Pemilu
Pemilihan umum (Pemilu) bukan merupakan suatu hal yang baru orang kenal, melainkan keberlangsungan atau penyelenggaraannya memiliki sejarah dan proses yang berbekas dalam ingatan.
Pemilu sering kali kita kenal sebagai sebuah pesta rakyat dan ajang bagi para aktor politik/politisi bersama partai politik untuk saling beradu kapasitas dan kapabilitasnya, dengan harapan dapat mencapai tujuannya baik sebagai Presiden/ Wakil Presiden atau sebagai anggota legislatif.
Namun demikian, kala berbicara mengenai Pemilu maka penting sekali untuk memahami konsep tata kelola Pemilu. Karena hal tersebut merupakan suatu hal yang sangat fundamental dalam perbincangan mengenai Pemilu.
Sehingga kita perlu mendudukkan terlebih dahulu bagaimana dasar kita dalam memandang tata kelola Pemilu tersebut, yang nantinya dapat menghindarkan kita dari kekeliruan dalam memandang suatu konsep tata kelola Pemilu. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum,terdapat pengertian dari Pemilu yang tercantum di bab 1 pasal 1 ayat (1), yang Berbunyi "Pemilihan Umum yang selanjutnya yang disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945". Dengan ini, Pemilu merupakan sebuah mekanisme demokrasi yang perlu dijalankan.
Konsep Tata Kelola Pemilu
Pemilu di setiap negara demokrasi memiliki konsep tata kelola yang berbeda-beda, termasuk di masing-masing negara tersebut tentu akan memiliki dinamikanya tersendiri. Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara demokrasi yang sampai dengan saat ini dapat menyelenggarakan Pemilu.
Pemahaman yang mendasar mengenai manajemen Pemilu, yang pada intinya akan menguliti bagaimana tata kelola Pemilu di Indonesia itu berlangsung. Tata kelola pemilu atau yang disebut dengan Electoral Governance merupakan kombinasi antara konsep tata kelola dengan konsep pemilihan umum.
Mengutip dari Mozaffar dan Schedler (2002), tata kelola pemilu didefinisikan sebagai kumpulan aktivitas yang terkait dengan pembuatan aturan yang meliputi pendefinisian aturan dasar kepemiluan, pelaksanaan aturan yang meliputi pengorganisasian kepemiluan dan ajudikasi aturan yang berkaitan dengan hasil pemilu. Sedangkan menurut Torres dan Diaz (2015) siklus tata kelola pemilu melibatkan kuantitas dan watak aturan kepemiluan, melibatkan instruksi pemerintah dan aktor pemangku kepentingan yang mana dalam hal ini adalah lembaga penyelenggara pemilu dan aktor politik. Juga nantinya akan terlihat secara terang benderang bagaimana konsep tata kelola Pemilu tersebut diimplementasikan, dan apa saja dinamika yang nampak ketika beriringan dengan iklim politik di Indonesia.
Perlu sama-sama kita ketahui juga, bahwa dalam 12 kali Indonesia melaksanakan penyelenggaraan Pemilu, namun sampai dengan saat ini masih terdapat kekurangan dalam tata kelola Pemilu tersebut.
Sistem multi partai, luasnya wilayah Indonesia, dan penduduknya yang besar ini seringkali membuat persoalan yang terjadi di Indonesia cukup kompleks.
Tidak hanya itu, pada babak-babak awal, penyelenggaraan Pemilu di Indonesia menemui permasalahan dalam penerapan nilai-nilai demokrasi.
Namun itu bukan menjadi sebuah hambatan negara ini untuk terus membenahi Pemilunya, karena terdapat banyak banyak konsep tata kelola Pemilu yang dapat diformulasikan dan dijadikan sebuah patokan dalam penyelenggaraan di Indonesia.
Maka dari itu, pembahasan ini yang akan mengantarkan kita pada kompleksitas yang ada dalam Pemilu, khususnya di Indonesia saat ini. Sehingga konsep tata kelola Pemilu ini dapat dianalogikan sebagai sebuah pondasi rumah sebelum kita lebih jauh membangunnya.
Dilema dan Tantangan Pemilu Serentak 2024
Menyinggung terkait dengan Pemilu serentak tahun 2024 yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemilu. Jika menengok kembali pada Pemilu di tahun 2019, maka pada dasarnya saya berpendapat untuk tidak mengulangi “Pemilu berdarah” atau Pemilu serentak kembali.
Pertama, karena banyaknya kejadian yang merugikan masyarakat dan khususnya yang menjadi anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), yang pada saat itu gugur/meninggal dunia.
Ini menjadi catatan sejarah penyelenggaraan Pemilu terburuk di Indonesia sejak era reformasi dan orde baru, atau bahkan terburuk di dunia. Pemilu serentak tahun 2019 lalu telah menelan korban kurang lebih ada 527 jiwa yang dinyatakan meninggal, juga 11.239 orang yang sakit.
Kita tidak boleh melihat kejadian ini hanya sekedar angka, namun ini adalah nyawa manusia yang seharusnya dapat kita lindungi dan bahkan kita jaga. Sangat disayangkan ketika Pemilu yang dianalogikan sebagai “pesta rakyat” harus berubah menjadi duka serta kesedihan rakyat.
Sedih rasanya ketika pemerintah dan khususnya orang-orang dibalik tercetusnya Pemilu serentak ini lepas tangan atau tidak mempertanggungjawabkan tindakannya.
Alasan kedua yaitu banyaknya indikasi dan celah kecurangan yang terjadi secara aktif, masif, serta sistematis di berbagai daerah. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya gejolak politik yang mengarah pada kebencian, dan ini semua tidak hanya terjadi di atas (golongan elite) namun juga di kalangan masyarakat/publik.
Ketiga, masih terdapat masalah dalam pemerataan sarana dan prasarana yang tidak memadai di beberapa daerah atau TPS. Pemilu serentak yang tujuannya menghemat anggaran dan waktu, ini justru harus dibayar mahal oleh ratusan nyawa yang melayang, konflik di tengah publik yang terjadi, dan masalah-masalah lainnya.
Namun pada akhirnya kita harus menerima kenyataan karena Pemilu serentak tersebut akan kembali digelar pada tahun 2024 nanti. Maka dari itu, hasil saya mengamati serta membaca beberapa penelitian serta pandangan para ahli/pakar.
Ada beberapa hal yang mungkin saja bisa meminimalisir atau bahkan bisa menjadi solusi dan meniadakan tragedi serta indikasi-indikasi kecurangan pada Pemilu 2019 lalu.
Solusi yang dapat dilakukan yaitu, terkait dengan aturan hukum Pemilu yang masih tumpang tindih harus segera dibenahi. Harmonisasi antara Undang-Undang Pemilu dan Pilkada itu sangatlah penting, khususnya mengenai tugas dan wewenang penyelenggara Pemilu.
Juga perlu adanya sinkronisasi Peraturan Pemilu (PKPU) dengan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) di dalam setiap tahapannya. Selain itu terkait soal beban kerja, rata-rata petugas KPPS ini mempunyai beban kerja yang sangat tinggi.
Aspek ini menjadi catatan yang penting dan harus betul-betul dicermati. Mungkin pemerintah bersama KPU harus mencari solusi, bisa dengan cara memodifikasi sistem Pemilu yang ada.
Seperti adanya pemisahan waktu pemilihan Presiden dan Legislatif, jikalau tetap dipaksakan untuk dilakukan bersamaan, maka penting sekali tahap penyeleksian anggota KPPS dari segi usia dan kondisi kesehatan fisik serta mentalnya.
Sehingga pada akhirnya kita tidak menemui petugas KPPS yang gugur dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
Terakhir, pemerintah bersama KPU harus berperan aktif untuk mendorong pemerataan jaringan internet di seluruh wilayah Indonesia, sehingga input atau perekapan data dapat dilakukan secara online, e voting pun salah satu alternatif bagi Indonesia yang wilayahnya sangat luas dalam menyelenggarakan Pemilu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H