Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

"Cry it Out Method", Membiarkan Anak Menangis yang Bisa Berujung Fatal

20 Januari 2023   15:38 Diperbarui: 21 Januari 2023   08:12 1175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak menangis (Shutterstock/PAULAPHOTO)

"To be a present mother, a woman must be able set aside her own needs and then gradually reclaim what is important to her as her child matures and needs her less."

 Erica Komisar

Pernah gak sih kamu mengalami ketika masih kecil atau menemui kejadian ketika orangtua membiarkan anaknya menangis tapi hanya membiarkan tanpa melakukan apapun? Kalau kamu pernah mengalami, apa kira-kira yang kamu rasakan saat itu? Aku sendiri, seingatku belum pernah mengalami ini. Hanya, aku berulang kali bertemu dengan kejadian serupa.

Terakhir kali, aku menemui kejadian ini di dalam kereta saat aku perjalanan dari Malang ke Jember bulan Oktober lalu. Saat itu, karena aku naik kereta ekonomi, jadi posisi tempat duduknya saling berhadapan. Di depanku ada seorang ibu dengan anaknya yang masih balita, kalau tidak salah 1 tahun, karena aku memang bertanya kepada Si Ibu saat itu. 

Sepanjang perjalanan, aku sesekali memperhatikan Si Ibu sibuk dengan gawainya, dan anaknya juga sama, asik menonton video YouTube tapi dengan gawai yang berbeda. Ketika sampai di stasiun Bangil, Si Ibu akhirnya mengambil paksa gawai yang dari awal dipegang oleh anak karena dayanya habis. Sontak, Si Anak menjerit menangis.

Saat itu terjadi, aku masih mencoba melihat hal apa yang Si Ibu lakukan setelahnya. Bukan menenangkan atau memarahi anak, tapi justru Si Ibu malah memejamkan mata, seolah terganggu dan tidak peduli dengan kondisi anak yang menangis menjerit-jerit. Melihat situasi itu, aku coba menenangkan Si Anak dengan mengalihkan perhatiannya, aku lebih kaget ketika si Ibu berkata seperti ini kepadaku, "Udah Mbak, dibiarkan saja, nanti juga kalo udah capek nangis bakal berhenti sendiri, anaknya juga bakal tidur." 

Jujur, mendengar hal itu cukup membuat hatiku sakit sih. Membiarkan anak menangis di usia masih 1 tahun tanpa diberikan respon, sama sekali tidak akan membuat ia merasa baik. Mengapa? Aku pernah membaca di buku "Being There: Why Prioritizing Motherhood in the First Three Years Matters" dari Erica Komisar, kalau membiarkan anak menangis atau orangtua menggunakan metode "Cry it Out" itu justru menyakiti anak. Well, kali ini aku hendak membahas berkenaan dengan ini. So, kalau kamu penasaran dengan ini maka aku sarankan kamu untuk membaca tulisanku hingga selesai agar kamu mendapatkan insight atas apa yang aku bagikan.

Erica Komisar berpendapat kalau menjadi ibu pada tiga tahun pertama itu sangat penting bahkan harus diprioritaskan. Hal ini karena tiga tahun pertama adalah masa saat anak memang perlu pendampingan untuk perkembangannya khususnya pembangunan kelekatan antara orangtua dengan anak.

Anak yang masih berusia kurang dari 1 tahun normalnya memang baru mulai belajar bicara dan mengungkapkan perasaanya. Namun, bukan berarti tidak ada mereka yang menggunakan cara menangis karena bingung harus menggunakan cara yang tepat untuk menarik perhatian orangtuanya dan sedang membutuhkan untuk ditenangkan.  

Aku yakin, di luar sana masih banyak orangtua yang tidak sadar atau memang belum teredukasi kalau membiarkan anak menangis agar mereka lelah dan akhirnya tertidur justru menyakiti dan berbahaya bagi anak khususnya anak yang masih berusia 0-6 bulan pertama hingga apabila hal ini terjadi dalam jangka panjang.

Sumber: Suara.com
Sumber: Suara.com

Ada banyak hal yang dapat terjadi dan berbahaya apabila orangtua membiarkan anak menangis. Namun, dalam bukunya, Erica menjelaskan ada dua hal yang paling umum dapat terjadi. Pertama, anak akan mengalami depresi dan merasa jauh secara emosional dengan sosok orangtuanya. 

Kita sepakat, kalau anak atau kita sebut saja bayi, ketika mereka kesulitan atau kesusahan maka hal pertama yang akan mereka lakukan adalah menangis. Ketika dengan menangis biasa tidak ada respon dari orangtua, biasanya mereka akan semakin menangis lebih keras hingga menjerit. Ketika dengan menjerit tetap tidak membuahkan hasil, maka bayi biasanya akan terdiam.

Banyak dari orangtua yang percaya kalau diamnya bayi tadi adalah bermakna mereka telah berhasil membuat bayi mereka mengatasi rasa frustasi lalu memilih untuk tidur. Tetapi sebenarnya, hal ini sama sekali keliru. Hal yang terjadi sebenarnya adalah bayi telah menyerah dan menyadari kalau ibu atau orangtuanya tidak ada di situ. Bahkan, kalau hal ini terjadi di kereta seperti yang aku alami dan tidak ada orang lain yang berinisiatif untuk menenangkan mereka, maka bayi itu akan beranggapan kalau tidak ada sama sekali orang di lingkungan itu yang peduli dengan keadaan dan perasaan mereka lalu berusaha untuk menghibur baik pada saat itu atau akan terjadi di masa depan.

Hal ini akan terlihat pada perubahan sikap bayi setelahnya di mana bayi biasanya akan sama sekali seolah tidak memiliki kelekatan dengan orangtua dan memilih untuk bersikap defensif. Hal ini terjadi karena bayi atau anak secara naluriah akan beranggapan bahwa lingkungannya tidak akan memenuhi kebutuhan mereka dan mereka harus memenuhi kebutuhan mereka sendiri. 

Tentu saja, aku yang mengetahui hal ini, ketika menghadapi situasi sebenarnya di depanku saat itu tidak ingin hal itu terjadi. Karena bagaimanapun juga, keamanan secara emosional adalah dasar dari semua hal baik yang akan bayi atau anak lakukan sepanjang hidup mereka. Sederhananya, jangan sampai terjadi ketika anak telah dewasa dan sama sekali tidak peduli dengan orangtuanya karena memiliki luka batin ketika mereka kecil merasa orangtuanya tidak pernah ada dan peduli dengan mereka.

Hal kedua yang bisa terjadi adalah anak biasanya akan menjadi sangat waspada bahkan cenderung cemas. Maksudnya, ketika orangtua meninggalkan bayi atau anaknya dalam kesusahan tanpa berusaha untuk mengatasinya, maka yang terjadi dalam diri anak dari sisi kesehatan adalah otak kanan anak juga tidak mampu mengatasinya. 

Ketika hal itu terjadi, otak akan menghasilkan kortisol atau hormon stres. Kortisol sendiri bukan sesuatu yang sehat baik secara fisik atau emosional. Jika  bayi mengalami kortisol secara berlebihan, maka mereka akan mengalami apa yang kita sebut dengan keadaan cemas di mana sebenarnya mereka berharap bahwa lingkungannya tidak akan memenuhi kebutuhan mereka dan berakibat anak akan ketakutan atau dalam beberapa kasus anak menjadi lebih hiperaktif.

Kembali lagi ke responku setelah Ibu di kereta tadi mengatakan kalau aku tidak perlu menghibur atau mengalihkan perhatian anak agar anak diam, atau aku diminta untuk membiarkan anak menangis saja saat itu, aku spontan memang langsung berhenti tapi tanganku tetap aku gunakan untuk mengusap kepala dan sesekali punggung anak setidaknya aku tidak menenangkan anak hanya dengan verbal.

Sebenarnya, saat itu aku juga ingin menangis. Bukan karena perkataan Si Ibu yang melarang aku untuk menenangkan Si Anak, tapi melihat Si Anak yang sambil menangis terus menatap ke arahku padahal aku tidak mengajaknya bicara. Aku seolah ditamparkan realita bahwa benar adanya pendidikan menjadi orangtua perlu sesederhana bagaimana cara yang harus dilakukan ketika anak menangis masih banyak yang mengetahui di luar sana.

Setelah aku rasa Si Anak tenang, akhirnya ia diam. Ketika diam, aku mencoba untuk mengajaknya mengobrol dan menceritakan sebuah dongeng sederhana. Aku mencoba untuk izin ke Si Ibu apa boleh mengajak anaknya mengobrol, katanya tidak apa karena Si Anak sudah tak lagi menangis. 

Perasaanku membaik ketika melihat respon Si Anak yang begitu hangat menanggapi interaksi yang aku lakukan di mana puncaknya ia dapat kembali tertawa bahkan sama sekali lupa kalau alasan mereka menangis di awal adalah karena gawainya diambil paksa. Setelah beberapa saat, Si Anak akhirnya tertidur, mungkin karena memang sudah kelelahan.

Ketika hal itu terjadi, aku mencoba untuk mengajak Si Ibu mengobrol dan sedikit berbagi tentang apa yang aku ketahui tentang bagaimana seharusnya dilakukan ketika anak menangis. Memang, aku belum memiliki pengalaman menerapkan pada anak sendiri karena memang belum berkeluarga. 

Namun, aku merasa memiliki untuk mengedukasi atau memberi tahu dari sedikit yang aku ketahui tadi. Hal lain yang cukup aku syukuri adalah, Si ibu tidak memberikan respon defensif justru menerima apa yang aku sampaikan. Karena memang, aku berusaha sebisa mungkin untuk bersikap atau berkata seolah tanpa menggurui.

Terakhir, aku hanya ingin berpesan terutama kepada para orangtua yang baru memiliki anak atau kamu yang masih sama sepertiku belum berkeluarga atau memiliki anak, perlu untuk mengetahui hal ini. Metode "Cry it Out" atau membiarkan anak menangis jangan pernah sekali-kali kamu gunakan.

Daripada membiarkan, akan lebih baik kalau orangtua memberikan respon perhatian kalau tidak bisa secara verbal setidaknya non-verbal sehingga anak merasa kalau ada orangtua atau seseorang yang peduli dengan kondisi mereka. Melakukan hal ini bukan kemudian memanjakan anak. Melatih kemandirian pada anak agar tidak bergantung kepada orangtua ada waktunya sendiri dan kurang cocok dilakukan kepada anak yang masih berusaha kurang dari 3 tahun.  Semoga tulisan ini bermanfaat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun