Mohon tunggu...
Pujananda Mukti Wulandari
Pujananda Mukti Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia

Halo! Aku adalah manusia yang suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gerakan Feminisme di Media Sosial Jauh dari Kata Netral? Simak Kebenarannya!

24 November 2024   18:42 Diperbarui: 24 November 2024   18:43 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

GERAKAN FEMINISME DI MEDIA SOSIAL JAUH DARI KATA NETRAL? SIMAK KEBENARANNYA!

Eksistensi kata feminisme sudah tidak asing lagi di telinga kita dan menjadi topik yang cukup digandrungi oleh konten kreator di media. Feminisme sendiri merujuk pada gerakan berupa keyakinan atas kesetaraan gender pada hal-hal yang berkaitan dengan hak, kesempatan, dan keadilan.

Gerakan feminisme di Indonesia sendiri tentu dipelopori oleh pahlawan perempuan nasional, R.A. Kartini, yang memperjuangkan hak-hak perempuan melalui advokasi karyanya, "Habis Gelap Terbitlah Terang". Pada masa tersebut gerakan feminisme lebih berfokus pada kesetaraan di bidang pendidikan dan kebebasan bagi perempuan. Feminisme juga dikategorikan sebagai hal baik yang tidak hanya dilakukan oleh perempuan saja tetapi dapat dilakukan juga oleh laki-laki untuk mengentaskan budaya patriarki.

Sayangnya, di era sekarang paham feminisme yang benar-benar setara tanpa menjatuhkan gender yang lainnya hanya dapat dimengerti oleh beberapa orang saja. Banyak yang menyalah artikan bahwa menganut paham feminisme adalah dengan menjadi sosok yang sok superior, hidup berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain, dan merendahkan bahkan membenci salah satu gender sebagai bentuk kepuasan aktualisasi diri. Tidak jarang juga sebagian orang beranggapan bahwa menjadi penganut feminisme adalah dengan menjatuhkan pilihan orang lain dan memaksa seseorang untuk mengikuti mindset beserta lifestyle yang dianut.

Gebrakan-gebrakan tersebut yang sering memicu kontroversi, sehingga tak jarang ditemui komentar netizen di media sosial yang membenci gerakan ini. Menganut feminisme yang seharusnya dapat menyuarakan kesetaraan gender justru diubah menjadi menyuarakan ujaran kebencian pada suatu kelompok atau aspek sosial. Hal inilah yang perlu diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman pada gerakan ini.

Hal ini dapat menjadi catatan bagi konten kreator sebelum mengunggah postingan yang menurutnya benar tentang feminisme, perlu adanya membaca ulang jurnal atau artikel terkait kebenarannya. Media sosial adalah platform bagaikan tisu disulut api, yang dapat menyebar dan mendoktrin mindset seseorang secara cepat. Tak hanya itu saja, adanya kesalahan dalam paham feminisme dapat berpengaruh pada kehidupan suatu gender di masa mendatang.

Kesadaran untuk gerakan kesetaraan memang dibutuhkan demi kesejahteraan kehidupan tanpa ketimpangan gender yang menghalangi impian seseorang. Banyaknya hal yang masih menganut bahwa suatu pekerjaan hanya boleh dilakukan oleh gender A dan tidak boleh dilakukan oleh gender B, membuat gerakan ini masih tetap disuarakan hingga detik ini. Dalam paham feminisme, semua gender adalah sama, kita adalah sama-sama manusia yang juga sama-sama berdaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun