Mohon tunggu...
Humaniora

Menjaga Idealitas Sepenuhnya

5 Oktober 2017   00:36 Diperbarui: 5 Oktober 2017   01:17 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari kita bebicara soal sejarah. Kiranya pembahasan tentang sejarah adalah jalan yang tidak berujung dan siklus yang secara bergiliran terus terulang. Selanjutnya pun nilai-nilai sejarah itu akan menjelma dalam nafas-nafas kehidupan kekinian, tinggal nalar kepekaan kita saja, apakah merasakannya atau tidak. Saat sensitivitas kepekaan merasakan kehidupan nilai sejarah di kehidupan kekinian itu tumbuh dan berkembang, saat itulah kita hidup.

Soal sejarah sastra misalnya, ada berjuta harta yang ditinggalkan dalam lembaran-lembaran emas sejarah sastra Indonesia. Mahal, indah dan sangat impresif. Sastra adalah kehidupan dalam idealitas yang mewah. Ia merasuki setiap jengkal penikmat dan pembuat karya-karya. Bukan sekedar puisi ataupun cerpen yang terangkai indah kata-katanya, namun itu adalah kehidupan yang berkelas dan berharga. Bersamaan dengan itu pula ia menjadi kritikan dan saran yang indah sekaligus menyejukkan. Sebab kata-kata adalah senjata yang paling mematikan untuk realitas yang menyesakkan. Seperti halnya Chairil Anwar yang hidup dengan sajak-sajak yang merangkai kehidupannya. Sampai sekarang ia masih hidup dalam perbincangan sastra di Indonesia. Seorang pelopor sekaligus pemberontak kekakuan pada masanya. Pembaru yang hidup dalam dunia idealitas seorang seniman yang muak dengan penjajahan pikiran dan tanah kelahirannya. Kehidupannya-pun sangat singkat, tak sampai 30 tahun ia menghirup sajak-sajaknya. Mungin itu disebabkan oleh kehidupannya yang mencerminkan seorang seniman yang tak terikat dengan apapun, kecuali pada idealismenya. 

Lalu marilah kita berkaca pada bung Hatta, Sang Dwi Tunggal. Mari membandingkan diri kita ini dengan semangat beliau dan kejujuran beliau. Seorang pencetus perekonomian berdikari. Mengajari bangsa ini bahwa kekuatan sesungguhnya ada ketika Indonesia benar-benar berdiri dengan kakinya sendiri, bukan orang lain! Seorang ayah dan juga panutan bangsa. Tak berlebihan rasanya jika saya mengatakan beliau adalah wasilah terpilih dari Allah untuk bangsa ini. Tentu saja semua itu berawal dari idealitas yang mendidihkan semangat beliau. 

Kemudian, mari kita lontarkan pertanyaan itu pada diri kita. Dimanakah idealitas kita sebagai bangsa Indonesia ? Masihkah ada, ataukah hilang ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun