Sudah lama suamiku didiagnosa  Hernia Nukleus Pulposus (HNP). Kalau tidak salah awal gejala muncul di tahun 2010. Saat itu suami mengeluh tidak bisa bangun dan terasa sakit sekali pada daerah pinggang ke bawah. Suami nyaris tidak bisa bergerak karena gerakan sedikit saja, nyeri tersebut langsung menyerangnya.
Perawatan di rumah sakit dialami selama hampir 1 minggu dimana therapi yang diberikan berupa pengobatan untuk mengatasi nyerinya. Selain therapi pengobatan suami juga menerima fisiotherapi seperti pemanasan dan mobilisasi.Â
Berhari-hari harus terbaring di rumah sakit dilanjutkan dengan therapi, Alhamdulillah akhirnya bisa diperbolehkan pulang dengan masih mengalami keterbatasan gerak.Â
Anjuran dari dokter dan fisioterapisnya, suami diminta untuk berenang. Terapi renangnya dilakukan seminggu 2-3 kali. Bukan renang seperti atlet renang pada umumnya tetapi lebih pada peregangan. Awalnya dilakukan bersama-sama penderita HNP lain di kolam renang terapi air panas di sebuah rumah sakit. Â Hampir 2 bulan menjalani terapi tersebut, Alhamdulillah kondisinya pulih kembali dan bisa menjalani aktivitas seperti biasanya.
Sekitar 4 tahun berikutnya suami merasakan HNPnya kambuh lagi. Kali ini pencetusnya kelihatan sepele. Pada saat posisi berdiri, suami bersin. Tiba-tiba  merasa nyeri pada pinggang menjalar ke kaki yang terasa nyeri sekali hingga tidak bisa berdiri. Suami langsung jatuh tersungkur dan tidak bisa bangun hingga harus diangkat dan dibawa lagi ke rumah sakit.Â
Perawatan di rumah sakit kembali dialami dengan rutinitas diberi injeksi anti nyeri dan dilanjutkan therapi. Â Sekitar 1 minggu dirawat, suami bisa pulang dan dilanjutkan kembali dengan terapi yang kali ini tidak hanya sekedar pemanasan namun ditambah dengan akupuntur dan pijat.
Untuk terapi pijat ini kami memanggil terapis ke rumah. Setiap 2 kali seminggu kami memanggil terapis tersebut. Aku perhatikan bagaimana cara beliau melakukan pemijatan. Penghargaan yang lumayan kami berikan setiap beliau datang. Apa yang diberikan mungkin sebanding dengan pelayanan yang diberikan. Namun karena keuangan kami sedang kurang baik, akhirnya terapis tersebut tidak kami undang lagi.
Di situlah akhirnya Aku memberikan pelayanan lebih kepada suami. Kalau sebelum-sebelumnya hanya sekedar sentuhan ketika merasa nyeri, akhirnya aku berikan pijatan seperti yang terapis tersebut lakukan. Ternyata suami merasa lumayan membantu juga pijatan tersebut. Bahkan lebih merasa enak dan bisa menyampaikan area-area mana saja yang perlu sentuhan dan pijatan lebih banyak.
Begitulah akhirnya sampai sekarang, menjadi tukang pijat khusus aku laksanakan hampir di setiap hari. Keluhan yang dirasakannya seperti nyeri dan rasa tidak nyaman bisa berkurang dengan pijatan istri sendiri.
Walaupun kadang-kadang badan sendiri sedang tidak enak, aku pilih memijat suami dengan harapan bisa terjadi transfer energi. Aku memberikan kenyamanan pada suami, nanti akan berbalik badan sendiri ikut merasa nyaman juga.
Demi suami aku rela menjadi tukang pijatnya. Biar suami tetap sehat, bisa melaksanakan aktivitasnya sehari-hari dan menjalankan tugasnya dengan baik sebagai suami dan ayah dari anak-anaknya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H