Mohon tunggu...
PUJA ADITIA
PUJA ADITIA Mohon Tunggu... lainnya -

Memperbaharui Pengetahuan lewat membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolahku (yang) Bermasalah

16 September 2013   13:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:49 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal di negara Indonesia ini memberikan pengaruh dan perhatian yang besar di mata masyarakat. Sekolah adalah wadah utama untuk memperoleh pelayanan pendidikan bagi anak-anak bangsa di negeri ini. Begitu besar peran dan fungsi sekolah, karena lewat sekolahlah masa depan anak bangsa ini dipertaruhkan. Di sekolah anak-anak menjalankan proses pendidikan dan pengajaran secara berjenjang untuk bekal mereka dimasa yang akan datang agar mereka menjadi insan yang beriman bertakwa, cerdas, mandiri, kreatif, unggul, bermanfaat bagi bangsa dan negara.

Berbicara tentang sekolah, di era globalisasi ini sudah banyak sekolah-sekolah yang berlebihan dalam menentukan waktu pembelajaran peserta didik. Data yang penulis himpun dari UNESCOmenjelaskan bahwa jam belajar peserta didik di sekolah yang terdapat di Indonesia adalah 1400 jam pelajaran dihitung 200 hari efektifsetiap tahunnya. Padahal UNESCO telah menetapkan jam belajar efektif sekolah adalah 800 jam pelajaran setiap tahunnya. Artinya, setiap hari jam belajar peserta didik di sekolah hanya 4 jam pelajaran. Di Indonesia adalah 7 jam pelajaran bahkan bisa lebih daripada itu untuk sekolah tertentu. Standar isi dalam UU Sisdiknas telah menjelaskan batas rata-rata jam pelajaran disekolah, tetapi dalam implementasinya banyak yang menyimpang. Bila dilihat dari kacamata pendidikan yang pada hakikatnya membebaskan peserta didik untuk dapat mengenali diri dan potensi dirinya, hal tersebut menjadi berlebihan dan tidak mendidik. Di katakan demikian karena begitu banyaknya beban belajar yang wajib dituntaskan peserta didik dari sekian waktu yang telah ditentukan dan tidak dapat ditolak, tanpa melihat dari diri peserta didik apakah mampu dan sesuai dengan potensi diri dan kompetensinya dari jumlah jam pelajaran tersebut. Dan apakah benar dengan jam pelajaran yang padat tersebut dapat meningkatkan kompetensi peserta didik secara signifikan. Nampaknya hal tersebut perlu dibuktikan lewat sebuah penelitian. Memang sekolah tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas terjadinya hal ini. Sekolah bisa seperti itu, salah satunya diakibatkan sekolah mengemban tugas untuk mengimplementasikan isi kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Perlu dikaji dan ditelaah secara mendalam bahwa kurikulum yang digunakan sekarang bukan berasal seutuhnya dari sekolah, tetapi masih berpusat pada pemerintah. Isi kurikulum tidak sesuai dengan namanya. Padahal sekolah memiliki ciri khas dan karakter masing-masing, kualitas yang berbeda-beda dan tidak dapat di samaratakan karena fakta hari ini pendidikan di Indonesia belum merata dan dapat dinikmati oleh setiap anak bangsa.

Sebuah Sekolah pasti ingin agar semua peserta didiknya dapat lulus dengan nilai yang baik pada saat ini. Sekolah tidak menginginkan adanya peserta didik yang gagal lulus karena nilainya. Hal tersebut timbul dikarenakan adanya sebuah ujian untuk menentukan peserta didik itu lulus atau tidak yang dinamakan Ujian Nasional (UN). Ujian Nasional menjadi ujian tersendiri yang ditetapkan pemerintah dan harus dilaksanakan di seluruh sekolah yang ada di Indonesia dengan aturan mainnya untuk menentukan kelulusan peserta didik. Dengan diselenggarakannya UN, paradigma tentang sekolah di mata penulis bergeser jauh hingga muncul anekdot“belajar di sekolah hanya untuk mengejar nilai, bisa lulus ujian, dan mendapat ijazah semata”. Kita lihat di sekolah-sekolah bagaimana kelas Tiga (bila sekarang kelas IX untuk SMP dan Kelas XII untuk SMA Sederajat) disibukkan oleh guru-gurunya untuk mengerjakan soal-soal. Memang kelihatannya elegan karena dibalut dengan istilah Pengayaan atau Pendalaman Materi, Try Out, Pra-UN dan sebagainya. Tetapi, bila dilihat apakah hal tersebut dapat memberikan perubahan tingkah laku peserta didik. Jawabannya tentu saja tidak karena hal tersebut dapat membunuh kreatifitas peserta didik secara terencana. Pada dasarnya peserta didik memiliki kebebasan belajar sesuai dengan potensi yang dimiliki dan tugas guru adalah memunculkan potensi tersebut dan menjadi pembimbing yang mengarahkan peserta didiknya untuk mencapai tujuan Pendidikan nasional sesuai dengan yang diamanahkan undang-undang.

Disisi lain, diselenggarakannya UN memberikan peluang untuk lahirnya lembaga pendidikan yang disebut Bimbingan Belajar (Bimbel). Kebutuhan masyarakat yang menganggap bahwa perlu adanya tambahan jam belajar di luar sekolah yang memunculkan konsep bimbel ini. Apa yang ditawarkan oleh Bimbel adalah memberikan peluang lulus mata pelajaran yang di Ujian Nasionalkan lebih memuaskan dan dapat menjamin peserta didik setelah lulus sekolah dapat lolos seleksi masuk SMA Unggulan ataupun Perguruan Tinggi Negeri yang diinginkan. Banyak orang tua peserta didik yang ‘terhipnotis’ dan rela memasukkan anaknya ke Bimbel. Bila dikaji, jam belajar di sekolah sudah demikian padatnya, masih ditambah jam pelajaran di bimbel membuat jam belajar peserta didik berlebih dan adanya juga tambahan biaya. Hal ini tidak baik bagi perkembangan anak tersebut, karena hanya konsep-konsep yang diberikan dan dipelajari tanpa dikaitkan dengan realitas sosial, dan dapat menjadikan anak jauh dari kehidupan bersosial dengan masyarakat, mempersempit ruang bermain anak dan anak tidak dibiasakan untuk belajar mandiri. Selain itu, ketidakpercayaan orang tua terhadap sekolah sebagai tempat dalam mendidik dan mengajar anaknya menjadi ironi tersendiri bagi keberadaan sekolah. Sekolah bisa dikatakan tidak menjamin kualitas dan kompetensi peserta didiknya secara tidak langsung. Bisa muncul sebuah pernyataan suatu saat nanti bahwa untuk apa sekolah, bila anak bisa belajar tanpa harus berada di sekolah dan apa hebatnya sekolah karena yang berbeda adalah sekolah ada ijazah dengan nilai-nilai yang di akui oleh pemerintah.

Akhir tulisan ini, Bagi rekan-rekan calon guru atau guru marilah bersama-sama kita berusaha mengembalikan fungsi dan peran sekolah yang sudah jauh dari peruntukkannya dengan dilandasi nilai-nilai pendidikan dan kemanusiaan. Sudahlah kita terpuruk oleh keadaan pendidikan bangsa ini. Jangan selalu melulu menyalahkan pemerintah tetapi kita tidak berkaca diri. Pendidik yang baik adalah ia mampu untuk menilai keberadaan dirinya sendiri dari apa yang diperjuangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun