Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meiliana, Speaker Masjid, dan Penistaan Agama

24 Agustus 2018   17:38 Diperbarui: 24 Agustus 2018   18:00 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bu Meiliana mengeluhkan suara azan yang terlalu nyaring. Warga marah. Rumahnya dirusak, lalu ia diperkarakan dan akhirnya divonis 18 bulan penjara. Hari ini, Bu Meiliana mendapat label baru: penista agama.

Kasus semacam ini bisa terjadi di mana saja, bisa terjadi di lingkungan perumahan Anda, di sudut-sudut perkotaan, di lingkungan perdesaan, di lingkungan rumah saya, termasuk di tempat tinggal Bu Meiliana. Padahal, Bu Meiliana hanya mengeluh soal suara azan. Sekali lagi, hanya suaranya, bukan azannya. Ia hanya meminta suaranya dikecilkan, bukan melarang orang agar tidak azan, apalagi sampai melarang umat Islam beribadah.

Akan tetapi, orang-orang terlanjur menafsirkan keluhan itu menjadi kritik, bahkan penghinaan terhadap agama Islam. Status Bu Meiliana yang minoritas menyempurnakan semuanya. Dan barangkali, yang membuat ketersinggungan masyarakat di sana, selain status Bu Meiliana yang, juga logat bicaranya yang agak kasar saat mengeluhkan soal volume speaker itu.

Kita tentu tak tahu persis bagaimana cara Bu Meiliana mengeluhkan suara azan itu. Namun, kalau melihat logat bicara warga Sumatera Utara pada umumnya, ditambah dengan laporan yang dicatat oleh Detik.com, logat bicara Bu Meiliana memang agak kasar bagi sebagian orang.

"Kak, tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu, Kak sakit kupingku, ribut," itu keluhan Bu Meiliana yang tercatat media. Kata-kata itu jualah yang mengantarkan dirinya ke penjara sekaligus melengkapi 147 vonis penistaan agama sejak 2004.

Apa yang dialami Bu Meiliana juga pernah saya alami. Bedanya, yang saya protes bukan suara azan, tapi suara orang berzikir usai salat yang kelewat nyaring, bahkan sampai di level berisik. Dan yang bikin ruwet, kritik saya terhadap suara speaker musala saat itu ternyata ditunggangi oleh oknum yang tak hanya mengkritik suara speaker musala, tapi juga mengatakan zikir dan selawat adalah bidah.

Seperti yang terjadi di lingkungan perumahan Bu Meiliana, lingkungan perumahan kami pun jadi panas, bahkan nyaris tak terkendali. Penyebabnya tentu saja berkaitan dengan tuduhan bidah itu. Tuduhan lucu anti zikir dan selawat juga sempat menghampiri saya. Tapi, tuduhan ini saya biarkan saja, sampai waktu yang menjawabnya. Tentu saja saya tak pernah sepakat dengan ujaran konyol tak berkualitas seperti itu. Toh, kawan-kawan yang mengenal saya tahu betul bagaimana latar belakang dan pandangan saya terhadap Islam yang moderat dan tentu saja lucu.

Mengkritik suara speaker dengan mengkritik zikir, azan, atau selawat tentu dua hal yang sangat jauh berbeda, kecuali memang ada orang yang kurang piknik, lalu menganggap mengkritik suara speaker sama dengan mengkritik zikir, selawat, atau bahkan azan. Apakah ada orang yang seperti itu? Ya, jelas ada. Banyak. Akeh, kata orang Jawa.

Maksud saya, mosok di zaman modern seperti ini nggak ada speaker berkualitas bagus yang bisa mengeluarkan sound yang empuk dan easy listening untuk masjid atau musala? Lagipula, masalah keluaran speaker masjid ini juga sudah diatur oleh pemerintah. 

Singkatnya, suara speaker tak boleh membuat aktivitas masyarakat terganggu. Juga tak boleh beribadah via speaker di atas jam 10 malam. Jadi, pemerintah mestinya memasang standar minimal untuk speaker yang akan dipasang di masjid. Itu dilakukan agar kasus-kasus seperti ini tidak terjadi lagi di Indonesia.

36 tahun lalu, Gus Dur pernah menulis "Islam Kaset dan Kebisingannya" yang terbit di majalah Tempo. Tulisan itu menggambarkan bahwa masalah ini bukan barang baru, tapi sudah terjadi sejak dahulu. Hari ini, masalah kebisingan speaker di masjid atau musala ternyata tak pernah selesai, bahkan mungkin tak akan pernah selesai.

Meski sama-sama pernah mengkritik suara speaker masjid dan musala, tapi saya jelas lebih beruntung, sebab, saya muslim, sementara Bu Meiliana adalah seorang keturunan Cina beragama Budha. Itu juga yang barangkali menjadi alasan mengapa "Ustaz" Evie Effendi yang mengatakan Nabi Muhammad pernah sesat, sampai hari ini masih aman-aman saja. Pun begitu dengan sebagian "ustaz" lainnya yang di dalam ceramahnya mengatakan ayah dan ibu Nabi Muhammad SAW yang agung nan mulia, berada di neraka.

pjm

Batulicin, 24 Agustus 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun