Mohon tunggu...
Pujakusuma
Pujakusuma Mohon Tunggu... Freelancer - Mari Berbagi

Ojo Dumeh, Tansah Eling Lan Waspodho...

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Tilang Elektronik, Nasib Pengusaha Rental, dan Renggangnya Hubungan Sosial Masyarakat

22 Januari 2021   08:20 Diperbarui: 23 Januari 2021   03:38 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kamera pengawas atau closed circuit television (CCTV) terpasang di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (23/1/2020). (ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA via kompas.com)

"Bapak saya tilang," kata polisi itu.

"Kenapa, salah saya apa. Bapak jangan seenaknya ya?" timpal si bapak dengan congkak.

"Bapak tadi melanggar lalulintas. Kenapa lampu merah bapak terjang saja," terang si polisi.

"Maaf, soalnya saya tadi tidak lihat ada polisi di sana," jawabnya.

"Mau saya tilang, atau saya bantu supaya lolos?" kata polisi itu lirih.

Pengendara itu paham, dan langsung mengeluarkan dompetnya.

***

"Stop, berhenti. Selamat pagi. Bisa saya lihat surat-suratnya," kata polisi pada seorang wanita dengan mobil mewahnya.

"Ada apa ya pak? Maaf saya sedang buru-buru," jawab wanita itu.

"Maaf ibu, ibu tadi melanggar aturan lalulintas. Tadi ibu melanggar rambu lalulintas dilarang putar balik. Bisa tunjukkan surat-suratnya," terang si polisi dengan sabar.

"Bapak jangan seenaknya ya, bapak tidak tahu siapa saya?saya istrinya pejabat," katanya.

"Tidak bisa bu, ibu harus tetap ditilang karena melanggar aturan," imbuh si polisi.

"Hei, bapak jangan main-main ya. Saya telponkan suami saya, bapak bisa dipecat," ketusnya.

***

Secuil percakapan antara polisi dan pengendara di atas mungkin sudah lumrah terjadi di Indonesia. Berapa banyak pelanggaran lalulintas, hanya karena melihat tak ada polisi yang berjaga. 

Atau, seberapa banyak percekcokan di jalanan antara polisi dan pelanggar lalulintas, dengan dalih istrinya, suaminya atau saudaranya pejabat.

Kisah-kisah jalanan di Indonesia memang tak pernah sepi dari hal-hal yang menarik. Banyak orang 'membenci' polisi lalulintas, karena kerap bersembunyi di tikungan untuk mengelabuhi pelanggar lalulintas. Atau berapa banyak kisah 'polisi nakal' yang tak segan meminta uang agar si pelanggar bisa lolos dari jeratan tilang.

Calon Kapolri baru, Komjen Listyo Sigit Prabowo sepertinya memahami kondisi itu. Ingin citra Polri lebih baik di mata masyarakat, ia ingin menghapuskan praktik-praktik tersebut. 

Memanfaatkan kemajuan elektronik, Listyo memiliki cita-cita menghapus tilang konvensional dan menggantinya dengan tilang elektronik.

Kabar ini tentu saja menggembirakan bagi masyarakat yang kerap menjadi korban 'kenakalan' polisi lalulintas di Indonesia. Mereka yang kerap ditilang karena suratnya tidak lengkap atau tidak memakai perlengkapan standar berkendara, langsung bersorak mendengar kabar itu.

Tapi, sebenarnya akan timbul banyak persoalan dengan penerapan program ini. Budaya tertib lalulintas hanya karena ada petugas, akan hilang dan pelanggaran semakin marak terjadi.

Belum lagi, sarana prasarana tilang elektronik ini tidaklah murah. Butuh miliaran bahkan triliunan rupiah, untuk melengkapi seluruh sudut jalanan di Indonesia dengan kamera pengawas CCTV. 

Belum lagi sarana sumber daya manusia yang 24 jam harus mengawasi layar monitor untuk mencatat pelanggar yang jumlahnya tentu tidaklah sedikit.

Sejatinya, penerapan tilang elektronik ini bukanlah program baru di tubuh Polri. Sejak 2018 lalu, program e-tilang atau tilang elektronik sudah digembor-gemborkan. Toh dua tahun berjalan dan menginjak tiga tahun, program itu sepertinya masih jalan di tempat.

Kepastian Hukum

Penulis pernah mengikuti Forum Group Discussion (FGD) tentang tilang elektronik ini. Dalam pembahasan itu, ada sejumlah persoalan yang belum terpecahkan.

Mekanisme tilang elektronik cukup rumit dalam penerapannya. Dilansir kompas.com pada artikel ini kendaraan yang terpantau CCTV melakukan pelanggaran, akan langsung terecord ke data kepolisian. 

Setelah itu, polisi mengirimkan surat konfirmasi tentang pelanggaran lalulintas itu kepada pemilik kendaraan yang datanya sudah tercantum dalam database kepolisian. 

Barulah setelah konfirmasi itu, maka pemilik kendaraan melakukan klarifikasi dan jika memang benar melanggar, maka pemilik kendaraan harus membayarkan denda tilang maksimal 7 hari setelah konfirmasi. Lebih dari itu, STNK kendaraan diblokir.

Pertanyaannya, bagaimana kalau kendaraan itu masih atas nama orang lain? Bagaimana jika saat melanggar, kendaraan itu sedang dipakai orang lain? Mengingat, banyak pengusaha rental di Indonesia yang biasa merentalkan kendaraannya pada orang lain. 

Belum lagi, baiknya orang Indonesia yang sering meminjamkan kendaraan pada teman, kerabat atau tetangga. Saat proses itu, ternyata yang memakai kendaraan rental itu atau yang meminjam kendaraan ternyata melanggar lalulintas. Apakah yang bersalah pengusaha rental dan pemilik kendaraan?

Aspek kepastian hukum inilah yang jadi persoalan. Siapa yang akan dihukum atas pelanggaran lalulintas itu? Mengingat CCTV tidak bisa secara jelas merekam siapa pengendara yang melakukan pelanggaran. 

Mungkin yang paling mudah dan penulis yakin yang digunakan petugas adalah plat nomor kendaraan yang melanggar. 

Padahal dari segi subyek hukum menurut Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, dalam KUHP yang dapat menjadi subyek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum.

Jadi jelas, yang pantas dihukum adalah orang yang melakukan pelanggaran hukum. Sementara dalam tilang elektronik, asas ini sulit untuk dibuktikan.

Jika benar pelanggaran hanya dari plat nomor kendaraan, maka seperti judul yang penulis utarakan di atas, pengusaha rental akan menangis dengan kebijakan ini. 

Ia tak mungkin mencari siapa orang yang melakukan pelanggaran lalulintas saat menggunakan jasa rentalnya. Kalau pengusaha yang harus membayar semua itu, rugi sudah.

Belum lagi urusan sosial dalam masyarakat. Dengan adanya peraturan itu, mungkin banyak orang berpikir ulang untuk meminjamkan kendaraanya pada teman, kerabat atau tetangga. Takut juga, jangan-jangan saat dipinjami, mereka melanggar lalulintas di jalanan. Dan akhirnya, pemilik kendaraan sendiri yang harus membayarkan dendanya.

Yah, kebijakan tilang elektronik ini memiliki plus minus tersendiri. Setidaknya, ulasan penulis ini adalah keresahan semata, yang sejatinya pasti kepolisian sudah memiliki jalan keluarnya.

Tapi yang harus diingat, merubah tilang konvensional ke tilang elektronik tidak hanya merubah cara kerja dan peralatannya. Tapi ini adalah merubah budaya dan kebiasaan masyarakat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun