Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Krisis dan Kritis dalam Self-Diagnosis

17 Oktober 2020   16:23 Diperbarui: 17 Oktober 2020   17:13 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.designscene.net/2013/11/james-franco-dazed-confused.html

"Kayaknya aku bipolar deh Puj,"

"Loh, kok kamu bisa bilang gitu?"

"Iya nih, aku ngecheck di internet, dan kayaknya aku itu kena bipolar disorder deh." 

Mungkin kamu pernah terlibat atau mendengar percakapan teman kamu at least sekali dimana ia mendiagnosis dirinya sendiri atas penyakit fisik atau gangguan mental yang mereka punya sama seperti aku yang menjadi lawan bicara temanku malam tadi. Sekarang sepertinya memang cukup marak sih, dimana orang mengira mereka punya gangguan mental. Tapi, yaudah mereka mendiagnosis diri mereka cuma berbekal informasi di internet.

Di satu sisi aku yang jurusan pendidikan anak usia dini yang belajar sedikit banyak tentang psikologi, ikut senang dan lega karena mengetahui akan masyarakat luas yang mulai aware dan mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan gangguan psikologis. Selain itu ini juga mulai diamplifikasi dengan banyaknya public figure yang mulai berkarya bertemakan kesehatan mental di Indonesia. Sebut saja lewat film, buku, atau campaign-campaign yang bertebaran di berbagai platform. Dari mulai feed instagram, cuitan twitter atau bisa di dengar di berbagai podcast. 

Sayangnya, karena hal ini pula terdapat masalah baru yang muncul dalam kehidupan banyak orang. Seperti yang aku sebutkan diawal dari percakapanku dengan temanku, masalah baru itu adalah masalah Self Diagnosis atau mendiagnosis diri sendiri. Nah, dalam tulisan aku kali ini akan coba aku bagikan adalah terkait krisis dan kritis yang muncul oleh adanya self diagnose ini. 

Yang terjadi pada orang-orang yang melakukan self diagnosis adalah keadaan dimana ia biasanya akan menduga-duga kalau dia memiliki gangguan psikologis. Tapi bukan berdasarkan bantuan profesional, namun hanya berdasar pada fakta-fakta internet yang sumbernya pun belum tentu kredibel. Nah, tak jarang self diagnosis ini adalah mencocokkan dengan gejala yang ia rasakan sambil nyari-nyari informasi di internet, lalu setelah itu dengan cepat mengambil kesimpulan. 

Seperti temanku yang karena beberapa pekan ini moodnya berantakan, merasa energinya sangat kurang, hingga hilang minat untuk mengikuti segala aktivitas termasuk perkuliahan, kemudian beranggapan kalau dia mengidap bipolar disorder setelah membaca di berbagai laman internet tanpa datang ke tenaga profesional. 

Aku pun mencoba mencari-cari informasi mengenai ini pula dan sebenarnya permasalahan mengenai self-diagnosis ini bukan sebuah permasalahan yang baru. Tapi, karena adanya internet hal ini jadi semakin marak muncul, termasuk dilakukan oleh temanku.

Salah satu Psikolog di India yaitu Rajnish Mago turut menegaskan bahwa internet itu seharusnya bukan dijadikan alat untuk melakukan self diagnosis, tapi sebagai alat untuk penambah pengertian mengenai penyakit atau gangguan. Maksudnya, hasil akhir dari membaca informasi mengenai gejala-gejala yang ada pada diri kita adalah bukan untuk diagnosis diri sendiri, tapi untuk ditanyakan lebih lanjut ke dokter atau tenaga profesional lainnya.

Jadi tujuannya untuk menambah pengetahuan bukan untuk diagnosis. So, jangan dulu memberikan label sebelum kamu mengetahui secara pasti mengenai gangguan yang kamu alami. Karena, akan cukup kritis dan bukan tak mungkin memunculkan krisis apabila kamu melakukan self diagnosis berkaitan dengan gangguan psikologis. 

Mengapa kemudian dengan melakukan self-diagnosis bisa mengakibatkan krisis yang bisa dikatakan kritis? Sebab, biasanya orang-orang yang melakukan self diagnosis ini, selain mengalami misdiagnosis atau salah dalam mendiagnosa, bisa saja juga mengabaikan simtom-simtom atau gejala-gejala lain yang belum bisa lihat sebab memang terbatasnya informasi yang didapat. Atau bisa juga kemudian orang ini mencoba mengobati diri sendiri dengan cara yang salah. Dan, kesalahan yang paling utama adalah Labelling negatif ke diri sendiri. Yang pada akhirnya menjadi berpengaruh pada performa orang tadi di dalam banyak hal. 

Sebut saja pada temanku, ia mengalami misdiagnosis dan menganggap ia mengalami bipolar disorder, padahal bisa saja ada gejala-gejala spesifik lain yang lebih diketahui secara medis mengenai bipolar disorder itu sendiri. Karena yakin meskipun belum pasti ia mengalami bipolar disorder, kemudian terjadilah ia mencoba melakukan self healing, membeli obat-obat, atau bahkan memberikan label pada dirinya bahwa ia negatif banget, ia berpenyakit mental dan lain-lain. 

Nah, pertanyaannya, kenapa self diagnosis ini bisa terjadi? Selain apa yang sudah aku sampaikan di awal tadi, self diagnosis ini juga bisa terjadi karena keterbatasan biaya, waktu dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Dan juga ketidaktahuan pasien terhadap adanya tenaga medis professional. Belum lagi, tenaga professional di Indonesia yang tercatat masih kurang sekali.

 Dikutip dari Tirto.id, tercatat hanya ada 600-800 psikiater dan juga 1700 psikolog klinis di Indonesia. Dengan jumlah yang sedikit itu kebanyakan hanya tersebar di Pulau Jawa dan di kota besar saja. Dan, kalau dibilang pelayanannya kurang, ya sebab memang sebegitu adanya. Beda lagi apabila dibandingkan dengan negara maju, sebut saja Amerika. Di Amerika terdapat 25.000 psikiater dan lebih dari 170.000 psikolog klinis dimana itu hanya di tahun 2017 saja. Belum lagi ditambah dengan angka psikolog klinis dan psikiater yang ada hingga tahun 2020 sekarang.

Tapi, apakah kemudian self-diagnosis bisa dianggap wajar dan dibenarkan dengan adanya kondisi tadi, dan sebenarnya sejauh mana kemudian self diagnosis dapat dilakukan?

Aku akan mencoba memberikan guidelines atau panduan berdasarkan beberapa buku dan jurnal-jurnal yang aku baca agar kamu tidak terkena dampak negatif dari self-diagnosis. 

Pertama, evaluasi informasi yang kamu dapat dari internet. Ya seperti kita ketahui, bahwa setiap informasi yang ada di Internet itu tak semuanya dapat kita ambil dan kita cerna seratus persenmentah-mentah tanpa adanya evaluasi. Bahkan, informasi yang kamu dapat dari tulisanku ini perlu untuk kamu kritisi dan evaluasi. Apalagi, di tulisanku ini kan berhubungan dengan gangguan psikologis ya dimana kita tahu sendiri kalau ilmu psikologis itu kompleks sekali ya jadi tidak bisa kamu konsumsi dengan hanya melihat dari internet saja.

Untuk diawal, bisa saja kamu mengidentifikasi situs-situs yang kurang kredibel atau mungkin laman yang kamu pertanyakan kebenarannya. Karena tidak jarang, situs-situs tadi itu mengandung informasi yang misreading. Kamu juga bisa membandingkan informasi yang kamu dapatkan dari situs yang kredibel. Dari yang memang sudah terpercaya dan mulai bisa membandingkan apakah informasi tersebut sudah benar dan dapat kamu percaya. 

Dua, coba aktif ngobrol dengan orang yang mengetahui mengenai hal ini. Kalau kamu memiliki kenalan teman, dosen, atau orang yang aktif di organisasi kesehatan mental, kesempatan ini juga bisa kamu pakai untuk nanya-nanya ke mereka. Kamu juga bisa ikut komunitasnya langsung atau mungkin datang ke acara-acara yang berkaitan dengan hal ini seperti seminar, dan lain-lain. Karena dengan begitu kamu bisa mendapatkan insight yang lebih mendalam melalui acara yang kamu datangi itu. 

Tiga, sering melakukan refleksi dan meditasi. Salah satu bentuk meditasi dan refleksi yang paling ampuh bagi kesehatan mental dan jiwa adalah beribadah dan rekreasi. Dengan dekat pada Sang Pencipta, biasanya jiwa dan mental seseorang akan menjadi lebih tenang dan terkontrol. Juga, melakukan rekreasi sendiri atau bersama orang-orang terdekat dapat menjadi cara yang paling ampuh sebagai healing untuk diri sendiri. 

Empat, pergi ke psikolog atau psikiater. Nah, kalau ini adalah opsi paling aman, terutama kalau kamu merasa gejala-gejala yang kamu alami itu sudah menggangu keseharian kamu. Dan kamu juga memiliki akses untuk bisa menemui psikolog atau tenaga kesehatan itu. Coba saja kamu datang dan berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater itu tadi.

Well, kalau bisa kamu hindari terlebih dahulu untuk melabel diri kamu sendiri sebelum kamu memang didiagnosis oleh psikolog atau psikiater itu tadi. Dan, coba kamu pergunakan informasi yang kamu dapatkan secara bijak. Sebenarnya tak ada salahnya untuk membaca lebih banyak mengenai kesehatan mental, sebab dengan ini wawasan dan pengetahuan kamu menjadi luas. 

So, menurut aku sendiri, proses memanajemen diri sendiri ini sifatnya menjadi urgent di negara berkembang seperti Indonesia. Karena infrastruktur serta sumber dayanya masih kurang. Kita di Indonesia yang hanya memiliki jumlah ribuan psikolog dan psikiater tidak mampu menampung 5% orang dari sekian juta penduduk indonesia yang barangkali mengalami gangguan pada kesehatan mentalnya dimana notabene kita juga belum mengetahui kualitas dari psikolog dan psikiater itu tadi. 

Makanya, solusinya adalah self-management yang baik sejak dini. Dimana alih-alih kita pergi ke psikolog atau psikiater ketika sudah memiliki gangguan, lebih baik kita yang masih sehat ini belajar supaya kita sendiri siap untuk menghadapi banyak tantangan di hidup kita. Supaya, kita juga menjadi keren dalam mewujudkan mimpi kita. Jadi, jangan Cuma berpikir masalah mengobati, tapi juga perlu melihat aspek promotif dan preventif. Jadi mencegah dan mempromosikannya itu yang harus siap. 

Dan sebenarnya, hal ini sudah ada wacananya dari tahun 2014 dimana UU Kesehatan Jiwa yang diperjuangkan oleh Nova Riyanti untuk bisa lolos di DPR adalah sebuah bentuk gebrakan yang positif. Karena disana dijabarkan mengenai pentingnya promosi dan prevensi kesehatan mental. Itulah hal yang barangkali landasan dari berdirinya banyak komunitas atau organisasi yang aktif dalam kampanye mengenai pentingnya belajar dan menjaga kesehatan mental agar terhindar dari yang namanya mental illness.

Hal itu semua adalah sebuah langkah promotif dan preventif yang dilakukan untuk menciptakan lebih banyak manusia yang keren, sehat mental, serta tahan banting menghadapi semua tantangan dalam hidup. Dengan belajar, kita juga barangkali bisa menjadi support system bagi mereka-mereka yang memang mengalami mental illness, seperti kata pepatah bijak yaitu.

Lebih baik mencegah daripada mengobati. Jangan tunggu kena Mentall illness dulu baru mau berobat, tapi harus pastikan bahwa keadaan jiwa dan diri meski masih muda tetap dalam keadaan sehat.

Semoga tulisan ini bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun