Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Krisis dan Kritis dalam Self-Diagnosis

17 Oktober 2020   16:23 Diperbarui: 17 Oktober 2020   17:13 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.designscene.net/2013/11/james-franco-dazed-confused.html

Jadi tujuannya untuk menambah pengetahuan bukan untuk diagnosis. So, jangan dulu memberikan label sebelum kamu mengetahui secara pasti mengenai gangguan yang kamu alami. Karena, akan cukup kritis dan bukan tak mungkin memunculkan krisis apabila kamu melakukan self diagnosis berkaitan dengan gangguan psikologis. 

Mengapa kemudian dengan melakukan self-diagnosis bisa mengakibatkan krisis yang bisa dikatakan kritis? Sebab, biasanya orang-orang yang melakukan self diagnosis ini, selain mengalami misdiagnosis atau salah dalam mendiagnosa, bisa saja juga mengabaikan simtom-simtom atau gejala-gejala lain yang belum bisa lihat sebab memang terbatasnya informasi yang didapat. Atau bisa juga kemudian orang ini mencoba mengobati diri sendiri dengan cara yang salah. Dan, kesalahan yang paling utama adalah Labelling negatif ke diri sendiri. Yang pada akhirnya menjadi berpengaruh pada performa orang tadi di dalam banyak hal. 

Sebut saja pada temanku, ia mengalami misdiagnosis dan menganggap ia mengalami bipolar disorder, padahal bisa saja ada gejala-gejala spesifik lain yang lebih diketahui secara medis mengenai bipolar disorder itu sendiri. Karena yakin meskipun belum pasti ia mengalami bipolar disorder, kemudian terjadilah ia mencoba melakukan self healing, membeli obat-obat, atau bahkan memberikan label pada dirinya bahwa ia negatif banget, ia berpenyakit mental dan lain-lain. 

Nah, pertanyaannya, kenapa self diagnosis ini bisa terjadi? Selain apa yang sudah aku sampaikan di awal tadi, self diagnosis ini juga bisa terjadi karena keterbatasan biaya, waktu dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Dan juga ketidaktahuan pasien terhadap adanya tenaga medis professional. Belum lagi, tenaga professional di Indonesia yang tercatat masih kurang sekali.

 Dikutip dari Tirto.id, tercatat hanya ada 600-800 psikiater dan juga 1700 psikolog klinis di Indonesia. Dengan jumlah yang sedikit itu kebanyakan hanya tersebar di Pulau Jawa dan di kota besar saja. Dan, kalau dibilang pelayanannya kurang, ya sebab memang sebegitu adanya. Beda lagi apabila dibandingkan dengan negara maju, sebut saja Amerika. Di Amerika terdapat 25.000 psikiater dan lebih dari 170.000 psikolog klinis dimana itu hanya di tahun 2017 saja. Belum lagi ditambah dengan angka psikolog klinis dan psikiater yang ada hingga tahun 2020 sekarang.

Tapi, apakah kemudian self-diagnosis bisa dianggap wajar dan dibenarkan dengan adanya kondisi tadi, dan sebenarnya sejauh mana kemudian self diagnosis dapat dilakukan?

Aku akan mencoba memberikan guidelines atau panduan berdasarkan beberapa buku dan jurnal-jurnal yang aku baca agar kamu tidak terkena dampak negatif dari self-diagnosis. 

Pertama, evaluasi informasi yang kamu dapat dari internet. Ya seperti kita ketahui, bahwa setiap informasi yang ada di Internet itu tak semuanya dapat kita ambil dan kita cerna seratus persenmentah-mentah tanpa adanya evaluasi. Bahkan, informasi yang kamu dapat dari tulisanku ini perlu untuk kamu kritisi dan evaluasi. Apalagi, di tulisanku ini kan berhubungan dengan gangguan psikologis ya dimana kita tahu sendiri kalau ilmu psikologis itu kompleks sekali ya jadi tidak bisa kamu konsumsi dengan hanya melihat dari internet saja.

Untuk diawal, bisa saja kamu mengidentifikasi situs-situs yang kurang kredibel atau mungkin laman yang kamu pertanyakan kebenarannya. Karena tidak jarang, situs-situs tadi itu mengandung informasi yang misreading. Kamu juga bisa membandingkan informasi yang kamu dapatkan dari situs yang kredibel. Dari yang memang sudah terpercaya dan mulai bisa membandingkan apakah informasi tersebut sudah benar dan dapat kamu percaya. 

Dua, coba aktif ngobrol dengan orang yang mengetahui mengenai hal ini. Kalau kamu memiliki kenalan teman, dosen, atau orang yang aktif di organisasi kesehatan mental, kesempatan ini juga bisa kamu pakai untuk nanya-nanya ke mereka. Kamu juga bisa ikut komunitasnya langsung atau mungkin datang ke acara-acara yang berkaitan dengan hal ini seperti seminar, dan lain-lain. Karena dengan begitu kamu bisa mendapatkan insight yang lebih mendalam melalui acara yang kamu datangi itu. 

Tiga, sering melakukan refleksi dan meditasi. Salah satu bentuk meditasi dan refleksi yang paling ampuh bagi kesehatan mental dan jiwa adalah beribadah dan rekreasi. Dengan dekat pada Sang Pencipta, biasanya jiwa dan mental seseorang akan menjadi lebih tenang dan terkontrol. Juga, melakukan rekreasi sendiri atau bersama orang-orang terdekat dapat menjadi cara yang paling ampuh sebagai healing untuk diri sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun