Support selalu kami berikan. Nasihat untuk menghadapi kehidupan ke depannya kami sampaikan. Bagaimana hari-harinya harus minum obat tanpa satu kalipun terlewat selalu diingatkan.
Kabar gembira datang, harapan masuk ke perguruan tinggi kesehatan masih terbuka. Dia lulus SNPTN. Kalau sebelumnya dia tidak lulus di jenjang D3, sekarang ini dia lolos SNPTN di S1-nya.
Walaupun harus menjalani uji kesehatan kembali, tapi dia masih bisa lolos. Mungkin karena dia sudah menjalani pengobatan atau hasil uji kesehatannya sudah baik.
Akhirnya hari-hari kuliah dia jalani dengan masih setiap harinya mengonsumsi obat-obatan, meneruskan program yang belum selesai. Hingga suatu hari ketika dia kontrol kembali, dokter sudah tidak memberikannya obat lagi. Kami senang dengan kondisi tersebut dan berharap anak kami bisa sembuh dari TBC-nya.
**
Ketika dia mengeluhkan batuk-batuk lagi, kami terusik. Apalagi di musim pandemi corona ini. Kalau boleh bilang, kami khawatir juga.
Namun seperti pepatah yang sering kami baca kepanikan adalah setengah penyakit, ketenangan adalah setengah kesembuhan. Maka mencoba tenang, anak kami tenangkan.
Masa social distancing diberlakukan. Kampus-kampus sudah mulai menerapkan pembelajaran daring. Anakku juga terkena imbasnya, tidak ada lagi perkuliahan tatap muka. Dia mulai dirumahkan untuk bisa mengakses pembelajaran secara online.
Awalnya dia lebih nyaman di kostnya, karena masih dekat kampus dan dia berharap masih bisa akses ke perpustakaan. Tugas-tugas masih banyak dan butuh kepustakaan. Kuliah online juga harus diaksesnya hampir setiap hari, sehingga dengan fasilitas wifi yang ada di kostnya dia masih bisa melaksanakan itu semua.
Namun batuk-batuknya itu yang membuat dia merasa tidak nyaman. Sudah berobat ke rumah sakit, dan kondisi lebih baik, tapi karena di kost ia hanya seorang diri.
Kami merasa tidak tega. Akhirnya kami jemput untuk memastikan tidak naik kendaraan umum yang ada kemungkinan terpapar dengan virus corona.Â