"Hanya karena peristiwa yang tidak menyenangkan itu sudah berlalu, bukan berarti emosi yang awalnya ada juga turut berlalu."
-dr. Jiemy Adrian SpKJ
Kemarin salah seorang temanku bercerita kepadaku, mengenai susahnya mengikhlaskan perbuatan dan memaafkan seseorang yang telah menyakiti hatinya. Padahal, ketika aku tanya apakah ia sudah memaafkan perbuatan orang itu, ia bilang sudah.Â
Hanya saja memang keduanya belum sempat bertemu, bertatap muka, dan bermaafan secara langsung. Karena temanku ini memang berteman dan berada di kelas yang sama dengan orang tadi, ada keadaan dimana menuntut keduanya untuk berada dalam satu pertemuan. Ketika hal itu terjadi, entah mengapa temanku ini selalu merasa salah tingkah dan tidak nyaman. Padahal tentu saja, ia tidak berada di posisi yang salah.
Hal ini menandakan, meskipun temanku sudah berkata kalau ia sudah memaafkan, tapi masih ada emosi di alam bawah sadarnya yang enggan untuk berdamai dan memaafkan. Iya, temanku bertanya kepadaku mengenai hal ini, dan aku sendiri mencoba menjawab dan memberi saran sesuai dengan apa yang memang aku ketahui. Tentu saja, dalam ilmu psikologi ada sebuah teori yang barangkali kamu juga sudah mengetahui mengenai teori dari Sigmund Freud terkait tingkat kesadaran manusia.Â
Namun, pada tulisan kali ini aku tidak mau membahas detail mengenai teori ini, namun sedikit menyinggungnya dengan kejadian yang dialami temanku, aku pun pernah mengalaminya, dan barangkali kamu pun sama. Well, hal itu adalah mengenai Emotional decluttering alias menata ulang emosi atau perasaan. Hal ini dilakukan agar jiwa mendapatkan ketenangan yang diinginkan.
Mengenai emotional decluttering, analoginya seperti ini, Kamu kira-kira punya barang yang tidak terpakai gak di rumah? Sebut saja tas, majalah, buku yang pada akhirnya menumpuk di pojok ruangan atau di gudang. Nah, coba deh kamu ingat-ingat alasan ketika pertama kali membeli itu semua, apakah ada tujuan dari kamu yang menginginkan itu semua teronggok tak berharga seperti itu?Â
Pasti sedikit sekali dari kita yang terpikir seperti itu. Ketika membeli, pasti yang ada di pikiran adalah kita memikirkan bahwa kita akan menggunakan tas itu, membaca buku itu, dan memanfaatkan semua barang-barang itu.
Sekarang coba kamu pikirkan lagi, ketika barang-barang tadi yang kamu anggap tak lagi berguna itu apakah bisa keluar dari rumah kamu dengan begitu saja secara otomatis? Tidak kan ya? Barang-barang tadi akan tetap teronggok begitu saja dan menunggu kita untuk merapihkan.
Nah, sama halnya dengan emosi yang ada di dalam diri kita. Emosi awalnya memiliki peran, tujuan dan pesan. Dimana hadirnya ia untuk membuat kita merasakan sesuatu sehingga kita tahu apa yang perlu kita lakukan.
Tapi emosi yang terlalu lama dibiarkan, teronggok begitu saja layaknya tumpukan barang tadi dimana ia tidak didengarkan, pesannya diabaikan bahkan juga kita tutup-tutupi, kita tekan agar tidak bisa rasakan, maka emosi tadi bisa menjadi masalah baru untuk kita.Â