Mohon tunggu...
Humaniora

Mungkin karena Hanya 107 Tusukan

30 Maret 2016   12:22 Diperbarui: 19 Juli 2016   11:41 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat foto diatas, pasti sebagian besar tidak memahami siapa orang-orang dibalik foto tersebut dan apa pula kepentingannya hingga harus ditulis di forum kompasiana. Hal ini dapat dimengerti karena inti dari tulisan ini sejatinya ingin memberi tahu bagi yang belum tahu agar kedepan, masyarakat lebih aware dengan peristiwa atau kejadian besar yang sesungguhnya perlu pemberitaan luas agar kejadian serupa tidak terulang dus menjadi pembelajaran untuk semua.

Langsung saja. Orang yang ada didalam foto diatas, yang tampak menyilangkan dua jarinya adalah seorang murid sebuah sekolah kejuruan negeri di Bandar Lampung. Tidak...saya bukan mau menceritakan bahwa dia adalah murid yang ceria hingga sering berfoto selfie bersama teman-temannya. Atau saya akan bercerita tentang prestasinya di sekolah, meskipun dia memang siswa berprestasi. Atau tidak juga saya akan menceritakan tentang perilakunya di dalam pergaulan remaja masa kini. Saya tidak tertarik dan saya memang tidak berkompeten menghakimi sifat manusia lain. Bukan itu semua yang akan saya tuangkan dalam tulisan saya di forum bagus ini.

Sayangnya, yang akan saya tulis adalah, bahwa orang dengan dua jari menyilang yang bernama Dwiki Dwi Sofyan, murid salah satu SMK negeri di Bandar Lampung itu...sudah meninggal.

Pasti pembaca tercenung, meraba, bingung dan bertanya, meninggalnya karena apa? Toh difoto nampak sehat dan cerah ceria. Masih muda, tampak enerjik. Mungkin ada pula yang menebak: ah palingantabrakan di jalan waktu naik motor karena ugal-ugalan. Dan mungkin puluhan tebakan lain. Atau ada juga yang sudah tahu dari awal bahwa sang anak SMK itu meninggal karena tusukan benda tajam. Dan nyatanya tusukan itu tidak hanya satu, dua, tiga, empat, sepuluh, dua puluh.....tapi, 107 tusukan.

Benar. Saya sedang tidak salah tulis. Saya juga masih sadar. Dwiki Dwi Sofyan, anak sekolah berumur 15 tahun harus mengubur impiannya di usia teramat muda. Dia meninggal dengan cara yang amat tragis dan sulit dimengerti. Tewas dengan total 107 tusukan di dada, perut, punggung dan tangan. Jasadnya ditemukan di semak belukar oleh dua pemuda yang sedang lari pagi di Jalan Raden Imba Kesuma, Bandar Lampung. Dan pelakunya menyerahkan diri beberapa hari setelah ditetapkan sebagai DPO.

Saya menuliskan berita ini secara emosional karena akibat berita ini saya tidak dapat tidur selama seminggu akibat membayangkan kesadisan pelaku. Yang ternyata adalah seorang siswa sebuah sekolah. Hebatnya, jarak sekolah itu hanya 200 meter dari sekolah saya. Luar biasanya lagi, tersangka utama berdarah dingin itu adalah kawan sekelas keponakan saya. Entah suatu kebetulan atau sesuatu yang biasa dan tak perlu dibahas.

Mungkin sebagian pembaca banyak yang masih tidak tahu tentang berita pembunuhan yang menurut saya harusnya jadi headline di seluruh media elektronik dan cetak nasional ini. Setidaknya sejajar dengan pembunuhan Mirna yang 'hanya' dibunuh dengan sianida. Mengapa? Jawabannya adalah karena peristiwa ini sungguh sebuah peristiwa dengan metode pembunuhan yang luar biasa kebiadabannya. Bahkan membuat saya tidak bisa tidur selama kurang lebih seminggu karena dihantui bayangan sang korban ketika di eksekusi. Selengkapnya pembaca ada baiknya membaca sumbernya langsung disini.

Selain metode pembunuhan yang begitu biadabannya, peristiwa kriminal ini adalah sebuah tendangan keras bagi wajah dunia pendidikan kita. Korban dan tersangka adalah merupakan siswa di masing-masing almamaternya. Kenapa bisa terjadi peristiwa tragis ini ditengah gencarnya masyarakat berperang melawan narkoba dan kenakalan remaja. Hanya karena persoalan sepele seperti saling ejek di sosmed atau masalah pacar, kenapa tersangka tega menghilangkan nyawa siswa lain dengan begitu kejamnya. Meskipun saya juga sadar bahwa tanggung jawab membina remaja atau siswa sekolah bukan murni kewajiban sekolah. Namun justru di lingkungan keluarga. Jadi, sudahkah Anda melihat 'siapa' sesungguhnya anak-anak anda?

"Menurut saya pembunuhan terhadap Dwiki ini adalah pembunuhan dengan luka tusuk terbanyak yang saya tahu."

Kita wajib waspada dan mawas diri. Segera bangun dari tidur. Era teknologi yang semakin melesat terkadang mengalahkan tata cara mengelola watak dan kepribadian anak yang diwarisi dari jaman nenek moyang. Yang mungkin sudah perlu penyesuaian dan perbaikan sana-sini. Ini karena ternyata potensi seorang remaja untuk menjadi seorang kriminal berdarah dingin pun bisa terbentuk dari kemajuan teknologi yang lajunya demikian lesat mengalahkan pesawat jet sekalipun. Berawal dari bermain FB., twitter dan sosmed lainnya, seorang ibu harus kehilangan putranya tercinta. Seorang kakak harus merelakan adiknya terbaring sendiri di liang kubur.

Oh...iya, hampir saya lupa, perihal 107 tusukan itu ternyata tidak dilakukan banyak orang. Tapi...hanya diperbuat oleh satu orang saja, yakni si MKF. Tersangka utama. Sedangkan dua kawan lain hanya memegangi korban. Lihat...Sungguh sangat miris dan sulit dipahami. Seorang siswa sekolah, umur belasan tahun bisa melakukan pembunuhan yang demikian sadisnya. Anda bisa bayangkan bagaimana ketika dia melakukan pembunuhan itu. Juga layar belakang apa sejatinya yang membuat seorang manusia lebih biadab dari binatang.

Di awal...Mengapa saya menulis judul yang sangat 'memancing?'. Tak lain karena perlakuan media tentang kasus ini seperti menganaktirikan. Bahkan beberapa hari setelah kasus ini terjadi, saya masih 'buta' dan tidak tahu siapa dan mengapa tentang kejadian itu. Ini karena media elektronik maupun media massa nasional tidak memberitakannya secara berkelanjutan. Hanya beberapa kali disebuah stasiun televisi. Di media cetak saya kurang tahu. Itupun bukan berita utama. Lalu saya coba gali informasi dari media cetak dan situs lokal. Akhirnya dapat. Dan muncul pertanyaan. Bagaimana bisa peristiwa besar seperti ini dirasa tidak perlu untuk dijadikan topik utama atau headline? Sebuah pembunuhan sadis, 107 tusukan membabi buta, korbannya siswa yang berprestasi, dilakukan oleh sama-sama remaja, dan akibat persoalan sepele. Kiranya apa lagi yang diperlukan untuk membuat sebuah berita menjadi layak diberitakan secara berulang. Bukankah semua unsur 'bombastis' sebuah berita layak headline sudah masuk kriteria? Lalu mengapa beritanya hanya ramai di media lokal tapi menjadi 'sampah' di media nasional? Tidak seperti Angeline atau kasus Mirna? Atau hanya karena kasusnya di sebuah kota yang tidak sebesar Jakarta atau Denpasar? Atau hanya karena tusukannya berjumlah 107? I don't know. Ini hanya uneg-uneg saya tentang minimnya berita dari media nasional tentang kasus ini. Paling tidak, saya hanya meinginkan informasi yang jelas tentang siapa korban, tersangka, penyebab pembunuhan terjadi atau informasi lain yang mungkin membantu pengungkapan kasus. Bukankah reaksi masyarakat akan sangat membantu dalam pengawasan proses kasus. Sejauh mana progresnya dan guna menghindari pihak-pihak tertentu mengintervensi penyidikan. Tapi, nyatanya...jauh panggang dari panggangan. Berita sangat minim. Bahkan sampai tulisan ini saya tulis, perkembangan kasus tidak terdeteksi lewat televisi. Mudah-mudahan saya yang salah. Mudah-mudahan saya yang melewatkan berita ketika istri saya sedang menikmati Uttaran.

 "Kalau banyak dari pembaca yang belum tahu tentang berita pembunuhan ini, berarti saya benar. tapi jika ternyata mayoritas pembaca mengetahui tentang berita ini, maka dipastikan saya yang tak pernah menonton beritanya di televisi karena Uttaran."

Saya tidak sedang ingin agar Provinsi saya terkenal lagi dengan kejahatannya. Bukan...sejujurnya bukan karena itu. Cukuplah begal yang membuat kami sohor dimana-mana dan ditakuti seantero jagat nusantara. Tapi yang saya ingin adalah keseimbangan penayangan berita oleh media cetak maupun elektronik agar semua pemirsa, masyarakat yang menyaksikannya menjadi lebih peka dan waspada. Sekaligus menjadi media pembelajaran bagi semua untuk lebih selektif dalam mengawasi putra-putrinya terutama perihal pergaulan. Saya kira selain itu akan banyak lagi manfaat yang bisa diperoleh jika pemberitaan tentang kasus ini jika pemberitaannya seimbang tanpa memprovokasi pihak maanpun. Meski saya tidak mengingkari bahwa penayangan berita yang berulang-ulang akan mempunyai efek negatif bagi beberapa orang tertentu khususnya keluarga korban. Termasuk saya yang tak bisa tidur nyenyak selama seminggu

Intinya, sebuah berita akan selalu layaknya dua mata pisau. Tergantung bagaimana orang yang melihatnya. Namun sejatinya, jika itu sebuah pisau pemotong sayur yang ada di wadah dalam ruang dapur, maka sangat besar kemungkinannya akan digunakan untuk memasak. Kecil kemungkinan digunakan untuk melakukan hal lain. Jadi, untuk para jurnalis atau pemilik media, beritakan saja sebuah berita yang memang layak diberitakan. Niatkan bahwa berita itu untuk mengedukasi masyarakat lain agar lebih waspada, lebih 'sadar' bahwa kita hidup di dunia yang penuh dengan modernisasi. Penuh dengan jebakan-jebakan maut yang berefek 'mudharat'.Selipkan tips dan juga cara-cara untuk menghindari kejadian serupa terulang.

Sekali lagi ini hanya uneg-uneg. Jangan diberdebatkan. Karena saya paling benci berdebat. Sekian.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun