Kabar tak mengenakkan terdengar dari kelanjutan penelitian vaksin nusantara. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak memberikan izin uji klinis tahap kedua. Alasannya juga tak masuk akal, tak lebih dari sekadar administrasi belaka.
Kepala BPOM Penny K. Lukito mengatakan, izin uji klinis tak diberikan karena ada perbedaan dari lokasi penelitian vaksin yang diprakarsai mantan Menkes Terawan Agus Putranto itu dengan pihak yang mengajukan sebagai komite etik. Dalam berkas yang diterimanya, komite etik penelitian vaksin nusantara berasal dari RSPAD Gatot Soebroto Jakarta, padahal seharusnya mereka berasal dari RSUP dr Kariadi Semarang. Komite etik lanjut Penny, harus berada di lokasi penelitian vaksin sesuai kaidah klinis pengembangan vaksin.
Alasan ini tentu tak bisa diterima mentah begitu saja. Patut dipertanyakan, kenapa BPOM justru keluar dari kaidah utama dalam penelitian vaksin, yakni tentang efektivitas pengembangan uji coba tahap pertama. Untuk apa menyoroti soal administrasi, toh bukan itu tujuan pengembangan vaksinasi.
Ironisnya, akibat pernyataan Penny itu, penelitian vaksin nusantara dihentikan untuk sementara. Bisa jadi, vaksin nusantara akan bernasib seperti bayi hasil hubungan terlarang sepasang kekasi. Ia berakhir tragis, dengan dibunuh sebelum dilahirkan.
Publik tentu tercengang dengan kabar itu. Di saat ada anak bangsa yang semangat membuat terobosan baru agar tak tergantung pada dunia luar, harus dipatahkan semangatnya hanya karena alasan administrasi. Bahkan saat paparan di DPR RI, ada anggota legislatif yang meminta BPOM lebih terbuka dengan data-data yang ada.
Peristiwa ini sejatinya sudah saya prediksikan jauh-jauh hari. Seperti GeNose, vaksin nusantara karya anak bangsa ini akan jadi sasaran empuk serangan para mafia. Kehadiran mereka harus dihentikan, karena mengancam pendapatan mereka dari bisnis impor produk-produk kesehatan tanah air. Baca ini (https://www.kompasiana.com/pujakusuma/602fc57b8ede4854fc69fa82/seperti-genose-vaksin-nusantara-rawan-diserang).
Selain campur tangan para mafia, ada isu lain yang beredar sampai ke obrolan warung kopi. Bahwa terkendalanya pengembangan vaksin nusantara, dikarenakan ada sosok Terawan di dalamnya. Entah dosa apa yang dilakukan mantan Menkes ini pada Indonesia, sehingga ia harus dibenci dan dijegal inovasinya.
Padahal secara teori, vaksin nusantara yang dikembangkan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dengan RSUP dr Kariadi Semarang ini diyakini paling aman dibanding vaksin lainnya.
Vaksin nusantara merupakan vaksin personal berbasis sel dendritik (dendritic cell) dan diklaim sebagai yang pertama di Indonesia. Cara kerja vaksin ini adalah, calon penerima vaksin akan diambil darahnya, ambil sel darah putihnya dan sel dendritiknya.
Setelah itu, sel dendritik autolog dipaparkan dengan antigen protein S dari SARS-CoV-2. Sel dendritik yang telah mengenal antigen tersebut akan diinjeksikan ke dalam tubuh kembali. Di dalam tubuh, sel dendritik tersebut akan memicu sel-sel imun lain untuk membentuk sistem pertahanan memori terhadap SARS-CoV-2.