Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

"Battered Child Syndrome", Akankah Kekerasan pada Anak Berbuah Kepatuhan?

16 Agustus 2021   06:01 Diperbarui: 14 Desember 2021   08:30 1805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kekerasan pada anak | Sumber: Fenesia.com/Child-Abuse

Maksudnya bagaimana? Di satu sisi ia menjadi sosok yang penurut dan lemah lembut di depan orangtua yang biasa melakukan kekerasan kepadanya dilandasi rasa takut. Sedangkan di sisi lain, ketika sudah tidak bersama orangtuanya atau sebut saja ketika di sekolah, besar kemungkinan ia menjadi seorang anak yang biasa melakukan kekerasan fisik terhadap anak lainnya. 

Sebenarnya ini adalah lingkaran setan, di mana anak yang dewasa dari orangtua yang belum bisa berdamai dengan inner child-nya juga akan berada atau mengalami kondisi yang serupa.

Dari beberapa jurnal yang aku temui dan selesai aku baca terutama yang berkaitan dengan gangguan psikologis yang terjadi pada anak usia dini, banyak sekali penyebab yang apabila dibaca lebih dalam adalah dikarenakan pengasuhan atau pengawasan mendidik kepribadian anak yang kurang tepat sehingga berdampak seolah anak merupakan robot percobaan orangtua dalam hal pengasuhan dan pendidikan.

Aku tidak menyangkal, adanya fakta bahwa angka pernikahan dini yang tidak sebanding dengan angka orangtua yang melek parenting education juga turut mengambil andil dalam terbentuknya fenomena ini. Sehingga kalau dilihat dan diteliti berita yang seringkali terjadi di media dalam lingkup anak usia dini adalah tidak jauh-jauh dari kasus anak yang bermasalah dengan kepribadiannya.

Menurut penelitian lain, dalam International Journal of Children's Rights, Michael Freeman berpendapat bahwa penyebab utama orangtua melakukan kekerasan terhadap anak dan mengakibatkan anak mengalami battered child syndrome adalah terletak pada prasangka orangtua terhadap anak, terutama bahwa pandangan hak asasi manusia tidak berlaku bagi orang dewasa dan anak-anak. Dalam penelitiannya, Freeman menulis:

"Akar pelecehan anak tidak terletak pada psikopatologi orang tua atau stress sosial-lingkungan, tetapi dalam budaya sakit yang merendahkan dan merendahkan yang mereduksi anak menjadi properti, objek seksual sehingga mereka boleh-boleh saja dan sah dari kekerasan dan nafsu orang dewasa."

Sebagai seorang mahasiswa jurusan pendidikan islam anak usia dini yang secara tidak langsung belajar banyak mengenai bagaimana seharusnya mendidik anak, memang ada perasaan miris melihat dan membaca hal yang aku tuliskan di atas. Angka anak yang mengalami battered child syndrome juga memiliki kemungkinan untuk kian naik setiap tahunnya. 

Dilihat dari mana? Kita tahu sendiri dengan sistem belajar yang dilangsungkan dari rumah dan anak benar-benar berada di bawah pengawasan orangtua, dan tidak semua anak bersikap kooperatif dalam belajar. 

Efeknya apa? Ya tentu saja anak hanya memiliki dua pilihan, belajar tapi sebenarnya bosan, atau tidak belajar tapi kena pukulan. 

Memang tidak semua, sebut saja prosentasenya sedikit, tapi yang sedikit tadi juga merupakan angka yang perlu diperhatikan.

Memang, aku belum merasakan bagaimana menjadi seorang orangtua. Aku belum merasakan bagaimana rasanya geregetan dengan anak yang tidak mau belajar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun