Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kami Takut Engkau Resah, Kami Takut Engkau Gelisah

14 September 2018   08:52 Diperbarui: 14 September 2018   13:11 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami, masyarakat yang hidup pas-pasan ini sebenarnya sangat gembira jika para Calon Legislatif (Caleg) mau dan ikhlas membagikan uangnya saat Pemilu Legislatif digelar serentak di seluruh Indonesia pada 17 April 2019.

Kami tak mungkin menolak jika itu benar-benar terjadi. Kami tidak tega kepada orang yang berbaik hati dan amat peduli kepada kami. Apalagi kalau yang memberi adalah orang-orang terhormat dan calon penyambung lidah rakyat. Menolak pemberian mereka, itu tak sopan namanya.

Akan tetapi, kalau boleh saran, mbok, ya, kalau ngasih duit minimal seratus ribu, lah, per kepala. Dalam kondisi perekonomian seperti ini, Rp100 ribu itu adalah angka yang paling rasional dan manusiawi. Kalau misalnya, setiap Caleg memberi kami Rp100 ribu, dan jika di satu Dapil ada 10 orang Caleg, kami akan dapat uang Rp1 juta. Kalau satu rumah dapat Rp200 ribu berarti total Rp2 juta. Kan, lumayan.

Lihatlah, Tuan. Saat ini harga kebutuhan pokok makin tinggi. Cabe mahal. Daging mahal. Harga bawang mahal. Yang masih murah cuma tempe. Itu pun ukurannya terus merosot dari tahun ke tahun. Tuan perlu tahu, kami sudah bosan makan mi pocong. Mi pocong cuma bikin perut kami kembung berhari-hari.

Lalu, tarif listrik juga terus naik. Kalau dulu token listrik Rp50 ribu bisa digunakan untuk seminggu lebih, sekarang token isi 50 hanya cukup untuk satu minggu pemakaian. Di rumah kami, misalnya, suara alarm dari kilometer listrik bahkan lebih sering terdengar daripada lagu-lagu Via Vallen atau Nella Kharisma.

Itu belum ditambah biaya wajib bulanan: bayar kreditan rumah, kendaraan, beli beras, minyak goreng, kecap, gula, garam, teh, kopi, sampo, sabun mandi, sikat gigi, dan uang bensin. Belum lagi dengan kebutuhan pribadi istri saya yang juga besar; dari bedak, lipstik, handbody, lulur, sabun cuci organ kewanitaan, pembalut, sampai krim pemutih siang dan malam.

Tak sampai di situ. Masih ada sejumlah kebutuhan yang mendesak untuk segera dipenuhi. Kami juga butuh kuota internet. Kuota internet jelas penting untuk mengikuti berbagai pemberitaan di media massa, dari pemberitaan soal politik, ekonomi, sepakbola, hiburan, kesehatan, sampai artikel tentang gaya seks yang moderat bagi pasangan suami istri.

Sebagai masyarakat, kami akan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi para Caleg yang mau peduli kepada rakyat, meskipun hanya lima tahun sekali. Tapi saya pikir itu tak jadi soal, sebab kami adalah kelompok masyarakat yang senantiasa sabar, selalu bersyukur, dan ikhlas terhadap apa saja yang kami terima. Alam kami dirusak saja kami sabar, apalagi cuma nunggu dikasih duit.

Sebagai rakyat, kami hanya ingin membantu wakil kami yang sedang mencari suara. Kami kasihan, kalau para Caleg sudah menyiapkan uang ratusan juta, bahkan miliaran, tapi tak ada yang mau menerimanya. Itu mubazir namanya. Bukankah mubazir adalah sesuatu yang dilarang agama? Kami tak ingin calon wakil kami kelak tidak bisa tidur hanya karena takut tidak ada warga yang memilihnya.

Kami takut engkau resah. Kami takut engkau gelisah...

Puja Mandela,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun