu, sampai bawa-bawa agama segala. Padahal jujur, saat itu kami sendiri belum mengerti sedikitpun tentang agama yang kami anut. Jangankan melaksanakan sholat, Â bacaan sholat saja belum hafal. Tapi kami sudah gagah berani membela agama kami dari ejekan sepupu-sepupu yang beragama Kristen. Ejekan yang paling sering dilontarkan adalah," orang Islam santri buduk ", yang kami balas tak kalah sengit, " orang Kristen nyembah patung ! ". Wah, dahsyat sekali ejekan-ejekannya, Â bukan ?. Bayangkan kalau kata-kata itu dihamburkan di zaman sekarang, bisa-bisa kami kena pasal menghina SARA.
Kalau sudah perang  kata-kata seperti itu,  Eyang Putri (Nenek) akan langsung menoleh ke arah kami dengan dagu mendongak dan mata melotot. Ini adalah bahasa tubuh Eyang yang paling legendaris, yang artinya, " tutup mulut kalian, pengacau cilik  !  ". Tanpa kata sama sekali, namun sudah cukup membuat para ibu bangkit dari majelis  rumpi lalu tergopoh-gopoh melerai dengan cara menjewer telinga kami agar segera menjauh dari arena pertempuran. Entah mendapat ilham dari mana sehingga kami mendapat amunisi ejekan serupa itu. Yang jelas, begitu kami bertambah besar dan bertambah dewasa, semua ejekan itu sudah kami tinggalkan. Kalau diingat-ingat, sadis juga ya cara kami saling ejek. Semoga kebandelan kami ini tidak menurun ke generasi berikutnya. Serem soalnya.
Lebaran Kristen