"Diammu adalah tanda keberpihakanmu pada sisi kedzoliman"
-Puja Nor Fajariyah
Aku ingin menuliskan sebuah cerita yang kalau kamu baca sebelum tidur, semoga saja menggugah pikir dan jiwamu untuk teringat akan kodratmu sebagai manusia. Dimana, manusia selayaknya menjadi sosok yang mengedepankan rasa. Â Alasan mengapa manusia menjadi lebih istimewa derajatnya daripada makhluk Tuhan lainnya. Adanya akal sebagai anugerah dari Tuhan, adalah untuk manusia dapat berpikir mengenai bagaimana mengelola diri dan hati dengan seharusnya.Â
Ini adalah sebuah cerita yang terinspirasi dari apa yang terjadi pada saudaraku yang berada nun jauh disana, di sebuah tanah yang begitu istimewa bernama Palestina. Sebuah dongeng tentang tanah mereka yang dirajah oleh binatang yang sudah mati rasa. Aku menulis ini tentu saja tidak untuk maksud apa-apa selain mencoba mengekpresikan isi pikirku menjadi deret dan baris aksara. Selamat membaca.Â
Banyak yang geram, tak hanya aku saja ketika sudah disinggung kisah atau berita tentang sebuah tanah bertuan yang telah lama dijejaki binatang tak berperasaan. Datang tak diundang, namun berlagak layaknya si pemilik lahan. Ini mengenai sebuah negeri yang didamba banyak orang untuk dapat datang. Betapa tidak, menawan isi dalamnya, suci tanah dan manusianya,  cukup untuk menjadi alasan  mengapa banyak pikiran hendak menyisihkan kesempatan.Â
Namun, sekali lagi itu ada sebelum tanah itu dijejaki binatang-binatang yang enggan pulang. Sebelum tanah bertuan yang semula damai, disulap oleh keadaan menjadi sebuah medan peperangan. Tempat dimana keadilan sukar didapatkan. Tempat dimana siksa, paksa, aniaya terjadi dimana-mana dan menyesakkan. Kalau kamu bertanya mengenai siapa yang menjadi dalang, tentu saja ini ulah si binatang. Ulah para zionis jahannam.Â
"Ah, jangan berlagak peduli kau!"
Mungkin banyak yang berpikir demikian lalu memilih untuk diam. Tapi sebenarnya diam justru juga termasuk pada keberpihakan atas kejahatan. Bayangkan saja, kamu tengah berada di rumahmu dengan tenang, tiba-tiba ada orang mengetuk pintu tanpa mengucap salam.Â
"Tok, tok, tok,"
Kamu berlari kearah pintu karena menganggap itu adalah seorang tamu yang datang. Manusia pemilik tanah itu tahu bahwa memuliakan tamu adalah wajib untuk dilakukan. Melihat siapa yang datang, ia mengajak si tamu tadi masuk. Awalnya, si tamu masih berlagak biasa. Keduanya bertukar sapa, cerita, dan tentu saja sukacita. Sampai pada akhirnya, diamini berjalannya waktu, si tamu akhirnya ketahuan belangnya.
 Ia yang semula tersenyum dan tertawa, mulai mengeluarkan bisa selaiknya ular yang lepas dari kandangnya. Selaiknya binatang yang menyambar tuannya. Sebagaimana binatang yang menjelma sebagai manusia. Ia pun berlagak hendak mengusir si pemilik rumah. Namun, tentu saja si pemilik rumah juga tak gentar mempertahankan wilayahnya. Dari sini, apa yang kamu rasakan? Belum tergugah juga?
Karena tahu kalau menyerang sendiri, si binatang bisa tertangkap dan binasa, akhirnya ia pun mencari siasat untuk mengumpulkan massa. Dari barat, timur, utara, dan selatan, bertahun-tahun ia mencoba menggunakan berbagai cara untuk mengusir si tuan dari rumahnya. Dan tentu saja, si tuan tetap enggan. Meskipun luka disana-sini karena terkena serangan si binatang, si tuan percaya kalau itu semua adalah cara untuk menguatkannya. Ia percaya bahwa Tuhannya bersamanya, sebab ia berada pada sisi mempertahankan kebenaran.Â
Si binatang lupa, bahwa rumah dan tanah yang mereka serang bukan tak memiliki tuan. Tanah tadi bukan hanya milik satu dua orang atau golongan, namun banyak. Banyak kepala dan hati yang tak rela kalau tanahnya tergadaikan. Tak hanya datang dari si pemilik lahan, namun manusia lain yang nun jauh diseberang juga ikut geram. Dukungan demi dukungan datang menyokong si tuan, berharap si binatang bisa sadar dan berlenggang meninggalkan tanah jarahan.Â
Sebenarnya si binatang memiliki telinga untuk mendengar, namun nuraninya tertutup hingga ia tuli untuk dapat mendengar. Sebenarnya, akalnya tak beku untuk dapat berpikir rasional, namun hatinya kaku untuk sekedar bergetar ketika ditanya akan pertanyaan tentang rasa sadar. Sebenarnya, mulutnya tak bisa untuk menjawab pertanyaan mengapa mereka hendak merampas tanah yang sudah bertuan, namun lidahnya kelu dan berujung mereka hanya dapat meracau. Sekali lagi, ini kisah datang dari sebuah tanah yang bukan tak bertuan.Â
Tentang pemilik yang tengah memperjuangkan apa yang perlu mereka pertahankan. Mengenai bagaimana cara agar si binatang penjajah dapat terusir angkat kaki dari tanah mereka. Sembari memikirkan hal ini, si tuan begitu kesulitan untuk mendapatkan dukungan, sebab si binatang suka sekali memanipulasi keadaan. Ia berlagak mengambil peran sebagai korban padahal kenyataanya bukan begitu. Â
Di sisi lain, entah mengapa ada segolongan lain yang mengaku berada di sisi si binatang. Entah, apa yang menjadi alasan bagaimana bisa menjadi penyokong di sisi kemunkaran. Bagaimana bisa mendukung maling yang hendak mengambil hak yang tak seharusnya mereka agung-agungkan. Merasa bangga, berada pada sisi yang dianggap kuat, padahal sebenarnya dengan begitu ia telah siap dengan konsekuensi kalah perang.
 Bagaimana tidak, salah dalam memilih golongan bukan tak mungkin akan berujung mencelakakan. Sebagaimana kura-kura yang salah memilih monyet sebagai teman dan mengajaknya makan. Bukan dibantu ketika kura-kura kelelahan, justru si monyet memakan semua bahan makanan karena tak sabar dengan tingkah kura-kura yang lamban.Â
Sebenarnya, tulisan ini tak bermakna apa-apa kalau kamu enggan untuk mengambil makna tersirat yang sebenarnya coba untuk aku sisipkan. Tentang kekhawatiran besar yang coba aku minimalisir dengan penggunaan diksi untuk menyamarkan. Awalnya, aku hendak mengemas tulisan ini menjadi dongeng, namun entah mengapa dari jari dan pikirku kesulitan.
 Sebab, alih-alih menjadi dongeng yang terkesan begitu fiksi dan mengada-ada, apa yang terjadi pada Palestina memang benar adanya. Mereka adalah tuan yang terdzolimi dan hendak diusir dari rumahnya. Dirampas haknya, dijarah kedamaian hidupnya.Â
Betapa Allah begitu mencintai mereka dengan memberikan ujian berbalaskan surga. Menjadikan tanah mereka sebagai medan perang bertabur pahala apabila mereka ikhlas dan sabar menjalani itu semua. Betapa kuat mental anak-anak Gaza, yang rela masa kecilnya terenggut untuk ikut berjihad membersamai orang tuanya meski dalam pikirnya tentu saja mereka belum paham apa-apa.Â
Hari ini, kabar gembira datang dan terdengar dari seberang sana. takbir kembali menggema, tanda kemenangan mereka akhirnya bersua. Nikmat dari kesabaran yang telah mencapai puncaknya. Meskipun menang tak lantas membuat si binatang sepenuhnya enyah dan angkat kaki, namun bukan berarti tak boleh bersyukur dan bersorak sejenak atas nikmat yang telah diraih. Semoga Allah senantiasa menjaga iman para tuan di Palestina. Semoga kita, saudaranya ini dapat senantiasa belajar dari kisahnya. Dan semoga, para zionis dibukakan hati dan pikirnya kalau Palestina bukanlah tanah tanpa tuan, namun ia adalah tanah milik Tuhan.Â
Semoga tulisan ini bermanfaat dan kamu bisa mengambil hikmah dari apa yang coba aku sampaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H