Mohon tunggu...
Puji Slamet R
Puji Slamet R Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Berusaha menjadi pribadi yang santun dan bertakwa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Simfoni Dua Cinta 2

7 Juni 2014   18:15 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:49 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Assalammualaikum..."
Kami serempak yang tengah berbincang di ruang tamu menjawab salam. Kulihat Ardina nampak terkejut melihat kedatangan lelaki yang seumuran denganku itu. "Mas Hadi?" Pekikan kecil keluar dari bibirnya. Dalam hati aku bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda itu? Ada hubungan apa kiranya dengan Ardina?

Suasana ruang tamu kini bertambah hangat dengan obrolan kangen-kangenan antara dua keluarga yang lama tak bertemu. Dari Pak Sumedi aku akhirnya tahu bahwa pemuda bernama Hadi itu adalah mantan tunanganya Ardina dan wanita setengah baya tadi adalah ibunya. Bu Lina adalah kawan lama dari Bu Darwati ibunya Ardina. Mereka berteman sejak kecil dan pernah membuat keinginan untuk menjodohkan anak-anak mereka kelak dengan harapan makin memperkokoh persaudaraan. Ya pada akhirnya mereka memang dikaruniai anak-anak yang saling mencintai satu sama lain, Ardina dan Hadi.

Perjalanan cinta anak manusia memang penuh dengan ujian. Sebagai jalan untuk membuktikan kesabaran dan ketabahan seseorang. Begitu pula dengan Ardina dan Hadi. Ketika itu Hadi mendapat beasiswa meneruskan kuliah ke Jepang sesuai cita-citanya yang hobi sekali menekuni dunia otomotif. Hadi memberi kebebasan bagi Ardina untuk menunggu atau menikah dengan orang lain. Berat memang bagi Ardina waktu itu untuk memutuskan apakah ia akan menikah dengan orang lain karena cintanya pada Hadi begitu besar. Maka ia berusaha untuk tegar menjalani perpisahan dengan orang yang sangat dicintainya.

****

Bandara Sultan Mahmud Badarudin, Palembang.

"Maafkan adek kak..." Aku terharu melihat Ardina menitikkan air mata. Aku tersenyum, "Lho napo harus minta maaf? Seharusnya adek bahagia karena Mas Hadi juga masih memiliki perasaan yang sama. Masih sangat mencintai adek."

Ia menyeka butiran-butiran bening air mata yang jatuh membasahi dua buah pipinya yang putih bersih.

"Ini sungguh diluar dugaan adek kak. Semula adek telah ikhlas andai adek memang dak biso hidup bersama dengan orang yang adek cintai karena...karena ..adek lah merasa menemukan pengganti yang tepat. Orang yang membuat adek jatuh hati dan kagum akan kepribadianya. Orang itu tak lain adalah kakak...."

Gadis itu memotong kata-katanya. Aku sendiri terkejut. Sedih. Harus kuakui aku juga pernah mempunyai perasaan yang sama. Tapi, ah bayangan cinta tulus Nurhayati seolah tak mampu menggantikan pesona, perhatian, segala kebaikan dan kebersamaanku sebagai partner bisnis denganya.

"Tapi adek juga tahu, kakak masih sangat sayang dengan Mbak Nurhayati begitu pula sebaliknya dengan adek, masih sayang juga sama Mas Hadi. Mungkin ini waktu yang tepat ya kak? Aku tersenyum mendengar penuturanya. "Yah, inilah indahnya kekuasaan Allah dek. Saya rasa ini waktu yang tepat bagi adek untuk menerima pinangan Mas Hadi." Jawabku. Gadis itu tersenyum, "Maafin adek kak, adek percaya mungkin Mbak Nur adalah wanita terbaik untuk mendampingi kakak."

Aku kembali tersenyum, "Doa dari adek yang kakak harapkan....betapa bahagianya kakak di tanah perantauan ini bisa dipertemukan dengan orang sebaik adek dan keluarga adek. Kakak lah menganggap adek sekeluarga seperti keluarga tersendiri. Kita ini saudara seiman, saudara sesama muslim, meskipun nanti kita sama-sama sudah berkeluarga kita masih tetap menjadi saudara dan bisa mengembangkan bisnis yang sudah kita rintis lima tahun ini lebih baik lagi kedepanya ya dek?"

Senyum Ardina sekali lagi jauh lebih tulus dari senyum sang mentari yang perlahan surut ke peraduanya. Aku tersenyum bahagia melihat Ardina dan calon suaminya bisa kembali berjalan beriringan, saling mencinta dan bersiap menyongsong hidup baru.

"Jemputlah cintamu wahai saudaraku, Nurhayatimu menantimu disana. Kelak setelah kita sama-sama menikah kita bisa membangun bisnis untuk nenopang dan membangun pendidikan Islam untuk anak-anak disini dan di tempat tinggalmu. Itulah cita-citaku dan Ardina sebelum aku berangkat ke Jepang. Nikahilah Nurhayati dan ajak ia berjibaku untuk membangun pendikan Islam untuk anak-anak kita kelak. Yakinkah Allah Subhanahu Wa Ta'ala bersama kita wahai saudaraku."

Aku terharu mendengar penuturan Hadi yang begitu mulia dan melecutkan semangat jiwa. Kami berangkulan sejenak sebagai sesama saudara muslim yang harus saling menguatkan.

Aku dan adikku melambaikan tangan ke arah mereka yang ikut mengantarkan kami ke bandara Sultan Mahmud Badaraudim di Palembang. Saatnya aku mudik. Pulang ke kampung halaman untuk bisa berkumpul kembali dengan keluarga tercinta. Untuk menjemput cinta yang tak pernah mati dan selalu tumbuh bersemi dalam hati. Nurhayati.

Ya Allah ya Rabb, muliakan dan tolonglah mereka yang senantiasa berjuang untuk tegaknya agama-Mu. Pertemukanlah hsmba kembali dengan mereka, Ardina dan Hadi, dan keluarganya. Sebait doa kupanjatkan seiring pesawat terbang yang telah lepas landas membelah cakrawala senja.

****

Aku merasa rumah megah di depanku ini terasa lain. Tak angkuh seperti dulu. Aku duduk disamping pembaringan seorang lelaki separuh baya yang tak lain adalah ayahanda Nurhayati. Sejenak beliau merangkulku. Gurat kesedihan tergambar jelas di sorot matanya yang teduh, tak angkuh seperti dulu. Aku dan semua yang hadir di kamar tidur beliau itu teramat Masygul melihat kondisi kesehatan beliau yang semakin memprihatinkan. Sudah lama beliau sakit menahun.

"Bapak minta semua yang hadir disini dengarkan baik-baik. Nak Aji, izinkan bapak menceritakan satu hal kenapa bapak dulu saat nak Aji meminang Nurhayati tak merestui kelanjutan hubungan kalian. Maafkan bapak nak...selama ini bapak sekeluarga telah berlaku dholim padamu juga pada keluargamu. Kami telah menyombongkan harta yang sebenarnya adalah titipan dari Allah. Kami sadar telah disilaukan oleh harta, bahwa roda itu berputar, harta bukan segalanya, sebagian besar harta itu telah ludes di bakar api saat terjadi kebakaran pasar. Memang benar bapak tak menyetujui hubunganmu dengan Nurhayati alasan pertama karena masalah harta. Waktu itu bapak memandang Burhan sebagai calon suami Nurhayati yang pantas. Meskipun bapak juga tak menutup mata bahwa Burhan mempunyai perangai yang buruk namun bapak berharap tabiat Burhan bisa berubah setelah menikah. Alasan lain karena ego cinta masa lalu bapak terhadap ibumu...." Tak ayal aku terkejut dengan pengakuan ayahnya Nurhayati. Pengakuan itu jujur. Kulihat ibuku dan istrinya Pak Rahmat ayahnya Nurhayati sama-sama menitikkan air mata.

Ayahnya Nurhayati kembali melanjutkan ceritanya, terbatuk dan nafasnya sedikit tersengal. "Rasa kecemburuan bapak terhadap ibumu yang lebih memilih ayahmu ketimbang bapak. Meskipun bapak waktu itu bergelimang harta. Bapak merasa lebih pantas mendapatkan ibumu tetapi bapak tak habis pikir kenapa ibumu lebih memilih ayahmu. Ketahuilah bapak dan ayahmu sebelum mempersunting ibumu dulunya adalah teman sepermainan. Kami layaknya dua saudara akrab. Keretakan bermula ketika kami ternyata mencintai gadis yang sama, yakni ibumu. Apalagi setelah ibu dan ayahmu menikah perasaan benci memenuhi hati bapak. Tetapi ah, subhanallah...." Ayahnya Nurhayati menitikkan air mata. Semua yang hadir di kamar tidur itu tak kuasa menitikkan air mata.

"Ayah dan ibumulah orang-orang yang berhati bak malaikat yang pernah bapak temui. Tak pernah sedikitpun terbersit untuk membalas segala kezaliman bapak. Bapak malah yang sangat menderita. Yah mungkin inilah hukuman dari Allah yang harus bapak terima...."

Aku tergugu. Ayahnya Nurhayati menangis semakin deras. Ah gadis itu, gadis bercahaya yang sangat kusayangi dengan penuh kasih sayang menyeka air mata ayah kandungnya meski ia sendiri berurai air mata,

Pandangan mata ayahanda Nurhayati semakin lemah, "penyesalan selalu datang terlambat. Ah semoga Allah menerima taubat bapak dan mengampuni dosa-dosa bapak selama ini. Ternyata mendewa-dewakan harta seperti yang selama ini bapak lakukan sama sekali tak ada gunanya. Bapak telah diperbudak harta dan rasa iri, kecemburuan bapak semakin besar manakala ibumu dianugerahi putra-putri yang cerdas dan sholih. Berbanding terbalik dengan bapak, terkecuali Nurhayati yang seolah mewakili keluhuran budi ibumu. Bapak sedih mendapati kenyataan ternyata bapak salah dalam mendidik. Ternyata gelontoran harta yang bapak berikan tak membuat saudara-saudara Nurhayati berjalan lurus. Bahkan cenderung foya-foya meskipun alhamdulillah sekarang mereka telah insyaf."

Ayahanda Nurhayati memandang penuh harap padaku. Sinar matanya telah redup. "Nak Aji bapak minta dua permintaan padamu?" Aku hanya mengangguk haru. Air mataku meleleh. "Nak Aji bersedia memaafkan bapak kan? Rusdi dan Lastri maukah kalian memaafkan segala kesalahanku?" Aku dan kedua orang tuaku mengangguk berurai air mata.

Sebuah senyum tersungging di wajah beliau.

"Allahu Akbar...permintaan bapak yang kedua, bapak terharu betapa tulus dan besarnya perasaan cinta dan sayang Nurhayati terhadapmu, perasaan cinta dan sayang semata karena berharap ridha Allah. Bapak merestui dunia akhirat cinta kalian berdua, nikahilah dia, jagalah dia, cintai dan sayangilah dia sepenuh hatimu, sepenuh jiwamu...."

Nafasnya kian tersengal. Beliau meraih tanganku dan tangan Nurhayati putrinya meski lemah yang teramat sangat. "Nak Aji...putri tercintaku Nurhayati...."

Patah-patah suara ayahanda Nurhayati memanggil nama kami berdua. Tenggorokan kami tercekat. Tak mampu lagi berkata-kata selain derai air mata.

"Bapak nikahkan kalian berdua, jadilah sepasang suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi. Semoga pernikahan kalian diberkahi dan di anugerahi keturunan yang sholih-sholihah....Doa bapak selalu menyertai kalian berdua."

innalillahi wainna ilaihi rajiun.
Isak tangis kesedihan pecah mengiringi kepergian ayahanda Nurhayati. Langit menangis. Hujan turun membasahi bumi. Mencurahkan duka yang teramat dalam untuk kami. Ayahanda Nurhayati kembali menghadap Sang Pencipta dengan wajah yang bercahaya.

****

Burhan merangkulku. "Maafkan aku Ji, jika pernah melukai perasaanmu."

Aku tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Kini antara aku dan Burhan setelah kepergian ayahanda Nurhayati telah menjadi seperti dua saudara. Wajahnya bersih karena terbiasa terbasuh air wudhu. Pemuda itu mendapat hidayah selama lima tahun di pesantren. Jalan hidupnya kembali lurus dan hidup bahagia dengan seorang santri putri yang dipilihkan oleh ustadz yang membimbingnya di pesantren. Dari pernikahan mereka dikarunia seorang putri kecil yang lucu dan menggemaskan.

Setelah berdoa di pusara ayahanda Nurhayati kami beranjak pulang. Mentari senja yang perlahan mulai surut terbenam di bentang luas cakrawala seolah menjadi saksi simfoni dua cinta yang berusaha meraih ridho Rabb Sang Pencipta.

****

--Tamat--

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun