Mohon tunggu...
Humaniora

Mungkin karena Hanya 107 Tusukan

30 Maret 2016   12:22 Diperbarui: 19 Juli 2016   11:41 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di awal...Mengapa saya menulis judul yang sangat 'memancing?'. Tak lain karena perlakuan media tentang kasus ini seperti menganaktirikan. Bahkan beberapa hari setelah kasus ini terjadi, saya masih 'buta' dan tidak tahu siapa dan mengapa tentang kejadian itu. Ini karena media elektronik maupun media massa nasional tidak memberitakannya secara berkelanjutan. Hanya beberapa kali disebuah stasiun televisi. Di media cetak saya kurang tahu. Itupun bukan berita utama. Lalu saya coba gali informasi dari media cetak dan situs lokal. Akhirnya dapat. Dan muncul pertanyaan. Bagaimana bisa peristiwa besar seperti ini dirasa tidak perlu untuk dijadikan topik utama atau headline? Sebuah pembunuhan sadis, 107 tusukan membabi buta, korbannya siswa yang berprestasi, dilakukan oleh sama-sama remaja, dan akibat persoalan sepele. Kiranya apa lagi yang diperlukan untuk membuat sebuah berita menjadi layak diberitakan secara berulang. Bukankah semua unsur 'bombastis' sebuah berita layak headline sudah masuk kriteria? Lalu mengapa beritanya hanya ramai di media lokal tapi menjadi 'sampah' di media nasional? Tidak seperti Angeline atau kasus Mirna? Atau hanya karena kasusnya di sebuah kota yang tidak sebesar Jakarta atau Denpasar? Atau hanya karena tusukannya berjumlah 107? I don't know. Ini hanya uneg-uneg saya tentang minimnya berita dari media nasional tentang kasus ini. Paling tidak, saya hanya meinginkan informasi yang jelas tentang siapa korban, tersangka, penyebab pembunuhan terjadi atau informasi lain yang mungkin membantu pengungkapan kasus. Bukankah reaksi masyarakat akan sangat membantu dalam pengawasan proses kasus. Sejauh mana progresnya dan guna menghindari pihak-pihak tertentu mengintervensi penyidikan. Tapi, nyatanya...jauh panggang dari panggangan. Berita sangat minim. Bahkan sampai tulisan ini saya tulis, perkembangan kasus tidak terdeteksi lewat televisi. Mudah-mudahan saya yang salah. Mudah-mudahan saya yang melewatkan berita ketika istri saya sedang menikmati Uttaran.

 "Kalau banyak dari pembaca yang belum tahu tentang berita pembunuhan ini, berarti saya benar. tapi jika ternyata mayoritas pembaca mengetahui tentang berita ini, maka dipastikan saya yang tak pernah menonton beritanya di televisi karena Uttaran."

Saya tidak sedang ingin agar Provinsi saya terkenal lagi dengan kejahatannya. Bukan...sejujurnya bukan karena itu. Cukuplah begal yang membuat kami sohor dimana-mana dan ditakuti seantero jagat nusantara. Tapi yang saya ingin adalah keseimbangan penayangan berita oleh media cetak maupun elektronik agar semua pemirsa, masyarakat yang menyaksikannya menjadi lebih peka dan waspada. Sekaligus menjadi media pembelajaran bagi semua untuk lebih selektif dalam mengawasi putra-putrinya terutama perihal pergaulan. Saya kira selain itu akan banyak lagi manfaat yang bisa diperoleh jika pemberitaan tentang kasus ini jika pemberitaannya seimbang tanpa memprovokasi pihak maanpun. Meski saya tidak mengingkari bahwa penayangan berita yang berulang-ulang akan mempunyai efek negatif bagi beberapa orang tertentu khususnya keluarga korban. Termasuk saya yang tak bisa tidur nyenyak selama seminggu

Intinya, sebuah berita akan selalu layaknya dua mata pisau. Tergantung bagaimana orang yang melihatnya. Namun sejatinya, jika itu sebuah pisau pemotong sayur yang ada di wadah dalam ruang dapur, maka sangat besar kemungkinannya akan digunakan untuk memasak. Kecil kemungkinan digunakan untuk melakukan hal lain. Jadi, untuk para jurnalis atau pemilik media, beritakan saja sebuah berita yang memang layak diberitakan. Niatkan bahwa berita itu untuk mengedukasi masyarakat lain agar lebih waspada, lebih 'sadar' bahwa kita hidup di dunia yang penuh dengan modernisasi. Penuh dengan jebakan-jebakan maut yang berefek 'mudharat'.Selipkan tips dan juga cara-cara untuk menghindari kejadian serupa terulang.

Sekali lagi ini hanya uneg-uneg. Jangan diberdebatkan. Karena saya paling benci berdebat. Sekian.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun