"Harga diri" merupakan hal yang sering disebut-sebut, sering dibahas dan sering kali dipermasalahkan juga. Tanpa harga diri apalah arti hidup ini. Tanpa harga diri hakekatnya kita sudah mati walau badan masih berdiri, walau mata masih terbuka, walau telinga masih mendengar, walau kulit masih merasa. Seberapa berhargakah diri kita, tak ada yang tahu, tak ada yang mengerti, tak ada yang memahami kecuali diri kita sendiri dan Tuhan tentunya. Sesuatu yang kita sebut berharga, bagi orang lain belum tentu. Walau kita ingin dihargai, belum tentu juga orang lain akan menghargai diri kita. Lantas dimanakah sebenarnya letak harga diri itu ?
Penghargaan akan timbul bila kita memang pantas untuk dihargai. Harga yang muncul secara spontan bukan karena kita membelinya atau memaksakan kehendak kepada orang lain agar menghargai kita. Seringkali kekuasaan dianggap berharga, acapkali kemewahan menjadi primadona. Bahkan tidak jarang kekuatan dipertontonkan hanya untuk mendapatkan penghargaan. Benarkah itu semua akan membuat kita dihargai?
Berkuasa belum secara otomatis membuat kita dihargai. Kekuasaan yang dimiliki harus dibarengi dengan rasa keadilan dalam menjalankan kepemimpinan. Pemimpin yang bersikap tidak adil akan menimbulkan ketidaksukaan, memunculkan kesewenang-wenangan yang bisa memicu pemberontakan. Situasi tidak kondusif muncul dan menyebabkan tidak produktif. Semangat kerja menurun hanya karena rasa tidak adil yang dirasakan. Dalam kondisi seperti ini, jangankan penghargaan, caci maki barangkali yang akan diterima. Kalaupun bukan mencaci karena takut, setidaknya anak buah hanya akan menurut karena rasa takut.
Ajining diri seko lathi, ajining rogo soko busono. Ada pepatah Jawa mengatakan seperti itu yang artinya kurang lebih diri kita akan dihargai karena apa yang kita ucapkan, badan kita akan dihargai karena penampilan. Ucapan memang sangat berarti. Apa yang kita ucapkan hakekatnya melambangkan diri kita. Ketika kita mengatakan sesuatu dengan sabar, lemah lembut, seperti itulah gambaran kepribadian kita. Sebaliknya ketika kita menyampaikan sesuatu dengan keras, spontan, tanpa basa-basi orang lain juga akan menangkap seperti itulah jiwa kita. Begitu juga dengan penampilan, seringkali orang langsung berpersepsi baik ataupun buruk hanya dengan melihat penampilan kita.Â
Kala berpenampilan menarik, berbusana yang sopan, bersih, rapih, tidak menampilkan sesuatu yang jorok, kumal, orang akan cenderung menilai kita baik. Namun ketika melihat penampilan yang awut-awutan, tidak serasi, bau karena jarang mandi, orang pun akan menilai seperti itulah kepribadian kita. Walau penilaian orang tersebut mungkin tidak benar, tidak sesuai dengan jiwa dan diri kita, namun setidaknya pandangan pertama telah memunculkan penilaian sendiri yang negatif.
Harga diri, apalah artinya di mata manusia jika kita menentang kehendakNya. Walau harga diri cenderung muncul karena penilaian manusia, namun bagi siapapun yang menentang aturan dari Yang Maha Kuasa bisa dipastikan di mata manusia pun sebenarnya tidak berharga. Penghargaan yang muncul dari manusia memang seringkali hanya bersifat konkrit belaka. Apa yang terlihat itulah yang dihargai. Apa yang tampak itulah yang dirasakannya. Manusia tidak bisa melihat ke dalam hati yang paling dalam, niatan yang tersembunyi. Namun setidaknya manusia yang baik adalah manusia yang tidak munafik. Apa yang tampak pada permukaan itulah yang ada dalam hatinya. Ketika dia berbuat baik, itu karena niat dalam dirinya tulus.
Penghargaan muncul bukan karena diminta. Penghargaan muncul karena memang pantas dihargai. Penghargaan timbul karena ketulusan yang kita berikan, kebaikan yang kita tanam, penghargaan yang kita sebarkan. Apa yang kita lakukan akan kembali kepada diri kita sendiri. Tanpa dimintapun kalau kita senang berbuat baik, tulus ketika menolong, ikhlas pada saat membantu, sopan dalam bertindak, sabar menangani masalah, maka kitapun akan dihargai, orang lainpun akan senang, penghargaan akan kita terima, rasa hormat akan diberikan.
Yang terpenting dari itu semua adalah apa yang kita lakukan ikhlas karena mengharap ridlo dari Yang Maha Kuasa, bukan semata-mata karena hanya ingin penghargaan dari sesama. Alangkah ruginya jika kita melakukan sesuatu karena ingin terlihat oleh manusia, ingin dihargai oleh sesama, maka amal kita akan hapus bagai debu yang diterbangkan angin, nyaris tak bersisa. Sia-sia dan kosong belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H