"All feelings can be accepted, but certain actions must be limited"
-Adele Faber & Elaine Mazlish
Beberapa kali ketika berselancar di media sosial, aku pernah menemui beberapa konten dimana orang tua khususnya mereka yang memang menikah muda sering mengalami kondisi dimana terluka, bingung, hingga bahkan depresi karena merasa gagal menjadi orang tua hanya karena tidak memahami sepenuhnya bagaimana cara agar anak mereka dapat diatur dan mau diajak bicara. Banyak dari temanku yang sudah berkeluarga dan punya anak juga, dimana tak jarang mereka membagikan keresahan batin mereka seiring dengan pertambahan umur anak dimana keluhannya rata-rata sama seperti ini.
"Duh Puj, aku pusing anakku lo makin nakal, susah diatur sekarang". Ketika mendengar hal itu, respon pertamaku biasanya, "Ya wajar, anakmu lo masih umur balita, kalo udah jadi remaja puber gitu mungkin baru bisa kamu atur-atur." Respon setelahnya, biasanya selalu saja beberapa temanku denial dengan hal itu.
Dari sana aku sadar bahwa saat ini memang sudah semakin lazim orang tua akan merasa kesulitan menghadapi perasaan negatif diri sendiri. Terkadang ketika orang tua marah, tidak banyak dari mereka yang memiliki kemampuan untuk mengontrol dan justru melampiaskan amarah ke anak dengan harapan setelahnya anak akan mendengarkan. Padahal, dengan begitu justru akan membuat batin anak terluka dan kelekatan keduanya akan renggang.Â
Aku sempat bertanya-tanya awalnya, lantas gimana caranya agar setiap orang tua ketika berbicara anak akan mendengarkan atau bagaimana caranya agar anak tidak takut berbicara mengekspresikan diri ke orang tua? Dalam proses pencarian jawaban atas itu, aku menemukan salah satu buku yang sudah selesai aku baca yaitu berjudul "How to Talks So Kids Will Listen & Listen So Kids Will Talk" karya Adele Faber & Elaine Mazlish. So, dalam tulisan kali ini aku hendak membagikan hasil bacaanku khususnya teruntuk kamu yang berada di posisi serupa. Aku sarankan kamu untuk membaca tulisan ini hingga selesai agar kamu mendapatkan insight atas apa yang aku bagikan.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa terdapat lima poin penting yang perlu untuk orang tua lakukan agar dapat membuat anak mendengarkan ketika orang tua berbicara dan anak mau berbicara saat orang tua mendengarkan.Â
Pertama, membantu anak menghadapi perasaan mereka. Aku yakin setiap orang tua pasti menemui anak mengalami kondisi dimana anak mengungkapkan kemarahan, frustasi, dan kekecewaan.Â
Misalnya, anak yang ketika bermain lego tiba-tiba membuang legonya karena dirasa terlalu sulit bagi mereka, anak yang mengeluh capek karena seharian belajar di sekolah dan pulang sekolah masih padat dengan agenda les dan lain sebagainya.Â
Orangtua jangan merespon, "Loh Dek, masak main lego aja marah-marah, sabar dikit kan bisa!", "Kamu loh kak, belajar aja udah ngeluh capek, Mama sama Papa loh bekerja seharian enggak pernah ngeluh capek" dan respon negatif lainnya. Padahal, sebenarnya ya kamu sebagai orang tua juga sering mengeluh, hanya saja memang tidak ditampakkan di depan anak.Â
Orang tua jarang yang sadar bahwa perasaan, itu berpengaruh terhadap perilaku atau perbuatan, termasuk juga pada anak. Ketika kamu sebagai orang tua menyangkal perasaan anak, itu dapat memperburuk masalah. Hal itu mengajarkan anak untuk tidak mengetahui apa perasaan mereka dan tidak mempercayai mereka.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan orang tua misalnya pada kasus anak yang sudah beberapa kali bolos les tanpa orang tua tahu karena dia merasa lelah untuk belajar seharian penuh misalnya. Nah, untuk dapat mengatasi hal ini, cara pertama yaitu dengarkan anak dengan tenang dan penuh perhatian, aku perasaan anak dengan kata-kata karena terkadang anak itu sudah memiliki solusi terhadap masalah mereka. Hanya saja yang mereka cari dengan bercerita ke orang tua adalah validasi bahwa orang tua memiliki perasaan atau pikiran yang sama dengan mereka.Â
Cara selanjutnya yaitu beri label terhadap perasaan anak, seperti "Wah, Mama gak nyangka Kakak mengalami hal seperti itu tapi Kakak kuat"Â dan yang terakhir adalah beri anak keinginannya dalam fantasi. Misalnya, "Duh Kak, Mama harap agar dating waktu liburan agar bisa bawa Kakak jalan-jalan ke Dufan!".Â
Dengan melakukan beberapa cara diatas, anak tidak akan melihat orang tua sebagai bagian dari masalah yang mereka lakukan. Namun yang perlu diingat adalah memang semua perasaan anak dapat diterima, tetapi pada tindakan tertentu harus dibatasi.
Lantas, bagaimana kalau anak ternyata sudah melewati batas, apa yang bisa orang tua lakukan? Cara kedua yaitu alternatif untuk hukuman. Hukuman disini jangan dimaknai sebagai hukuman yang rekat dengan kemarahan atau menyerang fisik yang bisa melukai karakter anak.Â
Namun, terdapat beberapa alternatif hukuman yang bisa digunakan oleh orang tua diantaranya Pertama, mengekspresikan perasaanmu yang kuat tetapi tanpa menyerang karakter anak. Misalnya, "Mama sebenarnya sedih dan marah karena Kakak berani bolos les tanpa bilang ke Mama.".Â
Kedua, nyatakan harapan kamu, seperti "Mama pengennya, kalau Kakak emang capek belajar di hari itu, Kakak bilang dulu ke Mama. Biar Mama tahu dan guru les Kakak tidak khawatir karena mengira terjadi sesuatu di jalan yang membuat Kakak absen les hari ini". Ketiga, tunjukkan pada anak cara menebus kesalahan. Misalnya, "Yang perlu untuk Kakak lakukan adalah meminta maaf ke orang-orang yang sudah Kakak buat khawatir hari ini, dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi". Keempat, tawarkan pilihan.
 Misalnya, "Oke, Kakak mau pulang sekolah les seperti biasa dan kalau gak masuk izin ke guru dan Mama ditambah dengan mendapatkan fasilitas gadget dari Mama atau tidak les tapi harus belajar mandiri di rumah. Nanti Mama beri kesempatan melanggar 3 kali, kalau lebih fasilitasnya Mama ambil kembali".Â
Cara selanjutnya adalah ambil tindakan. Maksudnya, ketika anak sudah menggunakan hak istimewa sesuai dengan kesepakatan yang dibangun diawal, maka orang tua dapat mengambil fasilitas gadget yang diberikan kepada anak untuk beberapa saat.Â
Terakhir, pemecahan masalah. Hal ini mencakup bagaimana orang tua memikirkan solusi bersama dengan anak agar mendapatkan kompromi. Misalnya, anak setuju untuk tidak les tapi belajar di rumah setiap malam bersama dengan orang tua, jadi dia tidak belajar sendiri.
Cara ketiga dan keempat yang perlu untuk dilakukan orang tua adalah mendorong kemadirian dan memuji anak. Ada catatan berkenaan dengan hal ini, yaitu orang tua perlu untuk menjaga keseimbangan antara mendorong kemandirian dengan pemberian pujian.Â
Cara yang paling efektif untuk dapat mendorong anak dapat mandiri adalah dengan selalu membiasakan anak dengan berbagai pilihan dimana mereka pada akhirnya berani untuk memilih dan menentukan. Aku ingat sekali, cara pengasuhan hal ini juga yang diterapkan oleh orang tua Maudy Ayunda terhadap anak-anaknya.
Pilihan ini pun sederhana sekali, misal "Kakak hari ini mau bermain lego di kamar atau bola di luar rumah?" dan tanyakan alasan mengapa mereka memilih hal itu. Ketika berada di posisi anak membutuhkan orang tua padahal sebenarnya mereka bisa, seperti membuka kotak lego, orang tua sebisa mungkin jangan langsung membukakan kotak lego kepada mereka.Â
Tapi beri tahu saja caranya seperti, "Kakak lihat itu di pinggir kotak ada bagian yang warna kuning? Nah kakak coba tarik ke atas, nanti kotaknya bisa terbuka". Perlahan tapi pasti, anak pasti akan bisa membuka kotak mainan dan mengeluarkan lego dari sana. Â
Berkenaan dengan spektrum "pujian", ketika kita terlalu sering memuji anak maka garis kepercayaan diri anak akan terlampaui dan berakhir pada perasaan anak yang berhak. Misalkan pada kasus anak yang menunjukkan karya legonya setelah bermain namun tidak membereskan kembali mainan yang lain ke tempat semula.Â
Beberapa cara untuk dapat membangun keseimbangan antara mendorong kemandirian dan memuji anak, dalam buku ini dijelaskan, Pertama, jelaskan apa yang kamu rasakan. Misal, "Mama senang Kakak bisa membuat lego yang unik, bagaimana cara Kakak merangkainya?". Â
Kemudian, orang tua sebaiknya fokus pada pekerjaan dan usaha anak, bukan sifat mereka. Hal ini memungkinkan anak untuk menarik kesimpulan atas bakat mereka, alih-alih orang tua membatasi anak dengan memberitahu siapa dan apa mereka.
Cara terakhir yang dijelaskan dalam buku ini yaitu membebaskan anak dari bermain peran. Bentuknya adalah orang tua perlu berhenti untuk memberikan label terhadap masing-masing anak seperti, "Kakak loh nakal!", "Adek loh cengeng!". Karena ketika hal ini dilakukan dengan berulang, maka seorang anak akan mulai melihat diri mereka sebagai seseorang yang nakal dan cengeng dan merasa label itu adalah peran mereka dalam kehidupan.Â
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar anak dapat bebas dari bermain peran ini. Diantaranya dengan mencari kesempatan untuk menunjukkan kepada anak gambaran baru dirinya, menempatkan anak dalam situasi dimana mereka dapat melihat diri mereka secara berbeda yang berada di sisi positif, membiarkan anak mendengarkan orang tua untuk mengatakan sesuatu yang positif tentang mereka, modelkan perilaku yang ingin orang tua lihat dan orang tua perlu untuk menjadi gudang dalam setiap momen spesial anak.Â
Apabila anak bertindak seperti pada label negatif yang lama, maka orang tua perlu untuk mengungkapkan perasaan dan harapan yang diinginkan untuk dilakukan oleh anak dengan cara yang baik.
Kesimpulan terakhir yang aku ambil dari buku ini adalah mengutip dari perkataan Ayah dalam buku dimana untuk dapat mengubah peran dimana orang tua akhirnya dapat berbicara dan anak mendengarkan begitupun anak dapat berbicara dan orang tua mendengarkan, maka orang tua perlu untuk benar-benar mampu menggabungkan semuanya baik itu perasaan, alternatif hukuman, kemandirian, pujian dan pekerjaan. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H