Saya harus bergegas. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 Wita. Seharusnya saat ini saya sudah melihat Gol A Gong, penulis ternama sekaligus pegiat literasi yang sudah merilis 125 buku. Tapi, seperti biasa, saya memang tak suka terlalu terburu-buru. Biar saja sedikit terlambat. Jagoan, kan, memang begitu. Munculnya belakangan.
Dari rumah, mobil merah 1000cc saya bawa dengan kecepatan sedang. Tak terlalu cepat, juga tak terlalu lambat. Ya, namanya juga sedang. Lagu While My Guitar Gently Weeps mengalun melalui speaker mobil. Lengkingan gitar Eric Clapton yang menggunakan gitar Gibson terdengar menyayat. Gebukan drumm Ringo Starr sungguh keren. Ada juga suara aneh yang mengiringi di sepanjang lagu. Itu mirip suara organ. Tapi, sepertinya bukan.
Setiap mendengar lagu yang ditulis oleh George Harrison pada 1968 itu, saya selalu saja membayangkan saat-saat mengenal The Beatles. Saya ingat betul saat membeli White Album The Beatles seharga Rp250 ribu di Jakarta sepuluh tahun yang lalu. Sampai hari ini, White Album selalu menjadi album favorit saya. Ia adalah album yang spesial. Selain karena masing-masing personel The Beatles menciptakan lagu sendiri-sendiri dengan komposisi lagu yang sangat beragam, juga karena ada Eric Clapton yang khusus hadir mengisi lead guitar di lagu While My Guitar Gently Weeps.
Jarum jam menunjukkan pukul 08.10 Wita, aktivitas masyarakat mulai padat. Ruas jalan nasional yang menghubungkan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan itu dilalui oleh banyak kendaraan, dari gerobak, mobil pick up, sepeda motor, bus, sampai truck tronton yang di bagian belakangnya bertuliskan "Aku berjanji tidak akan nakal. Kalau nakal lagi, aku akan berjanji lagi".
Sesaat sebelum lagu While My Guitar Gently Weeps menghilang secara perlahan, saya melewati satu truk tronton berukuran besar yang cukup memakan badan jalan yang lebarnya tak lebih dari 7 meter. Kecepatan mobil saya tingkatkan. Sebab, saya harus segera sampai ke tempat Bimbingan Teknis Menulis Feature Sastrawi di SMPN 1 Kusan Hilir pada pukul 09.00 Wita.
Tentu saja saat di jalan nasional ada banyak jalan berlubang yang harus dilewati. Menurut penuturan seorang teman, ruas jalan tersebut selalu terlambat ditangani oleh Balai Besar Jalan Nasional. Tak jarang ruas jalan tersebut malah diperbaiki secara darurat oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Tanah Bumbu.
Tak banyak pepohonan tumbuh di sepanjang jalan nasional itu. Barisan pohon-pohon rindang hanya ada di kawasan Desa Api-api. Setelahnya, nyaris tak ada pohon peneduh. Begitulah. Di Kalimantan yang katanya adalah paru-paru dunia, mencari pohon peneduh di pinggir jalan tak semudah menemui truk angkutan batu bara.
Sekira 30 menit, kota Pagatan hadir di hadapan mata. Pagatan merupakan sebuah kota yang berada di pesisir tenggara Pulau Kalimantan yang sudah ada sejak 1755. Kota ini dibangun oleh seorang saudagar kaya dari suku Bugis bernama Puanna Dekke yang kelak keturunannya menjadi Raja Pagatan secara turun temurun. Raja pertama Pagatan bernama La Pangewa yang memerintah tahun 1755-1800. La Pangewa juga memiliki gelar Kapiteng Lau Pulo.
Karena sampai lebih cepat dari target, saya pikir saya harus sarapan terlebih dahulu. Sarapan itu penting karena dapat mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar. Iya, orang yang nggak pernah sarapan biasanya emosian, suka marah, gampang ngambek, dan bisa kehilangan konsentrasi.
Nasi kuning masak habang itu menu wajib sarapan saya. Sama halnya dengan menu sarapan orang Banjar dan orang-orang yang sudah terbiasa dengan budaya Banjar. Belum sempat saya menyuap suapan pertama, ponsel saya berbunyi. Ada pesan WhatsApp dari seorang teman.
"Sudah di mana? Ini acaranya mau mulai," katanya.
"Masih di suatu tempat yang sangat rahasia," kata saya, sok imut.
Setelah menghabiskan sepiring nasi kuning dengan lauk de
deng sapi dan ikan haruan masak merah plus kerupuk ikan, saya langsung bergegas pergi menuju SMPN 1 Kusan Hilir. Dari warung ke sekolah tersebut jaraknya tak begitu jauh. Tak sampai lima menit jika menggunakan mobil dan sepeda motor. Tapi mungkin perlu waktu tiga hari jika ditempuh sambil merangkak.
Setibanya di SMPN 1 Kusan Hilir, beberapa orang menyambut dengan wajah datar. Sesekali mereka tersenyum. Meski wajahnya tak setampan dan sekeren saya, tapi mereka orang-orang baik. Mereka mempersilahkan saya masuk ke ruang kelas setelah sebelumnya saya menerima paket belajar berupa tas, buku saku, dan pulpen.
Saat menerima paket belajar itu, memori saya kembali lagi ke masa lalu, tepatnya masa-masa kelam saat sekolah dulu. Dulu, saya memang benci sekolah. Saya tak suka guru. Sekolah buat saya tidak membuat seseorang menjadi pintar, tapi justru sebaliknya, membuat orang bodoh semakin bodoh. Contohnya? Ya, saya sendiri.
Sementara guru, sebagian di antaranya hanya mengajarkan ilmu diskriminatif. Mereka hanya perhatian kepada pelajar yang nilai akademiknya tinggi dan kaya, sedangkan pelajar bodoh sekaligus kere seperti saya sudah pasti diabaikan. Bahkan, selama bertahun-tahun sekolah, tak pernah ada guru yang menanyakan kabar saya. Â Terlalu, kata bang Rhoma. Tapi, itu dulu... Dulu sekali. Sekarang, sih, sama saja.
Saat masuk ke ruang kelas, di depan sudah hadir Pak Abdul Latif yang menjabat sebagai Sekretaris Dinas Kabupaten Tanah Bumbu serta beberapa orang yang wajahnya tidak saya kenali, tetapi saya tahu satu di antaranya adalah Pak Imam Budi Utomo dari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan. Lalu, ada sesosok pria gondrong berpenampilan agak nyentrik. Ya, itulah Gol A Gong, sosok yang saya tunggu-tunggu.
Gol A Gong tampil santai engan menggunakan hem kotak-kotak lengan panjang yang dilipat sampai siku, menggunakan semacam syal di leher, dan celana jeans biru. Saya agak terpengarah saat melihat satu tangannya tidak ada. Sebelum Gol A Gong menceritakan masa lalunya yang pahit itu, saya sebenarnya sudah tahu kenapa tangannya diamputasi. Saya tahu darimana? Tentu saja dari Mbah Google.
Gol A Gong mulai bercerita dan secara perlahan menyampaikan pengalaman dan ilmunya. Sama seperti saat sekolah dulu, saya duduk di kursi paling belakang sambil menyimak materi pelajaran menulis feature sastrawi dari Gol A Gong. Saya menyimak kata-katanya sambil menggambar wajah Son Goku, dua gunung kembar, dan mencoret kata-kata yang tak bermakna...
Batulicin, Rabu 17 Juli 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H