Sekarang, bagi kamu yang laki-laki, pernah tidak sih, kamu merasa risih dengan cara yang ibu kamu gunakan untuk mendidikmu? Biasanya, ibu menjadi sosok yang lebih vokal daripada seorang ayah. Bagi sebagian anak laki-laki, hal ini dianggap menjengkelkan. "Ibu kok cerewet banget sih,?"Â
Pernah tidak sih kamu berpikiran seperti ini? Karena memang secara kepribadian, seorang laki-laki lebih bebal dalam perasaan. Dan, berdasarkan fakta, cara mendidik seorang laki-laki dan perempuan memang berbeda. Penjelasan ilmiah mengenai hal ini dikemukakan oleh  dr. Aisyah Dahlan CHt dalam sebuah kelas online yang pernah aku ikuti.
Secara alamiah seorang laki-laki cenderung lebih pendiam daripada seorang perempuan. Penjabarannya, seorang laki-laki dalam sehari mengeluarkan sejumlah 2.000-4.000 kata, 1.000-2.000 bunyi vokal, serta 2.000-3.000 gerakan tubuh. Rata-rata jumlah komunikasi seorang laki-laki adalah sebanyak 7.000 kata-kata, dan itu normalnya. Pada laki-laki yang pendiam, hanya sebesar 5.000 kata-kata saja dan pada laki-laki yang aktif bicara adalah 9.000 kata-kata yang terdiri dari kata, bunyi vokal, dan gerakan tubuh tadi.Â
Sedangkan pada perempuan akan mengatakan, 6.000-8.000 kata, 2.000-3.000 bunyi vokal, dan 8.000-10.000 gerakan tubuh. Rata-rata jumlah komunikasi sebanyak 20.000 kata-kata, itu pada perempuan yang normal. Angka ini bisa dikatakan hampir menjadi 3 kalinya laki-laki. Dan biasanya, perempuan-perempuan yang banyak bicara, pasangan laki-lakinya adalah mereka yang sedikit bicara. Pada perempuan yang aktif bicara, angka rata-rata komunikasinya adalah 24.000.
Penelitian mengatakan kalau perempuan dalam satu hari komunikasinya kurang dari 16.000 kata-kata, maka tidur malamnya akan menjadi tidak nyenyak.Â
Makanya, angka 20.000 kata-kata itu harus disalurkan kepada hal-hal yang baik. Berdasarkan pada hasil penelitian ini, itulah mengapa ketika seorang perempuan menjelaskan sesuatu terhadap anak, cenderung lebih banyak bicara secara verbal pada anak-anaknya. Aku katakan cenderung karena memang ada juga perempuan yang tidak banyak bicara. Sebut saja ada sekitar 10 hingga 12 persen perempuan yang tidak banyak bicara atau pendiam.Â
Pada laki-laki, karena cenderung lebih sedikit bicara maka ia selalu lebih singkat dan langsung pada intinya ketika berbicara. Dan ini benar adanya terdapat pada sosok kedua orang tuaku. Dimana ibuku benar lebih vokal daripada bapakku sendiri.
Setelah mengetahui fakta ini, jelas saja kalau sebenarnya "ibu yang cerewet"Â atau banyak bicara itu wajar. Jelas saja bahwa itu adalah sebuah cara yang digunakan oleh seorang perempuan untuk mendewasakan. Berbicara mengenai perempuan, suatu saat nanti pun aku akan menjadi seorang ibu. Dan tentu, belajar dari teori saja tak cukup, karena pembelajaran dari pengalaman lebih manjur. Ibuku sering sekali berkata seperti ini kepadaku,
"Dhaddi oreng toah reya malarat, dhaddhi babini' reya kodhu kowat. Ta' rapah engkok tak e angghap so reng-oreng, seng penting ana' daddhi oreng. Ta'rapah engkok tak asakolah, tape anak jha' sampe' tak e angghap manossah "
Dalam Bahasa Madura, artinya "Menjadi orang tua itu sulit, menjadi perempuan itu harus kuat. Tidak apa-apa aku tidak dianggap orang-orang, yang penting anak menjadi 'orang'. Tak mengapa aku tidak sekolah, tapi anak jangan sampai tidak dianggap manusia"Â
Tentu saja, kalimat-kalimat seperti ini adalah sebuah nasehat bagiku untuk banyak-banyak belajar dari pengalaman agar aku menjadi orang, agar aku dianggap oleh manusia. Setidaknya, cara sederhana itu bisa membuahkan kebahagiaan untuk orangtuaku. Memberikan sebuah apresiasi bahwa sekolah pertama itu tidak gagal dalam memberikan pelajaran kehidupan. Pembelajaran serta penguatan mental yang begitu besar mengambil porsi asupan dalam terbentuknya pikir dan sikapku. Hal yang tidak aku dapat dari bangku sekolah, hal yang hanya bisa kuserap dari ia, sekolah pertama yang kukatakan diawal tak pernah lelah untuk memanusiakan.