Mohon tunggu...
Pujakusuma
Pujakusuma Mohon Tunggu... Freelancer - Mari Berbagi

Ojo Dumeh, Tansah Eling Lan Waspodho...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Nasib Non Muslim di Kota Serang

15 April 2021   11:38 Diperbarui: 15 April 2021   11:43 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nahas benar nasib non muslim yang tinggal di Kota Serang, Provinsi Banten. Selama sebulan penuh, mereka dipastikan kesulitan mencari makan karena semua warung langganan dipaksa tutup selama ramadhan.

Melalui Surat Imbauan Bersama nomor 451.13/335 -Kesra/2021 tentang Peribadatan Bulan Ramadhan dan Idul Fitri, diatur bahwa restoran dan sejenisnya tutup pada pukul 04.30 WIB hingga 16.00 WIB. Kalau ada yang nekat buka, maka akan disanksi dengan hukuman penjara 3 bulan dan denda maksimal Rp50 juta.

Bagi yang sudah berumah tangga mungkin tak jadi masalah. Mereka bisa makan dari masakan istri bersama anak tercinta.

Tapi bagi jomblo atau pengantin muda, penutupan warung dan restoran adalah sebuah bencana. Masa iya, sebulan harus hidup dengan makan mie instan?.

Kita sebenarnya sudah ayem dengan dibubarkannya ormas Front Pembela Islam (FPI) oleh pemerintah. Karena dipastikan, Ramadhan tahun ini tak ada lagi aksi-aksi sweeping yang tak berarti.

Tapi kejadian di Serang Banten seperti ironi. Saat ormas dibubarkan, kini muncul institusi pemerintahan yang turun tangan.

Penerbitan peraturan larangan warung atau restoran buka selama ramadhan oleh Pemkot Serang, sama saja melegalkan sweeping di jalanan. Bedanya, dulu sweeping dilakukan pasukan berseragam putih, kini pasukan berseragam hijau.

Pemkot Serang sepertinya lupa, bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia. Sebuah Negara Kesatuan, yang memiliki enam agama dan aliran kepercayaan. Semuanya diakui, dan diberlakukan secara sama, tanpa boleh ada yang di diskriminasi.

Toleransi harus dijunjung tinggi. Rasa saling hormat-menghormati dan menghargai adalah kunci. Meski mayoritas muslim, tak boleh ada aturan yang memberatkan pemeluk agama atau aliran kepercayaan lainnya dalam kehidupan sehari-hari.

Pun saat pelaksanaan ibadah puasa. Selama bulan ramadhan, tak boleh ada larangan penutupan operasional warung dan restoran pada siang hari. Sebab diakui, banyak non muslim yang butuh makan dan minum. Ada juga muslim yang sedang berhalangan untuk melakukan ibadah puasa, juga butuh hal serupa.

Tak hanya orang yang cari makan. Penutupan warung dan restoran juga tentu merugikan pengelolanya. Mereka yang juga mencari rizki, terpaksa merugi karena kebijakan yang tak manusiawi.

Sejatinya, puasa adalah ibadah antara manusia dengan Tuhan. Bukan perkara mudah menahan lapar dan dahaga. Apalagi menahan amarah, dengki dan nafsu angkara murka lainnya. Tapi jika berhasil melampauainya, tentu ganjaran dari Tuhan tak terkira. Barang siapa menunaikan ibadah puasa di bulan itu, pasti akan meraih predikat sebagai orang yang bertakwa.

Kalau hanya godaan warung makan atau restoran yang buka menggoyahkan iman, tentu kita tergolong orang yang lemah. Layakkah kita mengharapkan surga?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun