Siang itu, seorang pria dengan kopiah batik datang ke Gedung Gradhika Bhakti Praja. Kompleks perkantoran di Pemprov Jateng. Ia datang seorang diri. Sambil membawa kotak berhias pita merah.
Di sekelilingnya, tampak sejumlah pria bertubuh tegap. Terlihat mengawasi gerak-geriknya. Pria itu sadar, bahwa kedatangannya menarik perhatian. Kisah masa lalunya membuat kehidupannya tak lepas dari pantauan.
Namun hal itu tak dirisaukan. Ia terus tersenyum dan menyapa pria-pria tegap itu. Seolah ingin mengatakan. Aku sekarang bukanlah orang yang berbahaya.
Sri Puji Mulyo Siswanto namanya. Mantan narapidana terorisme. Orang kepercayaan pelaku bom Bali, Noordin M Top dan Dr Azhari. Kisah kelamnya, membuat Puji harus mendekam di balik penjara. Bertahun-tahun lamanya. Sesaat ia hanyut dalam kenangan kelam masa itu.
Kenangannya buyar saat orang yang dinantikannya tiba. Sontak saja, ia berjalan cepat untuk menghampirinya. Kado berhias pita merah ia pegang erat.
"Lho mas, sudah lama? Njenengan sehat? Gimana kabar teman-teman," sapa pria yang dinantikannya. Ia adalah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Tanpa basa-basi, Puji langsung memberikan kotak berhias pita merah itu pada Ganjar. Tepat di hari itu, 28 Oktober. Ganjar berulang tahun.
"Ini kado ulang tahun buat bapak dari kami. Selain bentuk cinta dan terimakasih, kado ini adalah simbol bahwa kami telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi," kata Puji.
Bukan kue ulang tahun. Atau kado lain yang orang lain biasa berikan. Di dalam kotak berhias pita merah itu, tersimpan sebuah kain berwarna merah putih. Berukuran 40x60 cm, dengan jahitan yang sangat rapi.
Ganjar tersenyum menerima kado itu. Bukan karena kadonya. Tapi Ganjar melihat kesungguhan hati Puji untuk kembali mencintai NKRI. Sebuah sikap yang bertolak belakang dari pribadinya, bertahun-tahun lalu.
Puji adalah salah satu dari puluhan eks narapidana terorisme di Jawa Tengah. Membentuk sebuah perkumpulan bernama Yayasan Persadani, Puji dan teman-temannya mencoba mencari jalan pulang usai tersesat di jurang gelap terorisme.
Keputusan yang tidak mudah. Stigma negatif selalu membuat jengah. Namun tekad bulatnya menyingkirkan perasaan itu semua. Apalagi, dukungan penuh dari orang nomor satu di Jawa Tengah, Ganjar Pranowo membuat mereka lebih semangat melakukan proses reintegrasi sosial.
Ganjar memang pemimpin tegas. Paham-paham radikal dan terorisme ia tebas. Namun ketika ada eks napiter yang ingin kembali ke masyarakat, tangannya terbuka lebar untuk membantu.
Dengan gayanya yang santai, Ganjar memberikan visual-visual humanis tentang proses pendampingan pada eks napiter itu. Kadang diajak ngobrol dan ngevlog bersama. Kadang juga mendatangi tempat usahanya. Sambil guyon, tapi visual itu memiliki banyak arti.
Pernah Ganjar berkunjung ke peternakan lele yang dikembangkan Puji di Genuk Semarang. Ia juga mengunjungi rumah Yusuf, karib Puji di Sri Rejeki Semarang yang juga menggerakkan masyarakat sekitar untuk beternak lele. Di dua tempat itu, ia mengajak masyarakat melihat ketulusan mereka untuk kembali kepada NKRI.
Ganjar juga pernah bertemu dengan anak buah Noordin M Top lainnya, Joko Trihermanto alias Jack Harun. Mantan peracik bom itu, kini beralih profesi sebagai peracik soto di Solo. Sambil nyantai makan soto, Ganjar berusaha membuka pandangan positif masyarakat pada mereka.
Ganjar sadar betul, bahwa stigma negatif masyarakat pada eks napiter masih menghantui. Pandangan itu harus diubah. Memaafkan memang sulit. Tapi memusuhi mereka, justru membuat deradikalisasi akan terlilit.
Jadi Agen Deradikalisasi
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Itulah yang didapat Ganjar ketika mendampingi para eks napiter itu. Selain membuat mereka lebih tenang kembali pada lingkungan, Ganjar mendapat bonus yang tak terhingga.
Eks napiter itu menjadi agen deradikalisasi Ganjar. Dalam setiap kesempatan, mereka diajak berkeliling untuk sosialisasi bahayanya paham radikal dan terorisme pada masyarakat. Ke kampus, sekolah dan acara-acara resmi lain. Pengalaman dan cara mengatasi paham radikal, dengan gamblang mereka ceritakan agar masyarakat bisa mengantisipasinya.
Mulai dari kajian-kajian terselubung, sampai gempuran paham radikal melalui media sosial. Itulah pintu-pintu masuk penyebaran radikalisme dan terorisme di Indonesia. Tak hanya itu, pendidikan juga jadi incaran utama. Maka, kita harus waspada.
Banyak ilmu yang didapat Ganjar dari para eks teroris itu. Selain pintu masuk teroris yang diketahui untuk antisipasi, tujuan utama terorisme adalah menebarkan ketakutan. Maka tak salah, jika saat bom di Gereja Katedral Makassar meledak kemarin, Ganjar langsung meminta masyarakat tidak menyebarkan foto atau video yang mengerikan itu.
Penyebaran foto dan video merupakan tujuan teroris. Dengan visual yang tersebar, maka aksi mereka disorot banyak orang. Kengerian dan keganasannya terpampang. Membuat aksi teror benar-benar berhasil meneror. Orang jadi takut. Bahkan takut datang ke rumah ibadah atau sekadar ke luar rumah.
Teroris memang musuh bersama. Tak ada seorangpun yang membelanya. Kecuali, mereka-mereka yang telah dicuci otaknya.
Tapi kebencian bukanlah jalan. Semakin benci kita pada teroris atau keluarga teroris, akan meningkatkan daya juang mereka untuk berbuat lebih sadis.
Luka sakit karena tindakan mereka memang tak terperi. Tapi jika ada diantara mereka yang telah insyaf, tentu kita tak boleh terus membenci. Justru, mereka harus dirangkul kembali menjalani hidup baru pulang ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H