Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengejar Gol A Gong

18 Juli 2019   17:07 Diperbarui: 18 Juli 2019   17:09 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Masih di suatu tempat yang sangat rahasia," kata saya, sok imut.

Setelah menghabiskan sepiring nasi kuning dengan lauk de

deng sapi dan ikan haruan masak merah plus kerupuk ikan, saya langsung bergegas pergi menuju SMPN 1 Kusan Hilir. Dari warung ke sekolah tersebut jaraknya tak begitu jauh. Tak sampai lima menit jika menggunakan mobil dan sepeda motor. Tapi mungkin perlu waktu tiga hari jika ditempuh sambil merangkak.

Setibanya di SMPN 1 Kusan Hilir, beberapa orang menyambut dengan wajah datar. Sesekali mereka tersenyum. Meski wajahnya tak setampan dan sekeren saya, tapi mereka orang-orang baik. Mereka mempersilahkan saya masuk ke ruang kelas setelah sebelumnya saya menerima paket belajar berupa tas, buku saku, dan pulpen.

Saat menerima paket belajar itu, memori saya kembali lagi ke masa lalu, tepatnya masa-masa kelam saat sekolah dulu. Dulu, saya memang benci sekolah. Saya tak suka guru. Sekolah buat saya tidak membuat seseorang menjadi pintar, tapi justru sebaliknya, membuat orang bodoh semakin bodoh. Contohnya? Ya, saya sendiri.

Sementara guru, sebagian di antaranya hanya mengajarkan ilmu diskriminatif. Mereka hanya perhatian kepada pelajar yang nilai akademiknya tinggi dan kaya, sedangkan pelajar bodoh sekaligus kere seperti saya sudah pasti diabaikan. Bahkan, selama bertahun-tahun sekolah, tak pernah ada guru yang menanyakan kabar saya.  Terlalu, kata bang Rhoma. Tapi, itu dulu... Dulu sekali. Sekarang, sih, sama saja.

Saat masuk ke ruang kelas, di depan sudah hadir Pak Abdul Latif yang menjabat sebagai Sekretaris Dinas Kabupaten Tanah Bumbu serta beberapa orang yang wajahnya tidak saya kenali, tetapi saya tahu satu di antaranya adalah Pak Imam Budi Utomo dari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan. Lalu, ada sesosok pria gondrong berpenampilan agak nyentrik. Ya, itulah Gol A Gong, sosok yang saya tunggu-tunggu.

Gol A Gong tampil santai engan menggunakan hem kotak-kotak lengan panjang yang dilipat sampai siku, menggunakan semacam syal di leher, dan celana jeans biru. Saya agak terpengarah saat melihat satu tangannya tidak ada. Sebelum Gol A Gong menceritakan masa lalunya yang pahit itu, saya sebenarnya sudah tahu kenapa tangannya diamputasi. Saya tahu darimana? Tentu saja dari Mbah Google.

Gol A Gong mulai bercerita dan secara perlahan menyampaikan pengalaman dan ilmunya. Sama seperti saat sekolah dulu, saya duduk di kursi paling belakang sambil menyimak materi pelajaran menulis feature sastrawi dari Gol A Gong. Saya menyimak kata-katanya sambil menggambar wajah Son Goku, dua gunung kembar, dan mencoret kata-kata yang tak bermakna...

Batulicin, Rabu 17 Juli 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun