Persahabatan saya dan Teh Kokom berawal dari sebuah butik online yang berlokasi di Bandung. Waktu itu sang pemilik butik sedang mencari seorang marketing online. Setelah beberapa kali wawancara via video call, lamaran saya pun diterima. Sesuai kesepakatan, saya bekerja secara online dari rumah saya yang berlokasi  di Kota Jogja. Saya lantas dikenalkan dengan tim yang mengelola butik secara offline, salah satunya Teh Kokom. Teh Kokom ini bertugas mencatat pesanan online yang masuk melalui saya, mengemas pesanan dan mengirimkannya melalui ekspedisi.
Pada awalnya, komunikasi dengan Teh Kokom hanya berlangsung via grup Whatsapp yang beranggotakan tim butik saja. Tapi kemudian kami mulai berkomunikasi secara pribadi. Biasanya saling berkeluh kesah tentang pekerjaan masing-masing, kendala-kendala pengiriman dan produksi hingga tentang keluarga. Di sela-selanya, topik-topik khas perempuan seperti masakan dan anak-anak menjadi hiburan kami.
Memulai Usaha Sendiri
Tahun berganti, tak terasa persahabatan jarak jauh kami sudah memasuki tahun yang keempat. Saat itulah dengan berat hati, saya memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai marketing online di butik yang mempertemukan saya dan Teh Kokom. Setelah sekian lama, saya pikir sudah waktunya membangun usaha sendiri. Saya ingin punya toko online sendiri.
Hanya beberapa minggu kemudian, Teh Kokom pun mengundurkan diri. Sedikit terkejut sewaktu Teh Kokom mengabarkan keputusannya itu. Ia hanya bilang, ingin beristirahat dan menemani anaknya yang masih kecil.
Nah, setelah beberapa bulan tak bertukar pesan, dua baris pesan masuk via Whatsapp dari Teh Kokom membuat kening saya berkerut.
"Mbak, mau minta tolong. Jualin kursi kesehatan buatan kami. Mbak 'kan pinter jualan online. Ntar saya kasih persenan."
Setelah itu Teh Kokom mengirimkan sederet foto-foto kursi kesehatan buatan mereka.
Pesan itu saya abaikan, saya hanya mengirimkan sticker smile sebagai balasan. Terus terang, saya tak ingin direpotkan lagi dengan memasarkan produk orang lain. Saya ingin fokus membangun toko online milik sendiri meski masih belum membuahkan hasil seperti harapan.
Tapi pesan Whatsapp dari Teh Kokom tak berhenti. Kali ini Teh Kokom bercerita, bahwa suaminya juga telah mengundurkan diri dari tempatnya bekerja karena sesuatu hal.  Kini mereka berdua berada di rumah.
Sependek yang saya tahu, suami Teh Kokom ini bekerja di sebuah bengkel yang memproduksi aneka furnitur dari besi. Karena itu, tak mengejutkan jika suami Teh Kokom bisa memproduksi kursi kesehatan sendiri berbekal pengalaman dari tempatnya bekerja.
Hari-hari berikutnya, pesan Whatsapp dari Teh Kokom mulai mengusik hati kecil saya. Usaha Teh Kokom untuk memasarkan produk kursi kesehatan mereka secara offline di area Bandung tak berjalan baik. Suaminya sementara itu bekerja sebagai ojek online sambil terus berharap ada penjualan dari saya. Padahal saya belum melakukan apapun untuk mereka!
Teh Kokom sendiri memang pernah bercerita, bahwa ia sangat asing dengan sistem jual beli di marketplace. Ditambah lagi dengan rasa takut berjualan secara online untuk kursi kesehatan produksi mereka yang harganya tak murah. Selain itu, Teh Kokom juga terkendala modal. Untuk berjualan di marketplace, tentu dibutuhkan modal yang tak sedikit agar stok barang selalu tersedia dalam jumlah yang cukup.
Sampai suatu ketika Teh Kokom mengirim pesan lagi. Ia bilang hendak menjual ponsel dan sepeda motornya demi bertahan hidup. Lantas ia mengirimi saya nomor ponsel suaminya dengan pesan, "Kalau ada yang pesan kursi, mbak hubungi nomor suami saja ya.."
Deg.
Seperti bangun dari tidur, saya segera tersadar. Teh Kokom dalam keadaan yang sulit. Mereka butuh bantuan saya. Bergegas saya membuka toko baru di salah satu marketplace, khusus untuk menjual kursi kesehatan produksi Teh Kokom dan suaminya.
Titik Balik Kami Bersama JNE
Nyatanya niat baik saya untuk membantu Teh Kokom tak seketika berjalan mulus. Kendalanya ada pada pengiriman barang. Dengan bobot kursi lebih dari 15Kg dan dimensi besar, ongkos kirim yang harus dikeluarkan pembeli tentulah amat besar jika menggunakan pengiriman standar.
Segera setelah toko pertama di marketplace dibuka, saya memang berhasil menjaring transaksi penjualan. Tapi dalam satu bulan, hanya satu dua transaksi saja yang berhasil saya dapatkan. Transaksi-transaksi itu tak lain berasal dari para pembeli di sekitar Bandung dengan ongkos kirim yang murah karena pengiriman masih dalam satu area pengiriman.
Nah, awal Februari 2018 menjadi titik balik kami. Waktu itu, JNE menggandeng salah satu marketplace besar di Indonesia dan meluncurkan layanan JNE Trucking (JTR). Layanan ini disediakan untuk mengirimkan barang dengan bobot besar. Layanan JTR memungkinkan pengiriman dengan batas minimal 10 Kg dengan harga yang terbilang ekonomis.
Bayangkan saja, layanan JNE Trucking ini bisa menghemat biaya hingga 50% dibanding pengiriman standar. Adapun estimasi lama pengiriman antara 3 hari hingga 2 minggu tergantung jaraknya. Sebagai gambaran, jika mengirimkan barang seberat 17 Kg dari Bandung ke Jakarta Pusat, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk pengiriman standar dan ekspress berkisar antara Rp. 187.000,- hingga Rp. 255.000. Namun dengan JNE Trucking, biaya yang harus dikeluarkan hanya Rp. 51.000,- saja dengan estimasi pengiriman 4-5 hari.
Dengan murahnya ongkos kirim yang harus ditanggung pembeli, tentu saja kehadiran JTR langsung membuat omzet kami naik 100%! Transaksi yang semula sekali atau dua kali dalam sebulan, berubah menjadi setiap minggu.  Dan ketika JNE Trucking hadir di marketplace lain, saya pun bergegas membuka toko kedua dan ketiga.
Lagi-lagi produk kami mendapat respon baik. Semangat saya bangkit, meluap-luap memenuhi hati saya yang sempat mengecil. Saya kerahkan seluruh daya dan upaya untuk memasarkan produk Teh Kokom, termasuk memberi mereka tambahan modal supaya persediaan produk selalu ada.
Kami berbagi tugas  seperti kala masih bekerja di butik online. Teh Kokom bekerja penuh di rumah menjahit jok untuk kursi kesehatan dan packing. Sementara suaminya bertugas membuat rangka kursi dari besi dan melakukan finishing. Sedangkan saya bertanggung jawab penuh untuk memasarkan dan menyediakan modal agar produksi bisa terus berjalan.
Komunikasi kami via Whatsapp pun terjalin setiap hari. Tak hanya melulu seputar transaksi penjualan, tetapi juga bertukar kabar tentang keluarga masing-masing.
Dan sampai detik ini pun, ketika ekspedisi lain menawarkan layanan kiriman kargo, JNE Trucking masih menjadi pilihan saya. Khususnya untuk pengiriman-pengiriman ke luar pulau Jawa, JNE Trucking menawarkan harga yang lebih ekonomis dengan layanan yang sama baiknya.
Hubungan saya dengan agen JNE langganan juga berjalan dengan sangat baik. Karena yang dicantumkan sebagai nomor telepon pengirim paket adalah nomor telepon saya, tak jarang saya mendapat pesan via Whatsapp.
"Ada pick up hari ini Teh?" sapa salah satu agen JNE suatu kali. Lalu saat pandemi Covid-19 melanda dan penjualan kursi kesehatan sempat sepi pembeli, agen JNE langganan pun menyapa saya. "Belum ada pick up lagi ya Teh?"
Sapaan-sapaan ini membuat saya tercenung. Saya jadi tersadar, tak hanya keluarga Teh Kokom yang menunggu-nunggu kabar baik dari saya. Tapi juga agen JNE yang berharap saya berhasil menjaring pembeli hari ini, besok atau lusa lalu mengirimkannya dengan layanan mereka.
Sungguh, kemajuan bisnis ini bukan semata-mata mengandalkan kemampuan marketing saja. Tetapi juga sinergi sebuah keluarga kecil yang bahu membahu merakit potongan-potongan besi menjadi sebuah produk siap pakai dan tangan-tangan cekatan para agen JNE yang mengirimkan produk kami ke seluruh pelosok negeri. Harapan saya tentu saja, semoga kisah Teh Kokom, saya dan JNE masih akan terjalin hingga beberapa tahun ke depan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H