Untuk soal ini, kita kalah jauh dibanding negara tetangga semisal Singapura, Malaysia bahkan Vietnam. Kisruh Amerika dengan Tiongkok misalnya, banyak perusahaan yang memilih memindahkan pabriknya ke Vietnam dibanding Indonesia. Bahkan kalau kondisinya tetap seperti saat ini, bisa saja Indonesia semakin kalah dari negara-negara menengah lain, semacam Kamboja atau Myanmar.
Disinilah kenapa negara menganggap penting melakukan terobosan dengan membuat Undang-Undang Ciptakerja. Ia muncul sebagai jurus andalan, untuk memangkas birokrasi 'tak penting' yang menghambat potensi investasi. Dengan kemudahan perizinan namun tidak mengabaikan aspek lain semisal lingkungan, Undang-Undang Ciptakerja ini bisa menjadi nilai tawar negara pada para konglomerat nasional dan internasional.
Berarti, negara hanya membela konglomerat dan mendukung para kapitalis?
Memang benar! Undang-undang Ciptakerja ini bisa dikatakan sebagai karpet merah pada para pemegang modal. Tapi, dengan masuknya para konglomerat untuk berinvestasi, maka akan banyak bermunculan lapangan kerja. Namanya saja Cipta Kerja, ya pasti tujuan utama Undang-Undang ini untuk menciptakan lapangan kerja baru dong.
Bayangkan saja, kalau ada satu saja perusahaan besar tertarik investasi ke Indonesia setelah adanya kemudahan ini, akan ada berapa ribu masyarakat yang mendapatkan pekerjaan. Itu baru satu, kalau ada 100, 1000 bahkan sejuta investor, tak terbayang bukan?
Lalu apa yang salah? Ketika banyak pengangguran di Indonesia, masyarakat teriak pada negara untuk menciptakan lapangan kerja. Ketika lapangan kerja dibuat dengan memudahkan investasi melalui Omnibus Law, pemerintah dinilai mendukung oligarki. Aneh!.
Undang-undang Ciptakerja ini mungkin memang ditolak sejumlah buruh. Setidaknya, para petinggi organisasi buruh sering bilang, ada 2 juta buruh yang akan turun ke jalan menolak undang-undang ini. Jumlah ini sangat kecil, dibanding angka pengangguran dan angka pencari kerja di Indonesia saat ini.
Jangan lupa, di Indonesia ada 6,88 juta orang menganggur pada bulan Februari 2020. Belum lagi, jumlah angkatan kerja di Indonesia terus naik tiap tahunnya. Data BPS mencatat, ada 137,91 juta orang angkatan kerja pada Februari 2020. Artinya, lebih banyak orang yang butuh kerja daripada orang yang sudah bekerja saat ini.
Dibanding peserta yang demo, jumlah gerombolan para pencari kerja saat ada lowongan kerja lebih banyak. Setiap ada bursa lowongan kerja, ribuan bahkan jutaan orang rela antre berdesak-desakan demi mendapat kesempatan. Bagi mereka, kerja apa saja dilakukan, yang penting halal. Keahlian dan ijazah yang dimiliki, rela ditinggalkan demi pekerjaan yang ditawarkan. Maka bukan hal yang aneh di Indonesia, lulusan IT yang kerjanya hanya jadi office boy.
Jumlah pengangguran semakin tinggi, angkatan kerja semakin meningkat. Apakah negara hanya diam saja? Belum lagi bonus demografi yang diramalkan akan terjadi sebentar lagi, tentu harus disikapi dan disiapkan secara matang. Kalau tidak, maka akan banyak kekacauan yang lebih besar.
Undang-Undang Ciptakerja muncul untuk menjawab persoalan-persoalan itu. Meskipun awalnya mengerikan, namun ketika dipahami seksama, peraturan ini memberikan secercah harapan.