"Udah Nak, gausah nangis. Sini biar bolanya Mama pukul soalnya nakal bikin kamu jatuh"Â
Kali ini penulis akan mencoba sedikit berbagi tentang kisah masa kecil kembali. Mencoba menelisik histori agar dapat bersama-sama dipelajari. Ternyata, tak semua apa yang kita terima dulu, bisa kita wariskan kepada ia yang nanti akan menjadi orang dibawah kita dalam susunan pohon keluarga. Iya, apabila anda merasa pernah mengalami hal ini, tolong jangan kembali mengulangi kepada anak masa depan anda nanti. Cukup saja di anda, cukup.Â
Sepakat, kita semua pernah mengalami masa kecil, masa usia dini. Masa dimana otak dipenuhi imajinasi, tak kenal takut dan selalu berani. Siang bermain tak kenal panas, hujan deras pun akan sangat asyik bila dinikmati dengan bermain bola bersama, atau sekedar mandi hujan berlarian kesana-kemari.Â
Tak kenal takut, itulah anak usia dini. Dibalik itu semua, ada sosok yang ketar-ketir tak berdaya. Orangtua, sepantasnya tentu akan khawatir menghadapi kejadian seperti itu, takut anaknya sakit, jatuh terluka dan lain-lain. Berbicara perihal terluka, mari sejenak anda membayangkan tengah kembali ke masa kecil dan menjadi seorang anak usia dini. Pernahkan anda terluka saat bermain bola? anda menangis, orangtua anda datang lalu berkata
 "Udah Nak, gausah nangis. Sini biar bolanya Mama pukul soalnya nakal bikin kamu jatuh"Â
Dan anda spontan berhenti menangis karena merasa benar," aku jatuh main bola ini semua karena bola yang nakal, dasar." Tidak salah, otak anak memang penuh dengan imajinasi. Dan orangtua saat mengatakan hal itu secara tidak sadar tengah berbagi imajinasi dengan anak. Sekali lagi, tak ada yang salah.Â
Namun, apakah benar, ini semua salah bola? Pertanyaan konyol ini muncul di benak penulis sepintas namun setelah mencoba menilik lebih dalam, ternyata bola tidak salah. Ternyata, kali ini ada yang salah. Yang salah adalah ia, orangtua yang menjadikan bola sebagai kambing hitam. Mengapa, dan apa hubungannya?Â
Ada sebuah peribahasa terkenal mengatakan "Mendidik anak ketika kecil itu ibarat sedang mengukir diatas batu" Maksudnya, apa yang kita ajarkan ketika anak masih kecil akan tetap melekat sampai dewasa. Dan benar, hal itu terjadi. Pada kisah skenario mengkabing-hitamkan bola atau bisa juga hal lainnya saat ingin menenangkan anak ketika ia terluka atau ada hal buruk yang terjadi padanya. Ternyata, pola mendidik anak seperti ini sangat fatal akibatnya.
 Mari kita coba pikirkan bersama, tak ada salahnya anak jatuh saat ia bermain. Ketika ia terlalu kemudian menangis, kata-kata penguat akan jauh memberikan efek positif kepada anak. Seperti halnya "Iya gak papa nangis nak, tapi nanti kalau sudah 5 menit berhenti ya kan jagoan Mama kuat. Lain kali kalau bermain lebih hati-hati lagi ya, kalau jatuh sakit kan?" hal ini akan berbeda apabila orangtua menenangkan dengan "Sini bolanya nakal, biar Mama pukul" barangkali benar, keduanya akan menenangkan jiwa anak saat ia menangis.
Namun dampak selanjutnya berbeda. Pada contoh yang pertama, akan terbangun pola pikir anak bahwa, "Aku kurang hati-hati pas main tadi, makanya jatuh" dan yang kedua "Aku jatuh pas main tadi, karena bola yang nakal bikin aku jatuh" sampai disini, apakah sudah dapat dibayangkan, yang manakah sebaiknya kita gunakan dalam menenangkan anak? dan bagaimana apabila hal ini membentuk pola yang sama dan kembali terjadi ketika anak sudah bukan seorang anak usia dini lagi?Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!