Mohon tunggu...
Puji Astutik
Puji Astutik Mohon Tunggu... -

AKU HANYALAH PEREMPUAN BIASA yang mencoba untuk berjalan dalam perjalann hidup ini,,,,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Biru

28 September 2012   17:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:31 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi………

selalu saja membekas, bayangmu datang ketika haru pergi

seakan aku tak mau mengenalmu lagi
kau lah biru.......membeku dalam haru, membias dalam kelabu
kau lah biru….indah, lembut dan rapuh
kau lah biru….

Biru begitu lalu, Mungkin akan selamanya aku begini, termangu dalam sunyi karena ku tak tahu sampai kapan. Rasa ini membungkamku bahkan untuk menatapnya pun aku tak sanggup. Inikah cinta?Tidak mungkin…..

“Maukah kau menjadi teman hidupku?”

Ah… kata-kata itu yang selalu terngiang dalam benakku kini. Aku tak pantas denganya, ku hanya gadis sederhana yang tidak terlalu pintar. Kolot mungkin itu yang pantas untukku. Gadis kartini yang hanya bisa melihat bintang dalam belenggu kaca tanpa bisa meraihnya. Sedangkan kau, seribu wanita seperti apapun dapat kau miliki dengan mudahnya lalu kenapa aku?

Sore itu aku melihatnya lagi. Dia tampak gagah dengan baju koko warna biru muda dan sarung bermotif kotak warna biru pula.Tak lupa sajadah panjang itu mengalung di bahu kanannya. Mungkin ku hanya bisa melihatnya dari kejauhan tapi aku cukup bahagia. Biru, senyumnya merekah tak peduli pada siapapun tua-muda miskin-kaya, lusuh-bersih siapapun. Kau menyejukan hatiku, entah mengapa, tapi aku tak pernah ingin menatapmu lekat, karena aku takut sekali, cinta ini akan menjeratku terlampau jauh padamu. Pernah ku ingin menulis surat kaleng tanpa nama, mengirimkanmu puisi-puisi indah agar kau tahu kaulah sumber inspiraasiwanita sunyi ini. Ahh… tidak,, biar, biarlah puisi puisi indah ini menjadi saksi bisu rasa yang kerap menderaku beberapa kali dalam sehari. Mungkin suatu saat nanti ketika keberanianku telah terkumpul biar mulut yang menyaurakan di telingamu.

****

“Sa, puisi kamu dimuat di majalah, lihat ini!” Rani, mengoyak lamunanku tentangmu, maaf ya.. biru. Bohong sekali jika aku tak bangga jika puisi itu dimuat, tapi andai kau tahu puisi itu adalah sepotong rangkaian puisi untukmu. Sejak saat itu aku mulai mengirimkan puisi dan cerpen ku ke majalah, entah akan kau baca atau tidak tapi itulah surat kaleng yang aku janjikan padamu tempo dulu. Aku tak pernah bosan memakai nama “Biru” dalam setiap helai tulisanku.

Gontai aku melangkah ke dalam kelas bersama Rani sahabat dekatku satu-satunya, Seperti biasa melewati deretan rimbunan hijau cemara kampus dan bangku-bangku membisu, yang seolah belajar dalam bungkam. Tak ada yang mengenalku atau bahkan membalas sapa dan senyumku. Aku memang tidak begitu tenar dalam kampus, sudah bisa kuliah dan mengenalmu pun sudah syukur. Ah, madding kau menyapaku ramah pagi ini, gerangan apa yang ingin kau katakana padaku?

PEMILIHAN PENGURUS REDAKSI CANDI

“Sa, kamu kan berbakat menulis, kamu mencalonkan diri sebagai pengurus redaksimajalah kampus saja” Rani penuh semangat “ ayolah….” tambahnya

Tawaran serupa selalu menggaung di telingaku berhari hari sejak pengumuman di mading tidak rani sahabatku tidak juga ilham.

Aku kemarin tak bermimpi dipatok ular atau bermimpi ketiban durian tanpa kulit, kini ku melihatmu berjalan tegap dengan gaya sadismu yang memikat, mataku nanap. Setiap gerakmu, tingkahmu, tuturmu begitu sempurna. Mungkin ku hanya satu dari sekian gadis yang mengagumimu lekat, tapi aku tak peduli meski kau tak mengetahui itu.Biar Hati dan Tuhan saja yang tahu, Bahkan setan pun tak kan kubiarkan tahu perasaanku terhadapmu sedikitpun. Kali ini kau berjalan menuju ke arahku, pandangan matamu lurus ke depan, langkahmu pasti hendak menikamku mentah-mentah, aku semakin takut tuk melangkahkan kakiku. Kau begitu dekat sekarang bahkan tak ada satu meter dari air muka ku, aku pun menghindar ke kiri memberimu jalan, tapi kutub magnetku terlanjur menarikmu kuat-kuat tak kan melepasmu hingga kau tak kuasa untuk menghindar, mengikutiku ke arah kiri. Mataku masih menunduk. Kemudian kau berbalas padaku menarikku ke arah kanan. Kali ini kutub magnetmu lebih kuat dari apapun aku pun mendongak, sejurus dengan mata sipitmu. jantungku memainkan stik drum nya kuat-kuat, senyum itu, senyum nyengir khasmu mengusik hatiku. “ permisi..!” katamu membelaiku lembut.

Aku tak dapat berucap, diriku melambung, langkah kakiku mengambang di atas awan, oksigen yang lima menit lalu kurasa tak berwarna kini menjelma menjadi berjuta bunga menegelilingiku. Inikah yang namanya jatuh cinta?

***

Mungkin aku terlalu disibukkan oleh khayal yang tak urung jadi nyata, tapi aku terlampau menikmatinya. Harap yang kian meninggi membuatku untuk menghentikan waktu sejenak saja tenggelam dalam khayal ini.

“Maukah engkau jadi teman hidupku?”

Ah.. aku ini pungguk yang merindukan bulan saja. Semakin tinggi dan tak terlihat semakin besar impiku. Heran ! belakangan ini aku merasa begitu sendiri. Sudah satu minggu tak pernah melihatmu bahkan tak pernah tau kabar tentangmu lagi. Semua tulisanku penuh dengan dilema rinduku padamu, Kini minggu berganti bulan, ternyata kau telah pindah ke eropa untuk melanjutkan kuliah. Andai kau tahu Harapku semakin menggebu, Aku ingin melihatmu, tak peduli dingin merajukku untuk kembali.

Waktu memang tak bersahabat denganku baru-baru ini,. Aku sudah terengah mengejarmu tapi kau terlampau angkuh tuk mendengar seruku. Tapi biru keangkuhanmu semakin membuatku bersemangat menyerumu, Title Sarjana telah aku dapatkan,predikat cum laude menggema di telingaku tak urung membuatku berhenti menantimu, Kau selalu saja membuatku menunggu. Aku galau memainkan khayalku “ Maukah engkau menjadi teman hidupku Sa?” Kau bertanya padaku dengan sekuntum mawar ditanganmu, ditengah makan malam romantis berhias lilin-lilin merah. Tapi apa kau pikir setelah penantiananku ku akan menjawab “iya”? tentu saja tidak biru, meski aku terlampau merindumu tapi kini aku adalah seorang ibu dan istri dari lelaki yang mencintaiku tulus.

****

Bukan mudah hidup dengan orang yang tak pernah kucintai sebelumnya, meski kucoba setiap hari untuk mencintainya. Tak ada sedikitpun sesal dihati suamiku padahal ia tau bukan dia yang kunanti selama ini. Mungkin itulah yang membuatku tak kan pernah menyakitinya. Kerap kali rekan kerjaku iri padaku, setiap datang atau pulang selalu senyum hangatnya menjemputku dan dia tak pernah tau aku selalu melamunkan biru, di rumah bahkan di tempat kerja. Astagfirullah…..

Sa, kali ini aku nggak bisa bantuin proyek kamu tapi tenang, kamu bakal berduet dengan Pak Ardi, big boss dari prancis. Dia sendiri yang bakal jadi editornya.” Argha membangunkan lamunanku

“Siapa pak Ardi, Gha?”

“Dia adalah pemilik saham terbesar di perusahaan ini, masa kamu nggak tau Sa? Kamu mustinya bangga” Goda Argha

“oohh… yang….“

“Dia lulusan luar negeri lho! Smart, keren lagi” Suara lain menimpa dari belakang

Sa, kamu dipanggil di ruangan pak Ardi tuh” Rani mengusirku perlahan. Wajahku masam, pasrah apalah kata orang asing itu nanti pada naskahku. Lagian tau apa dia tentang sastra, Sok mau jadi editor, sukanya belajar di negeri orang pasti sikap dan budayanya sudah nggak karuan. Aku tak akan membiarkan naskahku tercoret dengan ideologisnya yang carut marut. Ini proyek terbesarku untuk negeri ini tak akan kubiarkan dia seenaknya menyentuh tulisanku.

Hampir aku masuk ke ruangan singa itu tanpa mengetuk pintu, untung aku belum amnesia tentang adap yang diajarkan nenek padaku ketika nenek masih ada dulu. Setelah suara “Masuk” kudengar sengit aku pun memasuki ruangan itu penuh kesal. Aku sudah berdiri tepat dihadapannya tapi tak urung dia memalingkan wajahnya ke arahku. Begitu asyik dia memainkan kursinya kekiri dan kekanan membelakangiku.

Dia mendongeng dan sesekali menyama-nyamakan karyaku dengan kawan kuliahnya tempo dulu tak jarang mencemooh salah ketik dalam naskahku. Kalau dia bukan atasanku kuterkam dia mentah-mentah. SabbaarrSa

“Sudah lama aku mengetahui sepak terjangmu biru” dia memanggil nama penaku dan mengakumengenalku sejak lama “aku sangat menyukai karya – karyamu dan baru kali ini aku dapat bertemu dengan idolaku selama ini.” lanjutnya basa – basi.

Mulutku berdecak mencibir ucapannya. Sudah lama aku berdiri sampai kakiku kesemutan begini masih juga ia mendongeng yang tak penting tanpa mempersilahkan aku duduk. Tapi masih saja dia tak peduli denganku apa dia tak pernah di ajari bagaimana memperlakukan tamu dengan baik? apa karna dia dari prancis, lalu di Indonesia dia lupa dengan tata krama?. “maaf pak bagaimana dengan naskahnya, bagian mana yang perlu di edit?” tanyaku memotong dongengnya yang membuat telingaku gatal – gatal.

Lelaki itu tak seketika menjawab perlahan kursi itu bergerak menghadapku. “saya setuju dangan semuanya.” Mataku terbelalak bukan karena ucapannya tapi dengan raut wajah lelaki di hadapanku ini. Biru memakuku dalam bisu menerpa rinduku yang termakan waktu. Ku kucek mataku memastikannya, dan lelaki itu tak pernah berubah sedikitpun. Elok rupa yang selama ini menghantu angan yang tak pernah tersampaikan menjadi nyata dalam beku jiwaku.

***

Hitungan jarum jam membuatku lebih dekat dengannya. Membicarakan berbagai proyek negeri sembari minum kopi atau menikmati mega menyingsing. Aku begitu menikmatinya, inilah hal yang aku inginkan sejak dulu, mengenalnya lebih dekat dan dekat lagi.

Lebih dari itu aku tak lagi sering melamun di setiap kesempatan kosong, wajahku semakin berbinar. Bahkan Faizal, suamiku sendiri turut bahagia melihatku lebih ceria dan bahagia. “ Sayang, akhir – akhir ini engkau tampak bahagia ada apa kiranya?” tanyanya pelan dalam desahan angin sore minggu itu.

Tak pernah aku jawab pertanyaanya itu, sesekali hanya ku lempar senyum kecil manis menggoda, “proyekku berhasil” jawaban singkat yang terdengar membosankan. Berhari – hari, berminggu – minggu, berbulan – bulan tak ada kecurigaan sedikitpun dari faizal dan aku semakin menikmati kedekatanku dengan Biru. Aku seperti mendapat energiku yang telah hilang, beberapa rekan kantor turut merasakannya.

***

Di sebuah kedai kopi tak jauh dari kantor aku duduk besisihan dengan Ardy. Udara taman yang sejuk semakin damai dengan kemeja biru yang dikenakannya. Ia tampak lebih muda.

“Sa, taukah dirimu bahwa aku sangat mengagumi karya – karya “Biru” yang kerap menghiasi beberapa majalah nasional dan kampus” matanya lekat – lekat menatapku, lebih dekat dan semakin tajam, setajam sorot mata pertamanya yang pernah aku tangkap kita kita bersimpangan di sebuah lorong kampus beberapa tahun yang lalu. “ sejak saat itu aku selalu mencari tahu sosok “Biru” yang terus menghantui pikiranku. Karena itulah ilmu ekonomi yang mati – matian aku perjuangkan hingga ke prancis aku tinggalkan begitu saja demi mencarinya dalam dunia kepenulisan”

Aku tak sanggup berucap apapun. andaikan dia tahu dialah sebenarnya sosok yang selalu menjadi materi dalam setiap tarian tintaku. Bohong sekali jika hatiku tak berbunga saat ini, pandangannya, ucapannya merontokkan jiwaku.

“apa sekarang kau menyesal?” seruputan kopi arabica sedikit menenangkanku menanggapi ucapannya.

“ tidak. Tidak sama sekali.” Wajahnya memaling jauh ke balkon

Haah.......

“ apalagi setelah semua perjuanganku mencari penguat jiwaku aku temukan disini.”

“maksudmu?”

“ Maukah kau menjadi pendamping hidupku Sa?” wajahnya sayup penuh harapan.

Anganku menjadi nyata, ucapan yang selalu aku dengungkan dalam setiap malam dan mimpiku, kini terdengar jelas oleh kedua telingaku.

“Apa aku tak salah dengar tuan?”

“maukah engkau menjadi istriku, Andysa Fajarina?” sekali lagi benar – benar di ucapkannya. Beberapa kali aku cubit pipi dan tanganku dan masih terasa sakit, aku benar – benar berada di alam nyata. Dadaku sesak seketika. Kata – kata inilah yang aku tunggu bertahun – tahun inginku anggukan kepala ini tapi seketika semua bayanganku penuh dengan khaila dan Faizal. Bagaimanapun aku tak mungkin menyakiti mereka.

Ya Tuhan, mengapa anganku begitu senja, Engkau berikan aku Biru dalam rasa yang sama tapi kondisilah yang membuatnya berbeda. Sekarang apalah dayaku, haruskah kutinggalkan Faizal? Tetapi bagaimana dengan khaila, dia lebih membutuhkanku, atau haruskah aku korbankan rasaku pada Biru? Rasa yang begitu mengharu bertahun – tahun.

Aku benar – banar tak tega menolak Biru. Binar matanya menampakkan kesungguhan. Kutarik nafas dalam – dalam tapi oksigen di ruangan ini sepertinya telah habis untuk dapat aku hirup sedikit saja.

“Hhmm... begini.” Suaraku terbata tapi kucoba untuk tetap tenang

“maafkan saya pak ardy, saya memang begitu mengagumi bapak, bahkan sejak dalam bangku kuliah dulu. “biru” nama pena yang selalu saya gunakan itu tidak lain dan tidak bukan adalah anda sendiri. Karena andalah banyak terlahir karya – karya saya yang menghias beberapa media, bahkan sampai sekarngpun saya masih tetap menjadikan anda sebagai sumber inspirasi menulis saya. Jujur, saya benar – benar terkejut ketika bertemu bapak dalam proyek kemarin, karena itu berarti do’a saya untuk bertemu dengan anda kembali telah dikabulkan Tuhan. Setelah itu, ucapan bapak beberapa menit yang lalu. Itu benar – benar mengejutkan saya, karena kata – kata anda sama persis dengan angan dan mimpi saya bertahun – tahun lamanya. Kata yang begitu saya damba akan anda ucapkan.” Dia menatapku semakin lekat. “tetapi, sekali lagi saya mohon maaf apabila saya... saya tidak bisa menganggukan kepala saya tanda setuju, karena saya sekarang adala seorang istri dari laki – laki biasa yang tulus mencintai saya dan juga seorang ibu dari seorang malaikat kecil buah cinta kami. Maaf ini terlalu senja untuk diucapkan tuan Biru” air mata ini tak sanggup kubendung terlalu lama, kuraih tas tanganku dan berlari secepat mungkin menjauhinya. Mungkin memang aku terlalu bodoh menghiraukannya, tapi aku juga tak mengerti, entah energi apa yang membuatku mengatakan semua ini. hatiku sedikit lega telah jujur mengatakan hal yang harus kukatakan padanya tapi aku juga sakit, sakit telah mengatakan semuanyadan menyakitinya.

***

Di sepanjang perjalanan pulang aku coba menutupi mata sembabku dengan beberapa kali sapuan bedak di wajah. Baru saja beberapa langkah kakiku menuju pintu gerbang Faizal dan khaila sudah menyambut kedatanganku riang. Secuil senyum dan wajah heran nampak jelas sore itu. Faizal telah menyiapkan segalanya, menutup mataku dengan kain hitam panjang. Aku tidaklah sedang ingan bercanda saat itu tapi aku tak bisa memberontaknya di depan khaila, yah... terpaksa aku turuti tingkahnya.

Perlahan ia tuntun aku memasuki rumah. Tak berapa lama ia buka kembali ikatan tali hitam yang membutakanku beberapa saat. Tepat di depan mataku kulihat beraneka hidangan lezat dan sebuah kue besar.

“Selamat ulang tahun mama....” serentak mereka

Air mata ini tak lagi tertahankan, menghujani keegoisanku terhadap lelaki yang terlampau mencintaiku selama ini. Aku pun tersadar dialah masa depan dan masa senjaku. Aku melompat dalam pelukannya bersama khaila dan kurasakan kesejukan yang belum pernah aku rasakan selama ini. Jantungku berdebar lebih kencang, gurat cinta menyelimuti hati kami. Maka, saat ini pula, di hari ulang tahunku aku pun bertekad untuk mencintainya seutuhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun