Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam Kaffah, Tapi, Kok, Masih Makan Duit APBD?

21 Desember 2017   20:30 Diperbarui: 21 Desember 2017   21:25 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tadi sore saya kedatangan tamu istimewa. Mereka adalah dua orang sahabat terbaik saya yang katanya sudah berhijrah. Itu terlihat dari penampilannya yang sangat jauh berbeda dibandingkan penampilannya dulu. Sekarang mereka terlihat jauh lebih religius. Itu dibuktikan dengan celananya yang berada di atas mata kaki, dan jenggotnya yang lumayan panjang. Saat ini mereka bekerja di salah satu perusahaan tambang batubara, dan satunya lagi bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara.

"Lho, antum, kok, masih sama saja dengan yang dulu? Tampilan ala anak band gagal, pakai levis, kaos oblong, sepatu warna putih. Benar-benar tidak mencerminkan sebagai orang Islam sama sekali," ujarnya, membuka pembicaraan. "Apakah antum masih menggemari dan menyanyikan lagu-lagu The Beatles? Bukankah antum tahu, John Lennon itu atheis. Ia penista agama. Lagipula musik itu, kan, haram. Hadisnya jelas. Sahih!"

"Lalu, antum juga memajang foto-foto The Beatles di rumah antum. Tahukah antum bahwa memajang foto orang kafir itu haram. Itu sama saja antum mengkultuskan mereka. Sebagai orang Islam, seharusnya antum tidak mengkultuskan makhluk. Bahkan, Nabi Muhammad pun tidak boleh dikultuskan!"

"Coba lihat orang Syiah. Mereka begitu mengkultuskan Ali bin Abi Thalib. Bahkan, saking fanatiknya, mereka tak mengakui kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Itu berarti sama saja menganggap keduanya tidak beriman kepada Allah. Bukankah itu sangat berbahaya? Kalau sesama muslim saja dilarang mengkultuskan, apalagi dengan orang kafir! "Jadi, ana sarankan buat antum agar segera berhijrah. Tinggalkan semua bentuk kemaksiatan. Tinggalkan semua yang syubhat, apalagi yang haram. Dan jangan sekali-kali mendekatinya."

Sambil nyeruput kopi, saya menjawab seadanya, sebab saya memang orang yang tak tahu apa-apa soal agama. "Sampeyan mengajak saya hijrah, tapi sampeyan sendiri berhijrah setengah-setengah. Menurut saya hijrah, ya, hijrah. Jangan parsial. Sebab, Islam kaffah bukan untuk orang-orang yang makan, minum, dan bernapas menggunakan duit APBN dan APBD. Juga bukan bersumber dari pekerjaan yang merusak alam dan lingkungan seperti yang antum, eh, sampeyan, lakukan sekarang."

"Kalau sampeyan mengaku sebagai orang yang mewakili representasi Islam yang kaffah, idealnya waktu bikin SIM, sampeyan nggak "nembak". Kalau dirazia polisi, sampeyan nggak nyogok.  Tak sampai di situ, kalau sampeyan pegawai, sampeyan tidak boleh menghalalkan segala cara agar cepat naik pangkat dengan memanfaatkan jaringan pertemanan atau hubungan keluarga. Itu monopoli namanya. Haram!"

"Mestinya sampeyan juga bisa menjaga lisan, apalagi saat berada di rumah orang. Sampeyan juga tidak boleh menilai kadar keimanan hanya dari busananya saja. Saya khawatir sampeyan terlalu mudah menyesatkan, bahkan mengkafirkan orang. Sepengetahuan saya, kalau kita melihat ada orang yang sesat justru harus diluruskan, bukan malah dimaki-maki".

"Tak sampai di situ, sebagai orang Islam, mestinya sampeyan tetap menjaga tali silaturahmi dengan muslim lainnya. Sebab percuma saja di satu sisi sampeyan melaksanakan sunnah dengan memanjangkan jenggot, misalnya, tetapi di sisi lain sampeyan justru memutus tali silaturahmi dengan teman, sahabat, rekan kerja, atau makhluk Allah lainnya."

"Kalau sampeyan belum lulus soal ini, berarti sampeyan sama saja dengan saya yang menganut pemahaman Islam yang salah. Saya tak bercanda soal ini, karena saya bisa menjelaskan di mana letak kesalahan saya itu. Satu di antaranya karena saya masih suka menasihati orang lain. Contohnya, ya, sampeyan ini. Mestinya, saya tidak berhak menasihati sampeyan, karena terus terang jauh di dalam lubuk hati ini, saya masih merasa lebih baik dari sampeyan."

"Karena merasa lebih baik itulah, saya tergerak ingin menasihati sampeyan. Mestinya saya tak bersikap demikian. Saya tidak boleh merasa lebih baik saat menasihati orang lain. Itulah mengapa saya katakan bahwa dalam perkara ini sampeyanlah yang benar dan saya yang salah. Sebab, orang yang benar tak akan pernah merasa lebih unggul dari orang lain. Ia akan terus merendah dan merasa rendah untuk menutupi kebenaran yang ia miliki."

Belum selesai saya bicara, dua sahabat pamit permisi.

BTL 9.3.17 - 21.12.17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun