Tidak ada lagi ruang untuk bebas berpendapat. Yang ada saling hujat demi memuaskan ego dan menjaga martabat.Â
Niat masuk group untuk menemukan kompas jalan keluar. Tapi justru bertemu dengan lapisan labirin yang tak ada ujung pangkalnya.
Kelima, Silent Reader
Di kelompok inilah sebenarnya saya menempatkan diri. Sadar diri dengan kemampuan ilmu yang dimiliki. Baik ilmu agama, ilmu filsafat, ataupun kemampuan menuangkan pendapat dalam tulisan yang runut dan menarik.
Saya memilih silent reader bukannya tanpa alasan. Selain sadar diri, alasan yang paling kuat adalah takut disebut kafir saat mendukung pendapat atheis. Atau takut disebut bodoh jika mendukung kaum agamis.
Termasuk juga jika memilih moderat. Takut dibilang manusia tak punya prinsip. Tidak bisa menentukan pijakan yang tepat. Memilih tinggal di kutub agamis atau kutub atheis.Â
Ya sudahlah. Dari sinilah saya memutuskan untuk diam saja. Cuma baca postingan dan komentar. Lumayan. Meski banyak yang bernada rasis dan sadis, tapi ada juga nyelip komentar yang bikin ngakak abis.
Karena memutuskan menjadi silent reader, maka mereka nyaris tidak pernah posting ataupun komentar. Cukup menjadi pembaca setia kubu atheis, agamis moderat, maupun kaum bingung.
Dari sekian group Facebook yang saya ikuti, group filsafat memang yang paling menarik. Di sini saya bisa merasa tiba-tiba menjadi orang yang pintar dan bodoh dalam waktu yang bersamaan.Â
Menemukan bagaimana cara berfikir tentang agama dengan cara yang genit tapi berkelas. Tempat dimana orang-orang yang mengaku beragama di KTP tapi nyatanya memilih menjadi atheis pada berkumpul.
Meski agak lelah juga menjangkau pola fikiran mereka, saya tetap memutuskan untuk tidak hengkakng dari group filsafat ini. Menarik, lucu, meski kadang kala membingungkan juga.