Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Artikel Utama

Benarkah Menangis Tanpa Sebab Menandakan Seseorang Mengidap "Hypophrenia"?

19 Februari 2021   07:59 Diperbarui: 19 Februari 2021   13:58 2543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: DokterSehatQ.com

"Kamu tidak butuh kriteria diagnosis untuk mengetahui bahwa rasa sakitmu itu valid"

-dr. Jiemy Ardian SpkJ

Ada sebuah istilah yang akhir-akhir ini santer aku dengar dan sering di mention dalam sosial media beberapa orang terdekat yang aku kenal. Juga, berawal dari pertanyaan beberapa orang terhadapku mengenai hal ini. 

Ya tentu saja, pertanyaan mengenai hal tersebut diberikan kepadaku karena beberapa teman terdekatku itu mengetahui bahwa aku menyukai bidang psikologi dan memang tertarik dengan bidang ini. 

Oh iya, aku perjelas saja. Pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan kepadaku akhir-akhir ini adalah mengenai hypophrenia.

Setelah mendengarnya, tentu saja karena aku juga masih seorang pembelajar, maka aku tidak semerta-merta menjawab pertanyaan tersebut begitu saja. 

Aku meminta waktu untuk menjawab pertanyaan tersebut, dan waktu tersebut aku gunakan untuk bertanya terhadap dosen yang aku percaya dan beberapa teman yang memang kuliah jurusan psikologi di berbagai kampus ternama. 

Berdasarkan pada curhatan mereka yang bertanya kepadaku, diketahaui bahwa menurut pemahaman mereka, hypophrenia adalah menangis tanpa sebab dan gangguan jiwa akibat trauma di masa lalu.

Aku pun mencoba meneruskan statement dari temanku tersebut ke dosen dan beberapa teman tempat aku bertanya tersebut. Dan, yang membuat menarik adalah dosen dan beberapa temanku mengatakan bahwa mereka belum pernah mendengar atau menemukan istilah "hypophrenia" dalam dunia psikologi atau ranah kesehatan jiwa. 

Tentu saja,  mendengar pernyataan tersebut, aku menjadi bingung serta kemudian mencoba untuk melakukan googling mengenai hal ini.

Berdasarkan hasil yang muncul dalam laman pencarian google, diketahui justru banyak sekali artikel yang benar menguatkan kondisi atau pemahaman yang dimiliki temanku yang curhat kepadaku di awal tadi. 

Sumber: DokterSehatQ.com
Sumber: DokterSehatQ.com
Dan justru berseberangan dengan statement dari dosen dan teman-temanku yang memang belajar mengenai psikologi dan kesehatan jiwa. dr. Jiemy Ardian SpkJ mengemukakan bahwa perlu diketahui bahwa ketika seorang psikiater atau seorang psikolog mendiagnosis gangguan kejiwaan itu ada caranya. 

Ada panduannya. Termasuk ada juga prosedur diagnosisnya. Jadi kita tidak bisa yang langsung karena mengetahui seseorang menangis tanpa sebab maka dikatakan hypophrenia. 

Hal yang seperti itu tidak bisa. Perlu ada kriteria yang terukur, di mana jelas dan bisa diobservasi yang kalau orang-orang melihat observasinya juga sama.

 Adapun dalam mendiagnosis, seorang psikiatri atau psikolog memiliki kitab pedoman mereka sendiri, di mana yang paling sering digunakan adalah Diagnostic Enstatistical Manual-Five (DSM-V). Buku ini adalah buku panduan diagnosisnya Psikolog dan Psikiater. Jadi, kalau diagnosisnya ada di dalam buku tersebut, berarti ada dan kalau tidak ada disitu maka kita tidak bisa mengatakan bahwa itu adalah sebuah gangguan kejiwaan karena tidak masuk dalam kategori gangguan kejiwaan dan ada di dalam kitabnya gangguan jiwa.

Karena penasaran, aku kembali googling dengan menggunakan keyword yaitu "Hypophrenia DSM-V" dan hasilnya tidak ditemukan penjelasan mengenai hal tersebut. 

Tetapi ada penjelasan mengenai ketika kita sedih tanpa sebab maka itu adalah gejala depresi bukan hypophrenia. Begitupun juga di ICD-10, tidak ada penyakit yang bernama hypophrenia. 

Hal ini menandakan bahwa hypophrenia bukan termasuk dalam golongan penyakit kejiwaan. Karena bingung terkait dari mana munculnya istilah hypophrenia ini, maka iseng-iseng saja aku mencari melalui kamus bahasa Inggris atau kamus Oxford Dictionary. 

Menurut Oxford Dictionary, hypophrenia adalah sinonim dari retardasi mental atau disabilitas intelektual atau kecerdasan di bawah rata-rata.

Kalau melihat dari terjemahan per-bahasa maka bisa diketahui bahwa kata "hypo" itu berarti "di bawah" dan "phrenia" bermakna "pikiran atau jiwa". Jadi, hypophrenia bahasa liniernya adalah seakan-akan retardasi mental atau bahasa terbarunya adalah disabilitas intelektual.

Karena aku sendiri merasa belum puas, maka aku kembali mencari di google scholar atau platform yang biasanya berisi penelitian-penelitian ilmiah. Dan hasilnya juga tidak ditemukan penjelasan atau istilah mengenai hypophrenia ini sendiri. 

Dari sini, aku mengambil sebuah pelajaran bahwasanya seakan-akan manusia itu membutuhkan label untuk mengenal dirinya. 

Seperti halnya contoh, kita melabeli diri kita sebagai introvert atau ekstrovert, sanguin atau melankolis, atau bahkan ada yang melabeli bertameng pada zodiak. 

Seakan-akan manusia ini memerlukan sebuah label yang menjelaskan mengenai siapa saya, seperti apa saya, dan lebih jelasnya seperti kita harus mengelompokkan diri sendiri masuk ke kelompok mana dll.

Karena hal tersebut juga maka bisa saja, munculnya istilah "hypophrenia" ini adalah bentuk label yang dipakai untuk seakan menjelaskan kesedihan yang tidak jelas sumbernya. 

Lalu dilemparkan pada penjelasan pada trauma di masa lalu dan lain sebagainya. Ia benar bahwa trauma di masa lalu memang dapat membuat perubahan emosi di masa kini tetapi kita tidak bisa menggunakan istilah baru yang tidak jelas sudut pandangnya atau alat ukurnya, atau kriteria penggunaannya. 

Dalam hal ini adalah kriteria diagnosis. Ketika seseorang menyebutkan mengenai kriteria diagnosis, maka harus ada panduannya tidak semata-mata hanya berbekal googling dan langsung mengamininya.

Seperti kutipan yang aku kutip di awal tulisan ini misalnya, disana tertulis bahwa "Kamu tidak butuh kriteria diagnosis untuk mengetahui bahwa rasa sakitmu itu valid" kamu tidak perlu mengubah nama sedih, nama terpuruk, nama kecewa, nama menangis menjadi hypophrenia. Kamu tidak butuh itu. 

Menggunakan bahasa yang sederhana itu akan jauh lebih mudah untuk dimengerti daripada seperti "Eh, aku kena hypophrenia nih," itu tidak mudah dimengerti. Berceritalah, berkisahlah dengan menggunakan bahasa yang sederhana sehingga orang lain bisa memahami dan kita gak butuh kok label-label seperti itu. 

Dari sini kita juga perlu belajar bahwasanya kita jangan pernah mengkambinghitamkan sesuatu untuk mentolerir atas diri kita yang memang salah. Misalkan nih ya, perkara zodiak. Aku sendiri sebenarnya adalah tipe orang yang sama sekali tidak percaya mengenai zodiak. 

Ada dari mereka yang sering banget cuek, mood naik turun, dan karena percaya malah mengeluarkan statement, "Ah, wajar aku kayak gini, orang aku gemini." 

Atau "Ih dia tuh ya, Virgo emang gitu" tidak seperti itu. yang seharusnya kita lakukan adalah mengenal diri sendiri dan mulai berpikir secara logis mengenai bagaimana seharusnya kita bersikap dan membranding diri.

Sama seperti penjelasan tersebut, hypophrenia adalah salah satu hasil label buatan yang kalau kita telusuri hal tersebut tidak ditemukan penjelasannya dimanapun. 

Oleh karena itu, yuk lepaskan label hypophrenia, karena istilah itu adalah sinonim dari retardasi mental bukan karena kita yang sering sedih atau menangis karena sebab yang tidak jelas. 

Yang seharusnya kita lakukan adalah kita tidak sibuk untuk cepat-cepat melabeli diri sendiri tetapi justru kita harus belajar mengenali diri sendiri.

Yuk mari kita peduli dan rawat kesehatan mental dan jiwa, jangan malah sebaliknya. Semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa menjawab pertanyaan kalian yang sempat bertanya kepadaku dan bisa meluruskan pemahaman kalian yang terlanjur keliru dan juga percaya mengenai hypophrenia ini sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun