Ramadan yang berbeda, Ramadan yang mengiringi pandemi Covid-19 dimana data per 4 Mei 2020 di Indonesia 11.587 positif dengan sembuh 1.954 dan meninggal dunia 864. Ramadan yang penuh keprihatinan karena tidak hanya yang positif saja yang merasakan, namun banyak lagi yang terdampak Covid-19 ini.
Kalau boleh dituliskan di sini, bentuk keprihatinan kita banyak. Tidak hanya secara ekonomi berdampak, namun  menyentuh seluruh unsur-unsur kehidupan. Aspek biologi, psikologi, sosial, spiritual, politik, pertahanan keamanan terdampak semua. Tidak hanya individu, namun keluarga, kelompok masyarakat serta bangsa dan negara bahkan seluruh dunia merasakan adanya dampak corona.
Dari janin dalam kandungan, bayi, anak, remaja, dewasa dan lansia semua terdampak. Ketakutan dan kekhawatiran adanya corona benar-benar merajalela. Kematian seolah sangat dekat. Kepada orang di sekitar kita sudah tidak percaya lagi. Kewaspadaan menjadi kebutuhan. Kita  memberikan perlindungan kepada diri dan yang lain dengan jaga diri untuk tetap di rumah saja, pakai masker, selalu cuci tangan.
Kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap corona ini yang kadang menyulitkan juga. Bagaimana tidak? Sekarang mudik dilarang, orang bepergian dari satu daerah ke daerah lain tidak boleh. Akhirnya kesempatan untuk bersilaturahmi, bertemu dengan orang lain sangat terbatas. Bahkan ibadah secara berjamaah juga ditiadakan. Semua itu adalah untuk menghindari kumpul-kumpul sebagaimana kebiasaan kita sebelum corona.
Imbas dari pandemi juga berdampak pada pelayanan kesehatan juga. Kalau selama ini kita bebas memeriksakan diri ke tempat pelayanan kesehatan, saat ini sepertinya dibatasi. Kalau tidak betul-betul dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa, lebih baik tidak periksa. Mengapa begitu?
Penularan virus Covid-19 yang sedemikian masif dan ganasnya membuat kita harus waspada dan hati-hati. kita tidak tahu siapa yang sudah kena taupun yang tidak. Positifpun belum tentu ada gejala. Namun dia sudah bisa menularkan. Yang paling dikhawatirkan adalah apabila mereka yang tertular sudah mempunyai penyakit sebelumnya atau penyulit lainnya maupun usia lanjut.Â
Faktor-faktor tersebut bisa memperparah kondisinya dan menyebabkan angka kematian meningkat. Untuk itu kita tidak bisa dengan mudah memeriksakan anggota keluarga yang sakit. Seperti diceritakan oleh teman di kantor yang anaknya sakit batuk pilek dan demam.Â
Ketika periksa ke dokter A di tempat prakteknya ternyata begitu tahu gejalanya adalah batuk, beliau langsung menolak untuk memeriksa dan menganjurkan ke rumah sakit. Mendengar anjuran tersebut tentu saja teman menolak karena merasa anaknya hanya batuk pilek biasa dan tidak perlu ke rumah sakit. Namun karena dokter menolak memeriksa akhirnya pindah ke dokter lain dan dokter yang kedua mau memeriksa dengan memakai masker tentunya.
Ternyata kondisi tersebut juga dialami oleh ibu mertua yang berumur 72 tahun. Hari ke 4 ramadan ibu mengeluh sakit perut dan mual muntah, serta tidak mau makan. Ibu memang punya penyakit gastritis sudah cukup lama. Mungkin karena kondisi puasa dan ada faktor pencetus lainnya akhirnya penyakit lambungnya kambuh. Melihat kondisi demikian, awalnya kami menyarankan ke ibu untuk minum obat yang dibelikan di apotik saja. Kenapa kami hanya memberikan obat yang beli di apotik tidak langsung dibawa periksa?Â
Situasi pandemi Covid-19 yang mencemaskan ini menyebabkan kami tidak berani gegabah membawa ke tempat pelayanan kesehatan. Kondisi ibu yang memang sudah biasa merasakan gejala begitu dan biasanya cukup hanya dengan meminum obat menjadi alasan kami juga, selain khawatir kalau dibawa ke tempat pelayanan kesehatan nantinya bisa kontak dengan orang yang mungkin positif .
Ibu pun akhirnya meminum obat tersebut. Namun malam harinya tidak bisa tidur dan demam. Keesokan harinya kami bawa berobat ke dokter praktek. Ternyata beberapa dokter praktek yang biasanya buka tidak buka ataupun sudah tutup. Ada yang buka namun hanya praktek selama 1 jam saja. Ketika datang sudah tidak menerima pasien. Kami tidak tahu kenapa beberapa dokter praktek yang kami datangi tidak buka?
Akhirnya kami menemukan dokter praktek yang masih buka dan mau memeriksa ibu. Kemudian ibu diperiksa dan diberikan obat. Obat itupun diminum namun beliau masih juga kesakitan dan demamnya semakin tinggi. Melihat kondisi ibu seperti itu akhirnya kami berinisiatif untuk membawa beliau ke rumah sakit. Karena Poli sudah tutup maka ibu diperiksa di UGD. Di sini ibu diperiksa oleh dokter jaga dan dianjurkan untuk rawat jalan. Dokter mengatakan ibu sebaiknya tidak dirawat inap, karena di rumah sakit beresiko terpapar Covid-19.
Walaupun rumah sakit yang kami tuju bukan termasuk yang untuk rujukan Covid-19, namun karena situasi sekarang ini sedang dalam keadaan pandemi, maka dibatasi pasien rawat inap. Begitu juga dengan petugas jaga baik dokter maupun perawat juga banyak yang dirumahkan.Â
Kondisi ibu ternyata tidak juga membaik. Keesokan hari masih merasakan demam, sakit perut dan bahkan sekarang tidak mau diajak bicara. Beliau hanya mengerang kesakitan. Selama sakitnya ibu tidak mau makan. Bubur yang diberikan hanya dimakan 1-2 sendok. Tentu saja kondisi tersebut semakin mengkhawatirkan hingga akhirnya beliau dibawa ke rumah sakit lagi. Akhirnya rumah sakit tersebut mau menerima ibu untuk rawat inap. Namun untuk pasien tidak boleh dijenguk dan  yang menunggu hanya 1 orang saja dengan keharusan memakai masker.
Akhirnya suami menelpon kakak-kakaknya yang di Lampung dan adiknya yang di luar kota. Karena kondisi seperti sekarang ini dimana mudik dilarang kakak-kakak hanya bisa mendoakan dari jauh. Beliau tidak memungkinkan untuk pulang sekedar menengok. Kalau adik karena masih terjangkau akhirnya pulang dan ikut menunggui ibu di rumah sakit secara bergantian.
Kalau bisa dalam kondisi seperti sekarang ini jangan mengalami sakit. Prosedur untuk bisa dirawat saja lumayan tidak mudah. Berhari-hari sakit dan kondisi yang biasanya sudah dirawat inap, masih diupayakan untuk rawat jalan.Â
Semoga ibu lekas sehat, karena anak-anak dan cucu-cucunya juga tidak bisa menunggui dan menengoknya. Walaupun bukan karena corona, namun karena kewaspadaan terhadapnya membuat segalanya menjadi lebih tidak mudah.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H